Selasa, 29 Mei 2018

ASPEK ASPEK TERKAIT PROSES DIFUSI INOVASI



1.    Difusi
Difusi adalah proses komunikasi inovasi antara warga masyarakat (anggota sistem sosial), dengan menggunakan saluran tertentu dan dalam waktu tertentu. Komunikasi dalam definisi ini ditekankan dalam arti terjadinya saling tukar informasi (hubungan timbal balik), antar beberapa individu secara memusat (konvergen) maupun memencar (divergen) yang berlangsung secara spontan. Dengan adanya komunikasi ini akan terjadi kesamaan pendapat antar warga masyarakat tentang inovasi. Jadi difusi dapat merupakan salah satu tipe komunikasi yang mempunyai cirri pokok, pesan yang dikomunikasikan adalah hal baru ( inovasi ).
Rogers (1983) mendefinisikan difusi sebagai proses dimana suatu inovasi dikomunikasikan melalui saluran tertentu dalam jangka waktu tertentu di antara para anggota suatu sistem sosial (the process by which an innovation is communicated through certain channels overtime among the members of a social system). Disamping itu, difusi juga dapat dianggap sebagai suatu jenis perubahan sosial yaitu suatu proses perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi sistem sosial.
 Menurut Parker dalam Rogers (1983), difusi adalah suatu proses yang berperan memberi nilai tambah pada fungsi produksi atau proses ekonomi. Parker juga menyebutkan bahwa difusi merupakan suatu tahapan dalam proses perubahan teknik (technical change). Menurutnya difusi merupakan suatu tahapan dimana keuntungan dari suatu inovasi berlaku umum. Dari inovator, inovasi diteruskan melalui pengguna lain hingga akhirnya menjadi hal yang biasa dan diterima sebagai bagian dari kegiatan produktif.
Definisi difusi diatas merupakan salah satu dari beberapa definisi menurut para ahli. Adapun definisi lain tentang difusi adalah proses komunikasi inovasi antara anggota sistem social dengan menggunakan saluran tertentu dan dalam kurun waktu tertentu. Dari definisi tersebut dapat dilihat dengan jelas bahwa difusi ini merupakan suatu proses komunikasi dimana di dalamnya terdapat suatu informasi terbaru (inovasi).

2.    Inovasi
2.1.        Teori Inovasi
Inovasi adalah suatu gagasan, praktek, atau benda yang dianggap/dirasa baru oleh individu atau kelompok masyarakat. Ungkapan dianggap/dirasa baru terhadap suatu ide, praktek atau benda oleh sebagian orang, belum tentu juga pada sebagian yang lain. Kesemuanya tergantung apa yang dirasakan oleh individu atau kelompok terhadap ide, praktek atau benda tersebut. Rogers dan Shoemaker (1971) mengartikan inovasi sebagai ide-ide baru, praktek-praktek baru atau obyek-obyek yang dapat dirasakan sebagai sesuatu yang baru oleh individu atau masyarakat sasaran penyuluhan. 
Loinberger dan Gwin (1982) mengartikan inovasi tidak sekedar sabagai sesuatu yang baru, tetapi lebih luas lagi yaitu sesuatu yang nilai baru atau dapat mendorong terjadinya pembaharuan dalam masyarakat atau lokalitas tertentu. 
Mardikanto (1987) menyatakan bahwa inovasi merupakan suatu ide, perilaku, produk, informasi dan praktek-praktek baru yang belum banyak diketahui, diterima, dan digunakan/diterapkan/dilaksanakan oleh sebagian besar warga masyarakat dalam suatu lokalitas tertentu, yang dapat digunakan atau mendorong terjadinya perubahan-perubahan disegala aspek kehidupan masyarakat demi terwujudnya perbaikan perbaikan mutu hidup setiap individu dan seluruh warga masyarakat yang bersangkutan”.
 Inovasi (innovation) sering diterjemahkan segala hal yang baru atau pembaharuan. Selain pendapat tersebut, tidak jarang juga yang mengartikan inovasi sama seperti modernisasi. Arti “baru” dalam pengertian inovasi tersebut di atas tidak harus selalu berarti baru diciptakan, tetapi dapat berupa yang sudah, “lama” dikenal, diterima dan diterapkan oleh sekelompok masyarakat dalam suatu sistem sosial tertentu, dan dianggap baru oleh suatu kelompok masyarakat di luar sistem sosial terdahulu. Ada juga yang berpendapat bahwa inovasi merupakan ide, praktik, atau objek yang dianggap baru oleh manusia atau unit adopsi lainnya.
Teori ini meyakini bahwa sebuah inovasi terdifusi ke seluruh masyarakat dalam pola yang bisa diprediksi. Beberapa kelompok orang akan mengadopsi sebuah inovasi segera setelah mereka mendengar inovasi tersebut. Sedangkan beberapa kelompok masyarakat lainnya membutuhkan waktu lama untuk kemudian mengadopsi inovasi tersebut. Ketika sebuah inovasi banyak diadopsi oleh sejumlah orang, hal itu dikatakan exploded atau meledak. Dari beberapa pendapat mengenai inovasi dapat di tarik kesimpulan arti dari inovasi sendiri adalah suatu ide, barang, kejadian, metode yang dirasakan atau diamati sebagai suatu hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang (masyarakat), baik berupa hasil invention maupun diskoveri. Jika dilihat dari definisi para ahli, sebenarnya dapat diketahui bahwa tidak terjadi perbedaan yang mendasar pada pengertian inovasi antara satu dengan yang lainnya. Jika terjadi perbedaan hanya dalam susunan kalimat atau penekanan maksud, tetapi pada dasarnya pengertiannya sama. Inovasi sendiri diadakan untuk memecahkan masalah supaya mencapai tujuan tertentu.
2.2.        Karakteristik Inovasi
Karakteristik inovasi adalah sifat dari difusi inovasi, dimana karakteristik inovasi merupakan salah satu yang menentukan kecepatan suatu proses inovasi.
Rogers (1983) mengemukakan ada 5 karakteristik inovasi, yaitu : relative advantage (keuntungan relatif), compatibility atau kompatibilitas (keserasian), complexity atau kompleksitas (kerumitan), triability atau triabilitas (dapat diuji coba) dan observability (dapat diobservasi).
a.    Relative Advantage (keuntungan relatif) adalah tingkat kelebihan suatu inovasi, apakah lebih baik dari inovasi yang ada sebelumnya atau dari hal-hal yang biasa dilakukan. Biasanya diukur dari segi ekonomi, prestasi sosial, kenyamanan dan kepuasan. Semakin besar keuntungan relatif yang dirasakan oleh adopter, maka semakin cepat inovasi tersebut diadopsi.
b.    Compatibility atau kompatibilitas (keserasian) adalah tingkat keserasian dari suatu inovasi, apakah dianggap konsisten atau sesuai dengan nilai-nilai, pengalaman dan kebutuhan yang ada. Jika inovasi berlawanan atau tidak sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang dianut oleh adopter maka inovasi baru tersebut tidak dapat diadopsi dengan mudah oleh adopter.
c.    Complexity atau kompleksitas (kerumitan) adalah tingkat kerumitan dari suatu inovasi untuk diadopsi, seberapa sulit memahami dan menggunakan inovasi. Semakin mudah suatu inovasi dimengerti dan dipahami oleh adopter, maka semakin cepat inovasi diadopsi.
d.    Triability atau triabilitas (dapat diuji coba) merupakan tingkat apakah suatu inovasi dapat dicoba terlebih dahulu atau harus terikat untuk menggunakannya. Suatu inovasi dapat diuji cobakan pada keadaan sesungguhnya, inovasi pada umumnya lebih cepat diadopsi. Untuk lebih mempercepat proses adopsi, maka suatu inovasi harus mampu menunjukkan keunggulannya.
e.    Observability (dapat diobservasi) adalah tingkat bagaimana hasil penggunaan suatu inovasi dapat dilihat oleh orang lain. Semakin mudah seseorang melihat hasil suatu inovasi, semakin besar kemungkinan inovasi diadopsi oleh orang atau sekelompok orang.
 3.    Proses Pengambilan Keputusan Inovasi
Proses keputusan inovasi ialah proses yang dilalui (dialami) oleh individu (unit pengambilan keputusan yang lain), mulai dari pertama kali tahu adanya inovasi, kemudian dilanjutkan dengan keputusan sikap terhadap inovasi, penetapan keputusan menerima atau menolak inovasi, implementasi inovasi, dan konfirmasi terhadap keputusan inovasi yang telah diambilnya. Proses keputusan inovasi bukan kegiatan yang dapat berlangsung seketika, tetapi merupakan serangkaian kegiatan yang berlangsung dalam jangka waktu tertentu, sehingga individu atau organisasi dapat menilai gagasan ysng baru itu sebagai bahan pertimbangan untuk selanjutnya akan menolak atau menerima inovasi dan menerapkannya. Ciri pokok keputusan inovasi dan merupakan perbedaannya dengan tipe keputusan yang lain ialah dimulai dengan adanya ketidak tentuan (uncertainty) tentang sesuatu (inovasi).
Penerimaan atau penolakan suatu inovasi adalah keputusan yang dibuat seseorang/individu dalam menerima suatu inovasi. Menurut Rogers (1983), proses pengambilan keputusan inovasi adalah proses mental dimana seseorang/individu berlalu dari pengetahuan pertama mengenai suatu inovasi dengan membentuk suatu sikap terhadap inovasi, sampai memutuskan untuk menolak atau menerima, melaksanakan ide-ide baru dan mengukuhkan terhadap keputusan inovasi. Pada awalnya Rogers (1983) menerangkan bahwa dalam upaya perubahan seseorang untuk mengadopsi suatu perilaku yang baru, terjadi berbagai tahapan pada seseorang tersebut, yaitu:
a.    Tahap Awareness (Kesadaran), yaitu tahap seseorang tahu dan sadar ada terdapat suatu inovasi sehingga muncul adanya suatu kesadaran terhadap hal tersebut.
b.    Tahap Interest (Keinginan), yaitu tahap seseorang mempertimbangkan atau sedang membentuk sikap terhadap inovasi yang telah diketahuinya tersebut sehingga ia mulai tertarik pada hal tersebut.
c.    Tahap Evaluation (Evaluasi), yaitu tahap seseorang membuat putusan apakah ia menolak atau menerima inovasi yang ditawarkan sehingga saat itu ia mulai mengevaluasi.
d.    Tahap Trial (Mencoba), yaitu tahap seseorang melaksanakan keputusan yang telah dibuatnya sehingga ia mulai mencoba suatu perilaku yang baru.
e.    Tahap Adoption (Adopsi), yaitu tahap seseorang memastikan atau mengkonfirmasikan putusan yang diambilnya sehingga ia mulai mengadopsi perilaku baru tersebut.
Dari pengalaman di lapangan ternyata proses adopsi tidak berhenti segera setelah suatu inovasi diterima atau ditolak. Kondisi ini akan berubah lagi sebagai akibat dari pengaruh lingkungan penerima adopsi. Oleh sebab itu, Rogers (1983) merevisi kembali teorinya tentang keputusan tentang inovasi yaitu: Knowledge (pengetahuan), Persuasion (persuasi), Decision (keputusan), Implementation (pelaksanaan), dan Confirmation (konfirmasi).
a.    Tahap pengetahuan.
Dalam tahap ini, seseorang belum memiliki informasi mengenai inovasi baru. Untuk itu informasi mengenai inovasi tersebut harus disampaikan melalui berbagai saluran komunikasi yang ada, bisa melalui media elektronik, media cetak, maupun komunikasi interpersonal diantara masyarakat. Tahapan ini juga dipengaruhi oleh beberapa karakteristik dalam pengambilan keputusan, yaitu: (1) Karakteristik sosial-ekonomi, (2) Nilai-nilai pribadi dan (3) Pola komunikasi.
Berkaitan dengan pengetahuan tentang inovasi, ada generalisasi (prinsip-prinsip umum) tentang orang yang lebih awal mengetahui tentang inovasi;
a)      Orang yang lebih awal tahu tentang inovasi lebih tinggi pendidikannya daripada yang akhir.
b)      Orang yang lebih awal tahu tentang inovasi lebih tinggi status sosial ekonominya daripada yang akhir
c)      Orang yang lebih awal tahu tentang inovasi lebih terbuka terhadap media massa daripada yang akhir.
d)      Orang yang lebih awal tahu tentang inovasi lebih terbuka terhadap komunikasi interpersonal daripada yang akhir.
e)      Orang yang lebih awal tahu tentang inovasi lebih banyak kontak dengan agen pembaharu daripada yang akhir.
f)       Orang yang lebih awal tahu tentang inovasi lebih banyak berpartisipasi dalam sistem sosial daripada yang akhir.
g)       Orang yang lebih awal tahu tentang inovasi lebih kosmopolitan daripada yang akhir.
Perlu diketahui juga bahwa tahu tentang inovasi tidak sama dengan melaksanakan atau menerapkan inovasi. Banyak orang yang tahu tetapi tidak melaksanakan, dengan berbagai kemungkinan penyebabnya.
 
b.    Tahap persuasi.
Pada tahap ini individu tertarik pada inovasi dan aktif mencari informasi/detail mengenai inovasi. Tahap kedua ini terjadi lebih banyak dalam tingkat pemikiran calon pengguna. Inovasi yang dimaksud berkaitan dengan karakteristik inovasi itu sendiri, seperti: (1) Kelebihan inovasi, (2) Tingkat keserasian, (3) Kompleksitas, ( 4) Dapat dicoba dan (5) Dapat dilihat.
Dalam tahap persuasi ini juga sangat penting peran kemampuan untuk mengantisipasi kemungkinan penerapan inovasi di masa datang. Perlu ada kemampuan untuk memproyeksikan penerapan inovasi dalam pemikiran berdasarkan kondisi dan situasi yang ada. Untuk mempermudah proses mental ini, perlu adanya gambaran yang jelas tentang bagaimana pelaksanaan inovasi, jika mungkin sampai pada konsekuensi inovasi.
Hasil dari tahap persuasi yang utama ialah adanya penentuan menyenangi atau tidak menyenangi inovasi. Diharapkan hasil tahap persuasi akan mengarahkan proses keputusan inovasi atau dengan kata lain ada kecenderungan kesesuaian antara menyenangi inovasi dan menerapkan inovasi. Namun perlu diketahui bahwa sebenarnya antara sikap dan aktivitas masih ada jarak. Orang menyenangi inovasi belum tentu ia menerapkan inovasi. Ada jarak atau kesenjangan antara: pengetahuan, sikap dan penerapan (praktek). Misalnya seorang guru tahu tentang metode diskusi, tahu cara menggunakannya, dan senang seandainya menggunakan, tetapi ia tidak pernah menggunakan, karena beberapa faktor: tempat duduknya tidak memungkinkan, jumlah siswanya terlalu banyak, dan takut bahan pelajarannya tidak akan dapat disajikan sesuai dengan batas waktu yang ditentukan. Perlu ada bantuan pemecahan masalah.
Dalam penerapan inovasi ada pula yang disebut Preventive innovation (inovasi preventif) yaitu seseorang menerapkan inovasi karena ingin terhindar dari sesuatu yang tidak diinginkan di kemudian hari. Misalnya keluarga berencana, penggunaan helm, mengikuti asuransi, dan sebagainya.
c.    Tahap pengambilan keputusan.
Pada tahap ini individu mengambil konsep inovasi dan menimbang keuntungan/kerugian dari menggunakan inovasi dan memutuskan apakah akan mengadopsi atau menolak inovasi. Sering terjadi seseorang akan menerima inovasi setelah ia mencoba lebih dahulu. Bahkan jika mungkin mencoba sebagian kecil lebih dahulu, baru kemudian dilanjutkan secara keseluruhan jika sudah terbukti berhasil sesuai dengan yang diharapkan. Tetapi tidak semua inovasi dapat dicobadengan dipecah menjadi beberapa bagian. Inovasi yang dapat dicoba bagian demi bagian akan lebih cepat diterima. Dapat juga terjadi percobaan cukup dilakukan sekelompok orang, dan yang lain cukup mempercayai dengan hasil percobaan temannya.
Perlu diperhatikan bahwa dalam kenyataannya pada setiap tahap dalam proses keputusan inovasi dapat terjadi penolakan inovasi. Misalnya penolakan dapat terjadi pada awal tahap pengetahuan, dapat juga terjadi pada tahap persuasi, mungkin juga terjadi setelah konfirmasi, dan sebagainya.
Ada dua macam penolakan inovasi yaitu:
a)   Penolakan aktif artinya penolakan inovasi setelah melalui proses mempertimbangkan untuk menerima inovasi atau mungkin sudah mencoba lebih dahulu, tetapi keputusan akhir menolak inovasi.
b)   Penolakan pasif artinya penolakan inovasi dengan tanpa pertimbangan sama sekali.
Dalam pelaksanaan difusi inovasi antara: pengetahuan, persuasi dan keputusan inovasi sering berjalan bersamaan. Satu dengan yang lain saling berkaiatan. Bahkan untuk jenis inovasi tertentu dan dalam kondisi tertentu dapat terjadi urutan: pengetahuan-keputusan inovasi-baru persuasi.
d.    Tahap implementasi.
Tahap implementasi dari proses keputusan inovasi terjadi apabila seseorang menerapkan inovasi. Dalam tahap implementasi ini berlangsung keaktifan baik mental maupun perbuatan. Keputusan penerimaan gagasan atau ide baru dibuktikan dalam praktek. Pada umumnya implementasi tentu mengikuti hasil keputusan inovasi. Tetapi juga tejadi karena sesuatu hal sudah memutuskan menerima inovasi tidak diikuti implementasi. Biasanya hal ini terjadi karena fasilitas penerapan yang tidak tersedia.
Dalam tahap implementasi dapat terjadi hal yang yang disebut Reinvention (invensi kembali) yaitu penerapan inovasi dengan mengadakan perubahan atau modifikasi. Jadi penerapan inovasi tetapi tidak sesuai dengan aslinya. Reinvensi bukan berarti tentu hal yang tidak baik, tetapi terjadinya re-invensi dapat merupakan kebijakan dalam pelaksanaan atau penerapan inovasi, dengan mengingat kondisi dan situasi yang ada.
Hal-hal yang memungkinkan terjadinya re-invensi antara lain: inovasi yang sangat komplek dan sukar dimengerti, penerima inovasi kurang dapat memahami inovasi karena sukar untuk menemui agen pembaharu, inovasi yang memungkinkan berbagai kemungkinan aplikasi, apabila inovasi diterapkan untuk memecahkan masalah yang sangat luas, kebanggaan akan inovasi yang dimiliki oleh suatu daerah tertentu juga dapat menimbulkan re-invensi.
e.    Tahap konfirmasi.
Setelah sebuah keputusan dibuat, seseorang kemudian akan mencari pembenaran atas keputusan mereka. Tidak menutup kemungkinan seseorang kemudian mengubah keputusan yang tadinya menolak jadi menerima inovasi setelah melakukan evaluasi. Dalam tahap konfirmasi ini seseorang mencari penguatan terhadap keputusan yang telah diambilnya, dan ia dapat menarik kembali keputusannya jika memang diperoleh informasi yang bertentangan dengan informasi semula. Tahap konfirmasi ini sebenarnya berlangsung secara berkelanjutan sejak terjadi keputusan menerima atau menolak inovasi, yang berlangsung dalam waktu yang tak terbatas. Selama dalam tahap konfirmasi seseorang berusaha menghindari terjadinya disonansi atau paling tidak berusaha menguranginya.
Terjadinya perubahan tingkah laku seseorang antara lain disebabkan karena terjadinya ketidak seimbangan internal. Orang itu merasa dalam dirinya ada sesuatu yang tidak sesuai atau tidak selaras yang disebut disonansi, sehingga orang itu merasa tidak enak. Jika seseorang merasa dalam dirinya terjadi disonansi, maka ia akan berusaha untuk menghilangkannya atau paling tidak menguranginya dengan cara megubah pengetahuaannya. Dalam hubungannya dengan difusi inovasi, usaha mengurangi disonansi dapat terjadi:
a)   Apabila seseorang menyadari akan sesuatu kebutuhan dan berusaha mencari sesuatu untuk memenuhi kebutuhan misalnya dengan mencari informasi tentang inovasi. Hal ini terjadi pada tahap pengetahuan dalam proses keputusan inovasi.
b)   Apabila seseorang tahu tentang inovasi dan telah bersikap menyenangi inovasi tersebut, tetapi belum menetapkan keputusan untuk menerima inovasi. Maka ia akan berusaha untuk menerimanya, guna mengurangi adanya disonansi antara apa yang disenangi dan diyakini dengan apa yang dilakukan. Hal ini terjadi pada tahap keputusan inovasi, dan tahap implementasi dalam proses keputusan inovasi.
c)     Setelah seseorang menetapkan menerima dan menerapkan inovasi, kemudian diajak untuk menolaknya. Maka disonansi ini dapat dikurangi dengan cara tidak melanjutkan penerimaan dan penerapan inovasi (discontinuing). Ada kemungkinan lagi seseorang telah menetapkan untuk menolak inovasi, kemudian diajak untuk menerimanya. Maka usaha mengurangi disonansi dengan cara menerima inovasi (mengubah keputusan semula).
Ketiga cara mengurangi disonansi tersebut, berkaitan dengan perubahan tingkah laku seseorang sehingga antara sikap, perasaan, pikiran, perbuatan sangat erat hubungannya bahkan sukar dipisahkan karena yang satu mempengaruhi yang lain. Sehingga dalam kenyataan kadang-kadang sukar orang akan mengubah keputusan yang sudah terlanjur mapan dan disenangi, walaupun secara rasional diketahui ada kelemahannya. Oleh karena sering terjadi untuk menghidari timbulnya disonansi, maka ia hanya berusaha mencari informasi yang dapat memperkuat keputusannya. Dengan kata lain orang itu melakukan seleksi informasi dalam tahap konfirmasi (selective exposure).
Untuk menghindari terjadinya drop out dalam penerimaan dan implementasi inovasi (discontinue) peranan agen pembaharu sangat dominan. Tanpa ada monitoring dan penguatan orang yang akan mudah terpengaruh pada informasi negatif tentang inovasi.
Proses pengambilan keputusan inovasi dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar 1. Model Proses Pengambilan Keputusan Inovasi (Rogers, 1983)
Model tersebut menggambarkan tentang variabel yang berpengaruh terhadap tingkat adopsi suatu inovasi serta tahapan dari proses pengambilan keputusan inovasi. Variabel yang berpengaruh terhadap tahapan difusi inovasi tersebut mencakup (1) atribut inovasi (perceived atrribute of innovasion), (2) jenis keputusan inovasi (type of innovation decisions), (3) saluran komunikasi (communication channels), (4) kondisi sistem sosial (nature of social system), dan (5) peran agen perubah (change agents
Rogers (1983) mengatakan bahwa karakteristik inovasi (kelebihan, keserasian, kerumitan, dapat di uji coba dan dapat diamati), hal ini sangat menentukan tingkat suatu adopsi daripada faktor lain yaitu berkisar antara 49% sampai dengan 87%, seperti jenis keputusan, saluran komunikasi, sistem sosial dan usaha yang intensif dari agen perubahan, hal ini dapat dilihat pada gambar berikut:


Gambar 2.Faktor yang memengaruhi tingkat adopsi (Rogers, 1983)

4.    Difusi Inovasi
4.1.        Teori Difusi Inovasi
Difusi inovasi adalah suatu proses penyebar serapan ide-ide atau hal-hal yang baru dalam upaya untuk merubah suatu masyarakat yang terjadi secara terus menerus dari suatu tempat ke tempat yang lain, dari suatu kurun waktu ke kurun waktu yang berikut, dari suatu bidang tertentu ke bidang yang lainnya kepada sekelompok anggota dari sistem sosial.
Jadi dapat kita artikan difusi inovasi adalah teori tentang bagaimana suatu ide dan teknologi baru tersebar dalam sebuah kebudayaan. Teori ini dipopulerkan oleh Everett Rogers pada tahun 1964 melalui bukunya yang berjudul Diffusion of Innovations.
Teori  Diffusion of Innovations yang dikembangkan Rogers adalah suatu teori yang berusaha menjelaskan bagaimana, mengapa, dan seberapa cepat ide-ide baru dan teknologi menyebar melalui berbagai budaya. Difusi inovasi adalah proses dimana suatu inovasi dikomunikasikan melalui saluran tertentu dari waktu ke waktu di antara para anggota suatu sistem sosial. Artinya difusi inovasi bisa berbeda prosesnya serta berbeda juga hasilnya pada berbagai bentuk ide atau teknologi baru.
Munculnya Teori Difusi Inovasi dimulai pada awal abad ke-20, tepatnya tahun 1903, ketika seorang sosiolog Perancis, Gabriel Tarde, memperkenalkan Kurva Difusi berbentuk S (S-shaped Diffusion Curve). Kurva ini pada dasarnya menggambarkan bagaimana suatu inovasi diadopsi seseorang atau sekolompok orang dilihat dari dimensi waktu. Pada kurva ini ada dua sumbu dimana sumbu yang satu menggambarkan tingkat adopsi dan sumbu yang lainnya menggambarkan dimensi waktu.
Pemikiran Tarde menjadi penting karena secara sederhana bisa menggambarkan kecenderungan yang terkait dengan proses difusi inovasi. Rogers (1983) mengatakan, Tarde’s S-shaped diffusion curve is of current importance because “most innovations have an S-shaped rate of adoption”. Dan sejak saat itu tingkat adopsi atau tingkat difusi menjadi fokus kajian penting dalam penelitian-penelitian sosiologi.
Pada tahun 1940, dua orang sosiolog, Boyce Ryan dan Neal Gross, mempublikasikan hasil penelitian difusi tentang jagung hibrida pada para petani di Iowa, Amerika Serikat. Hasil penelitian ini memperbarui sekaligus menegaskan tentang difusi inovasi model kurva S. Salah satu kesimpulan penelitian Ryan dan Gross menyatakan bahwa “The rate of adoption of the agricultural innovation followed an S-shaped normal curve when plotted on a cumulative basis over time.”
Perkembangan berikutnya dari teori Difusi Inovasi terjadi pada tahun 1960, di mana studi atau penelitian difusi mulai dikaitkan dengan berbagai topik yang lebih kontemporer, seperti dengan bidang pemasaran, budaya, dan sebagainya. Di sinilah muncul tokoh-tokoh teori Difusi Inovasi seperti Everett M. Rogers dengan karya besarnya Diffusion of Innovation (1961); F. Floyd  Shoemaker yang bersama Rogers menulis Communication of Innovation: A Cross Cultural Approach (1971) sampai Lawrence A. Brown yang menulis Innovation Diffusion: A New Perpective (1981).
Teori Difusi Inovasi pada dasarnya menjelaskan proses bagaimana suatu inovasi disampaikan (dikomunikasikan) melalui saluran-saluran tertentu sepanjang waktu kepada sekelompok anggota dari sistem sosial. Hal tersebut sejalan dengan pengertian difusi dari Roger (1961), yaitu “as the process by which an innovation is communicated through certain channels over time among the members of a social system.” Lebih jauh dijelaskan bahwa  difusi adalah suatu bentuk komunikasi yang bersifat khusus berkaitan dengan penyebaranan pesan-pesan yang berupa gagasan baru, atau dalam istilah Rogers (1961) difusi menyangkut “which is the spread of a new idea from its source of invention or creation to its ultimate users or adopters.” 
Sesuai dengan pemikiran Rogers (1961), dalam proses difusi inovasi terdapat 4 (empat) elemen pokok, yaitu:
1.    Inovasi; gagasan, tindakan, atau barang yang dianggap baru oleh seseorang. Dalam hal ini, kebaruan inovasi diukur secara subjektif menurut pandangan individu yang menerimanya. Jika suatu ide dianggap baru oleh seseorang maka ia adalah inovasi untuk orang itu. Konsep ’baru’ dalam ide yang inovatif tidak harus baru sama sekali.
2.    Saluran komunikasi; alat untuk menyampaikan pesan-pesan inovasi dari sumber kepada penerima. Dalam memilih saluran komunikasi, sumber paling tidakperlu memperhatikan (a) tujuan diadakannya komunikasi dan (b) karakteristik penerima. Jika komunikasi dimaksudkan untuk memperkenalkan suatu inovasi kepada khalayak yang banyak dan tersebar luas, maka saluran komunikasi yang lebih tepat, cepat dan efisien, adalah media massa. Tetapi jika komunikasi dimaksudkan untuk mengubah sikap atau perilaku penerima secara personal, maka saluran komunikasi yang paling tepat adalah saluran interpersonal.
3.    Jangka waktu; proses keputusan inovasi, dari mulai seseorang mengetahui sampai memutuskan untuk menerima atau menolaknya, dan pengukuhan terhadap keputusan itu sangat berkaitan dengan dimensi waktu. Paling tidak dimensi waktu terlihat dalam (a) proses pengambilan keputusan inovasi, (b) keinovatifan seseorang: relatif lebih awal atau lebih lambat dalammenerima inovasi, dan (c) kecepatan pengadopsian inovasi dalam sistem sosial.
4.    Sistem sosial; kumpulan unit yang berbeda secara fungsional dan terikat dalam kerjasama untuk memecahkan masalah dalam rangka mencapai tujuan bersama   
Lebih lanjut teori yang dikemukakan Rogers (1995) memiliki relevansi dan argumen yang cukup signifikan dalam proses pengambilan keputusan inovasi. Teori tersebut antara lain menggambarkan tentang variabel yang berpengaruh terhadap tingkat adopsi suatu inovasi serta tahapan dari proses pengambilan keputusan inovasi. Variabel yang berpengaruh terhadap tahapan difusi inovasi tersebut mencakup (1) atribut inovasi (perceived atrribute of innovasion), (2) jenis keputusan inovasi (type of innovation decisions), (3) saluran komunikasi (communication channels), (4) kondisi sistem sosial (nature of social system), dan (5) peran agen perubah (change agents). 
 4.2.        Elemen Difusi Inovasi
Menurut Rogers (1983) dalam proses difusi inovasi terdapat 4 (empat) elemen pokok, yaitu: suatu inovasi, dikomunikasikan melalui saluran komunikasi tertentu, dalam jangka waktu dan terjadi diantara anggota-anggota suatu sistem sosial.
a.    Inovasi (gagasan, tindakan atau barang) yang dianggap baru oleh seseorang. Dalam hal ini, kebaruan inovasi diukur secara subjektif menurut pandangan individu yang menerimanya.
b.    Saluran komunikasi, adalah alat untuk menyampaikan pesan-pesan inovasi dari sumber kepada penerima. Jika komunikasi dimaksudkan untuk memperkenalkan suatu inovasi kepada khalayak yang banyak dan tersebar luas, maka saluran komunikasi yang lebih tepat, cepat dan efisien, adalah media massa. Tetapi jika komunikasi dimaksudkan untuk mengubah sikap atau perilaku penerima secara personal, maka saluran komunikasi yang paling tepat adalah saluran interpersonal.
c.    Jangka waktu, yakni proses keputusan inovasi dari mulai seseorang mengetahui sampai memutuskan untuk menerima atau menolaknya. Pengukuhan terhadap keputusan itu sangat berkaitan dengan dimensi waktu. Paling tidak dimensi waktu terlihat dalam (a) proses pengambilan keputusan inovasi, (b) keinovatifan seseorang (relatif lebih awal atau lebih lambat dalam menerima inovasi), dan (c) kecepatan pengadopsian inovasi dalam sistem sosial.
d.    Sistem sosial merupakan kumpulan unit yang berbeda secara fungsional dan terikat dalam kerjasama untuk memecahkan masalah dalam rangka mencapai tujuan bersama.
4.3.        Penerapan dan keterkaitan teori
Pada awalnya, bahkan dalam beberapa perkembangan berikutnya,  teori Difusi Inovasi senantiasa dikaitkan dengan proses pembangunan masyarakat. Inovasi merupakan awal untuk terjadinya perubahan sosial, dan perubahan sosial pada dasarnya merupakan inti dari pembangunan masyarakat. Rogers dan Shoemaker (1971) menjelaskan bahwa proses difusi merupakan bagian dari proses perubahan sosial. Perubahan sosial adalah proses dimana perubahan terjadi dalam struktur dan fungsi sistem sosial. Perubahan sosial terjadi dalam 3 (tiga) tahapan, yaitu: (1) Penemuan (invention), (2) difusi (diffusion), dan (3) konsekuensi (consequences). Penemuan adalah proses dimana ide/gagasan baru diciptakan atau dikembangkan. Difusi adalah proses dimana ide/gagasan baru  dikomunikasikan kepada anggota sistem sosial, sedangkan konsekuensi adalah suatu perubahan dalam sistem sosial sebagai hasil dari adopsi atau penolakan inovasi.
Sejak  tahun 1960-an, teori difusi inovasi berkembang lebih jauh di mana fokus kajian tidak hanya dikaitkan dengan proses perubahan sosial dalam pengertian sempit. Topik studi atau penelitian difusi inovasi mulai dikaitkan dengan berbagai fenomena kontemporer yang berkembang di masyarakat. Berbagai perpektif pun menjadi dasar dalam pengkajian proses difusi inovasi,seperti perspektif ekonomi, perspektif ’market and infrastructure (Brown, 1981). Salah satu definisi difusi inovasi dalam taraf perkembangan ini antara lain dikemukakan  Parker (1974), yang  mendefinisikan difusi sebagai suatu proses yang berperan memberi nilai tambah pada fungsi produksi atau proses ekonomi. Dia juga menyebutkan bahwa difusi merupakan suatu tahapan dalam proses perubahan teknik (technical change). Menurutnya difusi merupakan suatu tahapan dimana keuntungan dari suatu inovasi berlaku umum. Dari inovator, inovasi diteruskan melalui pengguna lain hingga akhirnya menjadi hal yang biasa dan diterima sebagai bagian dari kegiatan produktif.
Berkaitan dengan proses difusi inovasi tersebut National Center for the Dissemination of Disability Research (NCDDR), 1996, menyebutkan ada 4 (empat) dimensi pemanfaatan pengetahuan (knowledge utilization), yaitu
a.    Dimensi Sumber (SOURCE) diseminasi, yaitu insitusi, organisasi, atau individu yang bertanggunggung jawab dalam menciptakan pengetahuan dan produk baru.
b.    Dimensi Isi (CONTENT) yang didiseminasikan, yaitu pengetahuan dan produk baru dimaksud yang juga termasuk bahan dan informasi pendukung lainnya.
c.    Dimensi Media (MEDIUM) Diseminasi, yaitu cara-cara bagaimana pengetahuan atau produk tersebut dikemas dan disalurkan.
d.    Dimensi Pengguna (USER), yaitu pengguna dari pengetahuan dan produk dimaksud.

5.    Invention dan Re-Invention
Invention atau invensi merupakan suatu hal yang benar-benar baru (new), yang belum pernah ada sebelumnya, benar-benar hasil kreasi manusia yang belum pernah dijumpai/ditemukan. Munculnya ide, atau kreativitas yang baru itu tentu didasarkan pada pengalaman dan pengamatan ataupun hal-hal yang sudah ada tetapi wujud ditemukanyya adalah baru. Misalnya, bahan bakar dari limbah, mode pakaian, ataupun teori belajar, teori pendidikan dsb.
Dalam kehidupan sosial masyarakat invention menjadi sebuah persoalan tersendiri karena golongan masyarakat tertentu biasanya akan sulit menerima sesuatu yang baru yang ada pada lingkungan mereka. Proses penerimaan sesuatu yang benar-benar asing bagi mereka tidak serta merta lansung bisa di terima di kalangan tertentu atau tokoh masyarakat terpandang dalam masyarakat.
Butuh waktu yang panjang untuk meyakinkan golongan tertentu dalam menerima ide atau kriativitas lainnya, biasanya mereka baru akan percaya pada sesuatu yang baru apabilah mereka telah melihat bukti lansung dari penemuan tersebut, hanya golongan terpelajar dan golong pemuda yang biasanya cepat menerima sebuah perubahan.
Inovasi tidak selamanya baru (completely new), baik dari segi fisik maupun fitur yang melengkapinya. Inovasi dapat terjadi karena sebuah proses yang dikenal dengan nama re-invention. Proses re-invention ini bukan merupakan proses penemuan inovasi secara orisinil, namun lebih bersifat kosmetik atau dikenal dengan pseudo-innovation. Dalam sebuah pelayanan publik, proses re-invention juga dimungkinkan untuk dilakukan, dengan maksud agar pelayanan publik akan lebih mudah diterima oleh masyarakat lokal. Salah satu contoh yang paling mudah diamati dalam hasil sebuah proses.
6.    Keinovatifan (Innovativeness)
Keinovatifan (Innovativeness) adalah sejauh mana individu atau unit adopsi lain relatif  lebih awal dalam mengadopsi ide-ide baru dari anggota lain dari suatu sistem.Keinovatifan lebih menunjukkan perubahan perilaku yang nyata, yang menjadi tujuan utama dari sebagian besar program difusi, daripada hanya perubahan kognitif maupun sikap. Keinovatifan merupakan perilaku utama dalam proses difusi. (Rogers,1995).
Menurut Rogers (1995), keinovatifan adalah tingkat yang berkenaan dengan seberapa lama seseorang/kelompok/sistem sosial lebih dahulu dalam mengadopsi ide-ide baru dari konsep-konsep difusi inovasi dibandingkan dengan yang lain. Keinovatifan menjadi perubah utama dalam proses difusi inovasi yang disponsori oleh agen perubahan. Pada negara berkembang keinovatifan dipandang sebagai salah satu indikator kesuksesan program-program pembangunan. Keinovatifan menunjukan perubahan tingkah laku yaitu tujuan akhir program difusi bukan hanya pikiran dan sikap.
Inovasi di sini yaitu sebagai sasaran yang dapat menjadi instrumen untuk melakukan perubahan sosial sedangkan keinovatifan merupakan tingkat pengadopsian dari kelompok masyarakat dan juga menjadi ciri pokok masyarakat yang sedang mengalami proses perubahan. Proses perubahan tergantung pada waktu, objek dan sasaran. Ada yang gampang menerima atau bahkan sebaliknya yaitu sulit menerima atau menerima tetapi memerlukan waktu yang sangat lama.
Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang namanya keinovatifan adalah sebuah proses seseorang dalam menerima gagasan, objek yang menyangkut metode, strategi baru dan produk kategori lebih awal apabila dibandingkan dengan yang lain dalam sistem sosialnya. Lamban atau cepatnya dalam menerima inovasi melalui beberapa etape dan ini sangat tergantung pada individu penerima, karakteristik inovasi dan karakteristik lainnya yang individu itu berada di dalamnya.
Salah satu dampak penyebaran inovasi pada suatu masyarakat adalah terbentuknya karakteristik inovasi, yang dibedakan antara kelompok yang cenderung inovatif dan kurang inovatif. Rogers dan Shoemaker (1971) mengistilahkan hal tersebut sebagai karakteristik keinovatifan, yang dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu: (1) karakteristik sosial ekonomi, meliputi: status sosial, tingkat mobilitas/kekosmopolitan, luas lahan, modal, jenis pekerjaan, orientasi pada komersialisasi produk; (2) karakteristik individu yang diperlihatkan dengan: sikap empati, dogmatis, kemampuan abstraksi, rasionalitas, intelegensi, sikap terhadap perubahan, keberanian beresiko dan sikap futuristik; dan (3) karakteristik komunikasi yang meliputi: tingkat partisipasi sosial, komunikasi interpersonal, hubungan sosial dan dengan agen pembaharu, pemanfaatan media massa untuk mencari informasi, serta tingkat kepemimpinan.
Karakteristik sasaran termasuk salah satu faktor yang dipertimbangkan dalam kegiatan penyuluhan agar mendukung efektivitas penyampaian pesan pembangunan. Beberapa hasil penelitian tentang karakteristik keinovatifan antara lain dilakukan oleh Subagiyo (2005), di mana karakteristik yang berkaitan dengan keinovatifan petani dalam menerima informasi dan inovasi antara lain umur, tingkat pendidikan dan pengalaman bekerja, motivasi, tingkat keterdedahan terhadap informasi dari media, kekosmopolitan, serta keterlibatan dalam organisasi. Adapun Pertiwi, dkk. (2007) menunjukkan bahwa tingkat keinovatifan petani-nelayan yang dilihat dari peubah karakteristik individu, sosial dan komunikasi, menunjukkan kondisi yang sejalan dengan tingkatan kategori adopter. Artinya makin tinggi tingkatan kategori adopter, makin tinggi pula tingkat keinovatifannya.

7.    Kategori Adapter
Adopter adalah orang yang memakai atau menerima suatu inovasi. Adopter dapat diklasifikasikan berdasarkan kemampuan inovasi mereka (innovativeness) dan berdasarkan kecepatan mereka mengadopsi suatu inovasi yang diperkenalkan. Dalam suatu sistem sosial tidak semua individu mengadopsi sebuah inovasi pada waktu yang sama. Pada kenyataannya, mereka mengadopsi dalam kurun waktu yang bertahap sehingga dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori adopter (penerima) berdasarkan kapan mereka pertama kali menggunakan inovasi. Kita bisa menggambarkannya dengan menggunakan kategori adopter, yaitu klasifikasi anggota suatu sistem berdasarkan keinovasian (innovativeness) mereka. Setiap kategori adopter terdiri dari individu dengan tingkat inovasi yang serupa. Jadi, kategori adopter adalah alat yang memudahkan dalam menggambarkan anggota sistem.
Kita mengetahui lebih banyak tentang inovasi yaitu derajat tingkat kepada perorangan atau unit lain dari adopsi secara relatif lebih awal mengadopsi gagasan baru dibanding anggota suatu syatem yang lain, dibanding sekitar konsep lain di dalam riset difusi. Sebab inovatif ditingkatkan adalah sasaran para agen perubahan yang utama, itu menjadi variabel dependent yang utama di dalam riset difusi. Inovatif menandai adanya perubahan tingkah laku terang, tujuan yang terakhir yaitu kebanyakan program difusi, dibanding/bukannya teori yang baru atau tindakan yang seringkali berubah. Maka inovatif adalah suatu garis alas tentang jenis perilaku di dalam proses pembauran.
Salah satu pengelompokan yang bisa dijadikan rujukan adalah pengelompokan berdasarkan kurva adopsi, yang telah diuji oleh Rogers (1961). Yang diklasifikasikan atas lima kategori yaitu:
a.    Inovator (Innovators)
Adalah kelompok orang yang berani dan siap untuk mencoba hal-hal baruHubungan sosial mereka cenderung lebih erat dibanding kelompok sosial lainnya. Orang-orang seperti ini lebih dapat membentuk komunikasi yang baik meskipun terdapat jarak geografis. Biasanya orang-orang ini memiliki gaya hidup dinamis di perkotaan yang memiliki banyak teman atau relasi.
b.    Pengguna awal ( Early Adopter)
Kelompok ini lebih  lokal dibanding kelompok inovatorKategori adopter seperti ini menghasilkan lebih banyak opini dibanding kategori lainnya, serta selalu mencari informasi tentang inovasi. Mereka dalam kategori ini sangat disegani dan dihormati oleh kelompoknya karena kesuksesan mereka dan keinginannya untuk mencoba inovasi baru.
c.    Mayoritas awal (Early Majority)
Kategori pengadopsi seperti ini merupakan mereka yang tidak mau menjadi kelompok pertama yang mengadopsi sebuah inovasi. Sebaliknya, mereka akan dengan berkompromi secara hati-hati sebelum membuat keputusan dalam mengadopsi inovasi, bahkan bisa dalam kurun waktu yang lama. Orang-orang seperti ini menjalankan fungsi penting dalam melegitimasi sebuah inovasi, atau menunjukkan kepada seluruh komunitas bahwa sebuah inovasi layak digunakan atau cukup bermanfaat.
d.    Mayoritas akhir (Late Majority)
Kelompok yang ini lebih berhati-hati mengenai fungsi sebuah inovasi. Mereka menunggu hingga kebanyakan orang telah mencoba dan mengadopsi inovasi sebelum mereka mengambil keputusan. Terkadang, tekanan dari kelompoknya bisa memotivasi mereka. Dalam kasus lain, kepentinganekonomi mendorong mereka untuk mengadopsi inovasi.
e.    Tradisional / Kolot/ Terlambat (laggards/avoiders)
Kelompok ini merupakan orang yang terakhir melakukan adopsi inovasi. Mereka bersifat lebih tradisional, dan segan untuk mencoba hal hal baru. Kelompok ini biasanya lebih suka bergaul dengan orang-orang yang memiliki pemikiran sama dengan mereka. Sekalinya sekelompok laggard mengadopsi inovasi baru, kebanyakan orang justru sudah jauh mengadopsi inovasi lainnya, dan menganggap mereka ketinggalan zaman.
Dengan pengetahuan tentang kategorisasi adopter ini dapatlah kemudian disusun strategi difusi inovasi yang mengacu pada kelima kategori adopter, sehingga dapat diperoleh hasil yang optimal, sesuai dengan kondisi dan keadaan masing-masing kelompok adopter. Hal ini penting untuk menghindari pemborosan sumber daya hanya karena strategi difusi yang tidak tepat. Strategi untuk menghadapi adopter awal misalnya, haruslah berbeda dengan strategi bagi mayoritas akhir,mengingat gambaran ciri-ciri mereka masing-masing (Rogers, 1983). Rogers menggambarkan kategori adapter sebagai berikut :
a.    Innovators : Sekitar 2,5% individu yang pertama kali mengadopsi inovasi. Cirinya: petualang, berani mengambil resiko, mobile, cerdas, kemampuan ekonomi tinggi.
b.    Early Adopters (Perintis/Pelopor) : 13,5% yang menjadi para perintis dalam penerimaan inovasi. Cirinya: para teladan (pemuka pendapat), orang yang dihormati, akses di dalam tinggi.
c.    Early Majority (Pengikut Dini) : 34% yang menjadi pera pengikut awal. Cirinya: penuh pertimbangan, interaksi internal tinggi.
d.    Late Majority (Pengikut Akhir) : 34% yang menjadi pengikut akhir dalam penerimaan inovasi. Cirinya: skeptis, menerima karena pertimbangan ekonomi atau tekanan social, terlalu hati-hati.
e.    Laggards (Kelompok Kolot/Tradisional) : 16% terakhir adalah kaum kolot/tradisional. Cirinya : tradisional, terisolasi, wawasan terbatas, bukan opinion leaders,sumber daya terbatas.
Dilihat dari karakteristik kategori penerima (Characteristics of Adopter Categories) dapat dibedakan berdasarkan karakteristik sosiekonomis, variabel kepribadian dan perilaku komunikasi.
1.    Karakteristik sosioekonomis
a.    Early adopter tidak berbeda dengan late adopter dalam hal usia;
b.    Early adopter memiliki pendidikan formal yang lebih dibandingkan dengan late adopter;
c.    Early adopter memiliki status sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan late adopter;
d.    Early adopter memiliki tingkat mobilitas sosial yang lebih besar dibandingkan dengan late adopter;
e.    Early adopter memiliki unit yang lebih luas (ladang, sekolah dsb.) dibandingkan dengan late adopter.
2.    Variabel kepribadian
a.    Early adopter memiliki empati yang lebih besar dibandingkan dengan late adopter;
b.    Early adopter mungkin kurang dogmatis dibandingkan dengan late adopter;
c.    Early adopter memiliki kemampuan yang lebih besar dalam menerima gambaran umum (abstraksi)  dibandingkan dengan late adopter;
d.    Early adopter memiliki rasionalitas yang lebih besar dibandingkan dengan late adopter;
e.    Early adopter lebih pintar dibandingkan dengan late adopter;
f.     Early adopter memiliki sikap menyenangi perubahan yang lebih dibandingkan dengan late adopter;
g.    Early adopter kurang fatalistis dibandingkan dengan late adopter
h.    Early adopter memiliki aspirasi yang lebih tinggi (untuk pendidikan formal, status, pekerjaan, dsb.) dibandingkan dengan late adopter;
3.    Prilaku komunikasi
a.    Early adopter memiliki partisipasi sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan late adopter;
b.    Early adopter berhubungan lebih tinggi dalam hal hubungan interpersonal di dalam sistem sosial mereka dibandingkan dengan late adopter;
c.    Early adopter memiliki lebih banyak kontak dengan agen perubahan dibandingkan dengan late adopter;
d.    Early adopter memiliki eksposur yang lebih tinggi terhadap saluran komunikasi interpersonal dibandingkan dengan late adopter;
e.    Early adopter lebih aktif dalam mencari informasi tentang inovasi dibandingkan dengan late adopter;
f.     Early adopter memiliki pengetahuan yang lebih luas tentang inovasi dibandingkan dengan late adopter;
g.    Early adopter memiliki tingkat yang lebih tinggi dalam hal kepemimpinan opini dibandingkan dengan late adopter.

8.    Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecepatan Adopsi
Cepat lambatnya adopsi inovasi oleh masyarakat luas dipengaruhi oleh karakteristik inovasi itu sendiri. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Zaltman, Duncan, dan Holbek bahwa cepat lambatnya suatu inovasi diterima dan diikuti oleh masyarkat tergantung pada atribut atau karakteristik inovasi tersebut. Atribut atau karakteristik inovasi adalah salah satu hal yang penting dalam menjelaskan tingkat adopsi suatu inovasi. Dari 49 hingga 87 persen dari variasi dalam tingkat adopsi suatu inovasi dipengaruhi oleh lima atribut/karakteristik inovasi, yaitu keuntungan relatif, kompatibilitas, kompleksitas, trialabilitas, observabilitas.
Jika proses tersebut melalui "pemaksaan" (coersion), biasanya dapat berlangsung secara cepat, tetapi jika melalui "bujukan" (persuasive) atau "pendidikan" (learning), proses adopsi tersebut dapat berlangsung lebih lambat (Soewardi, 1987). Tetapi, ditinjau dari pemantaban perubahan perilaku yang terjadi, adopsi yang berlangsung melalui proses bujukan dan atau pendidikan biasanya lebih sulit berubah lagi. Sedang adopsi yang terjadi melalui pemaksaan, biasanya lebih cepat berubah kembali, segera setelah unsur atau kegiatan pemak-saan tersebut tidak dilanjutakan lagi.
Menurut Soewardi (1987), kecepatan adopsi, ternyata dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu
a.    Sifat-sifat atau karakteristik inovasi
b.    Sifat-sifat atau karakteristik calon pengguna
c.    Pengambilan keputusan adopsi
d.    Saluran atau media yang digunakan
e.    Kualifikasi agen perubahan.
Kecepatan adopsi menurut Soewardi (1987) dapat dilihat pada gambar 3. dibawah ini
 

     Gambar 3. Faktor yang memengaruhi Kecepatan Adopsi Inovasi
Meskipun demikian, Mardikanto (1993) mensinyalir bahwa, identifikasi beragam faktor penentu kecepatan adopsi inovasi itu masih terbatas pada pendekatan proses komunikasi. Karena itu Soewardi (1976), melihat bahwa kecepatan adopsi inovasi dapat pula dipengaruhi oleh perilaku aparat dan hal-hal lain yang terkait dalam kegiatan pengembangan masyarakat.
Studi tentang adopsi inovasi, telah banyak dilakukan oleh berbagai pihak. Herman Soewardi (1976), misalnya, telah melakukan studi untuk melihat proses adopsi sebagai proses perkembangan kebudayaan, berdasarkan teori Erasmus:
A = f (M, C, L)
di mana :
    A      = adoption,
M     = motivation,
C     = cognition, dan
L      = limitation.
Mardikanto (1993) menyatakan bahwa kecepatan adopsi dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu: sifat inovasinya sendiri, baik sifat intrinsik yang melekat pada inovasinya sendiri maupun sifat ekstrinsik yang dipengaruhi oleh keadaan lingkungan, sifat sasarannya, cara pengambilan keputusan, saluran komunikasi yang digunakan, keadaan agen perubahan. Berkaitan dengan kemampuan agen untuk berkomunikasi, perlu juga diperhatikan kemampuan berempaati atau kemampuan untuk merasakan keadaan yang sedang dialami atau perasaan orang lain, dan ragam sumber informasi.
Lionberger dalam Mardikanto (1993) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi kecepatan mengadopsi inovasi ditinjau dari ragam golongan masyarakat yang meliputi: luas usahatani, tingkat pendapatan, keberanian mengambil resiko, umur, tingkat partisipasinya dalam kelompok/organisasi di luar lingkungannya sendiri, aktivitas mencari informasi dan ide-ide baru, sumber informasi yang dimanfaatkan.
Slamet (1978) dengan menggunakan pendekatan ilmu komunikasi seperti yang biasa dilakukan oleh Rogers (1969), mengenalkan variabel-variabel penentu kecepatan adopsi yang terdiri atas: sifat-sifat inovasinya, kegiatan promosi yang dila-kukan penyuluh, ciri-ciri sistem sosial masyarakat sasaran, dan jenis pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sasaran.  Selain itu, proses adopsi inovasi juga dapat didekati dengan pemahaman bahwa proses adopsi inovasi itu sendiri merupa-kan proses yang diupayakan secara sadar demi tercapainya tujuan pembangunan pertanian.
Berlandaskan pada pemahaman diatas, terdapat beberapa pokok-pokok pemikiran tentang adopsi inovasi, sebagai berikut:
a.    Adopsi inovasi memerlukan proses komunikasi yang terus-menerus untuk me-ngenalkan, menjelaskan, mendidik, dan membantu masyarakat agar tahu, mau, dan mampu menerapkan teknologi terpilih (yang disuluhkan).
b.    Adopsi inovasi merupakan proses pengambilan keputusan yang berkelanjutan dan tidak kenal berhenti, untuk: mem-perhatikan, menerima, memahami, meng-hayati, dan menerapkan teknologi-terpilih yang disampaikan.
c.    Adopsi inovasi memerlukan kesiapan untuk melakukan perubahan-perubahan dalam praktek usahanya, dengan memanfaatkan teknologi terpilih
Sehubungan dengan ragam golongan masyarakat ditinjau dari kecepatannya mengadopsi inovasi, Lionberger (1960) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi kecepatan seseorang untuk mengadopsi inovasi yang meliputi:
a.    Luas usaha, semakin luas biasanya semakin cepat mengadopsi, karena memiliki kemampuan ekonomi yang lebih baik.
b.    Tingkat pendapatan, semakin tinggi tingkat pendapatan biasanya akan semakin cepat mengadopsi inovasi.
c.    Keberanian mengambil resiko, sebab pada tahap awal biasanya tidak selalu berhasil seperti yang diharapkan. Karena itu, individu yang memiliki keberanian mengha-dapi resiko biasanya lebih inovatif.
d.    Umur, semakin tua (diatas 50 tahun), biasanya semakin lamban mengadopsi inovasi, dan cenderung hanya melak-sanakan kegiatan-kegiatan yang sudah biasa diterapkan oleh warga masyarakat setempat.
e.    Tingkat partisipasinya dalam kelompok/organisasi di luar lingkungannya sendiri.
Warga masyarakat yang suka bergabung dengan orang-orang di luar sistem sosialnya sendiri, umumnya lebih inovatif dibanding mereka yang hanya melakukan kontak pribadi dengan warga masyarakat setempat.
f.     Aktivitas mencari informasi dan ide-ide baru.
Golongan masyarakat yang aktif mencari informasi dan ide-ide baru, biasanya lebih inovatif dibanding orang-orang yang pasif apalagi yang selalu keptis (tidak percaya) terhadap sesuatu yang baru.
Selain itu, Dixon (1982) mengemukakan beberapa sifat individu yang sangat berperan dalam mempengaruhi kecepatan adopsi inovasi, yang berupa:
a.    Prasangka inter personal
Adanya sifat kelompok masyarakat (terutama yang masih tertutup) untuk mencurigai setiap tindakan orang -orang yang berasal dan berada di luar sistem sosialnya, sering-kali berpengaruh terhadap kecepatan adopsi inovasi.
Karena itu, proses adopsi inovasi dapat dipercepat jika penyuluh dapat memanfaatkan tokoh-tokoh atau panutan masyarakat setempat. Sebab, di dalam masyarakat sasaran seperti ini, mereka akan cepaat mengadopsi inovasi yang disampaikan oleh orang-orang yang telah mereka kenal, dan pihak-pihak yang senasib dan sepenanggungan.
b.    Pandangan terhadap kondisi lingkungannya yang terbatas
Foster (1965) dan Shanin (1973) dari hasil pengamatannya menyimpulkan bahwa, kecepatan adopsi inovasi sangat tergantung pada persepsi sasaran terhadap keadaan ling-kungan sosial di sekitarnya. Jelasnya, jika mereka keadaan masyarakat (sosial ekonomi, teknologi yang diterapkan) relatif seragam, mereka akan kurang terdorong untuk mengadopsi inovasi yang ditawarkan guna melakukan perubahan-perubahan. Sebaliknya, jika ada seseorang atau beberapa anggota masyarakat sasaran yang memiliki kelebihan-kelebihan yang tidak dimilikinya, mereka akan cenderung berupaya keras untuk melakukan perubahan-perubahan demi tercapainya peningkatan atau perbaikan mutu hidup mereka sendiri dan masyarakatnya.
c.    Sikap terhadap penguasa
Di dalam kehidupaan sehari-hari, sebenarnya terdapat dualisme tentang sikap masyarakat terhadap penguasanya. Di satu pihak, elit penguasa dinilai sebagai kelompok yang selalu meendominasi dan mengeksploitasi warga masyarakat pada umumnya, dan di pihak lain dinilai seba-gai pelindung dan kelompok yang memegang kekuasaan dan mampu memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi.
Dualisme sikap terhadap penguasa seperti ini, jugaa berpengaruh kepada kecepatan adopsi inovasi, terutama jika kegiatan penyuluhannya selalu diikuti/didampingi atau dilaksanakaan sendiri oleh aparat pemerintah.
Sehingga kehadiran aparat penguasa kadang-kadang sa-ngat diperlukan, tetapi di pihak lain sering kali juga harus dihindarkan.
d.    Sikap kekeluargaan
Sebagaimana juga telah dikemukakan pada Bab sebelum-nya, tidak ada satupun warga masyarakat sasaran yang mampu mengambil keputusan secara individual, tanpa mengikut sertakan keluarga atau kerabat dekatnya.
Oleh sebab itu, di dalam sistem sosial yang sikap keke-luargannya masih tebal, adopsi inovasi berlangsung relatif lambat, karena setiap pengambilan keputusan untuk mengadopsi selalu harus menunggu kesepakatan seluruh anggota keluarga atau kerabatnya. Dan ini relatif berbeda dengan masyarakat komersial yang individualistis, yang pada umumnya dapat mengambil keputusan sendiri untuk mengadopsi inovasi yang ditawarkan penyuluhnya.
e.    Fatalisme
Fatalisme adalah suatu kondisi yang menunjukkan keti-dakmampuan seseorang untuk merencanakan masa depan-nya sendiri, sebagai akibat dari pengaruh faktor-faktor luar yang tidak mampu dikuasainya. Kondisi seperti ini, umumnya dimiliki oleh masyarakat petani yang kehidupan maupun usahataninya relatif masih sangat tergantung kepada keadaan alam, dan atau diper-kuat lagi dengan sistem pemerintahan otoriter yang kurang memberikan kesempatan kepada masyarakatnya untuk menentukan nasibnya sendiri. Dalam kondisi fatalisme seperti itu, adopsi inovasi akan berlangsung sangat lam-ban, karena akan menghadapi resiko dan ketidakpastian yang sangat besar.

f.     Kelemahan Aspirasi
Sebagai akibat lanjutan dari kondisi fatalisme adalah lemahnya aspirasi atau cita-cita untuk menikmati kehi-dupan yang lebih baik. Dalam kondisi seperti ini, sebagian besar masyarakat sasaran akan bersifat pasrah, dan cukup puas dengan apa yang dapat dinikmati tanpa adanya cita-cita dan harapan untuk dapat hidup yang lebih baik. Sehingga, setiap inovasi yang ditawarkan akan sangat lamban diadopsi.
g.    Hanya berpikir untuk hari ini
Dengan lemahnya aspirasi yang disebabkan oleh fatalisme di atas, warga masyarakat yang bersangkutan tidak pernah berpikir tentang hari esok. Yang menyelimuti hati dan pikiran mereka hanyalah: bagaimana untuk bisaa hidup hari ini sepuas-puasnya, sedang hari esok tergantung kepada nasib.
Masyarakat seperti ini hanya berpandangan "quick yielding" yang cepat dapat dinikmati, dan akan sangat mengadopsi inovasi yang umumnya berupa investasi untuk mencapai tujuan perbaikan mutu hidup dalam jangka panjang.
h.    Kosmopolitness, yaitu tingkat hubungannya dengan "dunia luar" di luar sistem sosialnya sendiri.
Kosmopolitnes, dicirikan oleh frekuensi dan jarak perjalanan yang dilakukan, serta pemanfaatan media massa. Bagi warga masyarakat yang relatif lebih kosmopolit, adopsi inovasi dapat berlangsung lebih cepat. Tetapi, bagi yang lebih "localite" (tertutup, terkungkung di dalam sistem sosialnya sendiri, proses adopsi inovasi akan ber-langsung sangat lamban karena tidak adanya keinginan-keinginan baru untuk hidup lebih "baik" seperti yang telah dapat dinikmati oleh orang-orang lain di luar sistem sosialnya sendiri.
i.      Kemampuan berpikir kritis, dalam arti kemampuan untuk menilai sesuatu keadaan (baik/buruk, pantas/tidak pantas, dll).
Akibatnya adalah, meskipun inovasi yang ditawarkan itu akan benar-benar dapat memberikaan peluang untuk meraih mutu hidup yang lebih baik, proses pengambilan keputusan untuk mengadopsi tetap juga berjalan lamban.
j.      Tingkat kemajuan peradabannya
Kemajuan tingkat peradaban, akan sangat menentukan ragam dan mutu kebutuhan-kebutuhan yang dirasakan oleh setiap individu dalam sistem sosial yang bersangkutan (Lippit, 1958).
Karena itu, tingkat adopsi inovasi di dalam masyarakat yang lebih maju akaan relatif lebih cepat, karena setiap warga masyarakat terdorong untuk selalu ingin memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang terus menerus mengalami perubahaan, baik dalam ragam kebutuhannya maupun mutu yang diinginkannya.
Terlepas dari ragam karakteristik individu dan masyarakat, cara pengambilan keputusan yang dilakukan untuk mengadopsi sesuatu inovasi juga akan mempengaruhi kecepatan adopsi. Tentang hal ini, jika keputusan adopsi dapat dilakukan secara pribadi (individual) relatif lebih cepat dibanding pengambilan keputusan berdasarkan keputusan bersama (kelompok) warga masyarakat yang lain, apalagi jika harus menunggu peraturan-peraturan tertentu (seperti: rekomendasi pemerintah/penguasa).
Kecepatan adopsi, ternyata dipengaruhi oleh faktor sifat inovasinya sendiri, baik sifat intrinsik (yang melekat pada inovasi sendiri) maupun sifat ekstrinsik (dipengaruhi oleh keadaan lingkungannya (Mardikanto, 1988).
Sifat-sifat intrinsik inovasi itu mencakup:
a.    informasi ilmiah yang melekat, dilekatkan pada inovasinya,
b.    nilai-nilai atau keunggulan-keunggulan (teknis, ekonomis, sosial, budaya, dan politis) yang melekat pada inovasinya,
c.    tingkat kerumitan (kompleksitas) inovasi,
d.    mudah tidaknya inovasi dikomunikasikan (kekomunikatifan),
e.    mudah/tidaknya inovasi tersebut dicobakan (trial-ability)
f.     mudah tidaknya inovasi tersebut diamati (Observability).
Sedang sifat-sifat ekstrinsik inovasi meliputl:
a.    kesesuaian (compatibility) inovasi dengan lingkungan setempat (baik lingkungan fisik, sosial budaya, politik, dan kemampuan ekonomis masyarakatnya).
b.    Tingkat keunggulan relatif dan inovasi yang ditawarkan, atau keunggulan lain yang dimiliki oleh inovasi dibanding dengan teknologi yang sudah ada yang  akan diperbaharui/digantikannya; baik keunggulan teknis (kecocokan dengan  keadaan alam setempat, dan tingkat produktivitasnya), ekonomis (besarnya beaya atau keuntungannya), manfaat non ekonomis, maupun dampak sosial budaya dan politis yang ditimbulkannya (relative advantage).
Wayne Lamble dalam Ibrahim et al (2003) menyatakan bahwa tingkat adopsi suatu inovasi sangat dipengaruhi oleh oleh keputusan untuk mengadopsi atau menolak suatu inovasi. Tipe keputusan ini diklasifikasikan menjadi:
1)      Keputusan opsional, yaitu keputusan yang dibuat seseorang dengan mengabaikan keputusan yang dilakukan orang-orang lainnya dalam suatu sistem sosial. Dalam kaitannya dengan hubungan individual antara penyuluh dengan adopter. Penyuluh berperan sebagai akseleran pengambilan keputusan secara opsional.
2)      Keputusan kolektif, yaitu keputusan yang dilakukan individu-individu dalam suatu sistem sosial yang telah dimufakati atau disetujui bersama.
3)      Keputusan otoritas, yaitu keputusan yang dipaksakan oleh seseorang yang memiliki kekuasaan lebih besar kepada individu lainnya.
Hanafi (1987) menyatakan bahwa tipe keputusan inovasi mempengaruhi kecepatan adopsi. Secara umum kita dapat mengharapkan bahwa inovasi yang diputuskan secara otoritas akan diadopsi lebih cepat karena orang yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan inovasi lebih sedikit. Akan tetapi, jika bentuk keputusan itu tradisional mungkin tempo adopsinya juga lebih lambat. Keputusan opsional biasanya lebih cepat daripada keputusan kolektif, tetapi lebih lambat daripada keputusan otoritas. Barangkali yang paling lambat adalah tipe keputusan kontingen karena harus melibatkan keputusan inovasi atau lebih.

9.    Opinion Leaders
Istilah opinion leader menjadi perbincangan dalam literatur komunikasi sekitar tahun 1950-1960an. Sebelumnya dalam istilah komunikasi sering digunakan istilah influentials, influence atau tastemakers untuk menyebut opinion leader. Kata opinion leader kemudian menjadi lebih lekat dengan kondisi masyarakat di pedesaan karena tingkat media exposure-nya dan tingkat pendidikannya yang masih rendah. Akses dari media lebih memungkinkan dari mereka yang mempunyai tingkat pemahaman yang lebih tinggi. Melalui seorang opinion leader-lah informasi yang datangnya dari media diketahui oleh masyarakat awam.
Secara tidak langsung, opinion leader merupakan perantara berbagai informasi yang diterima dan diteruskan kepada masyarakat setempat. Pihak yang sering menjadi media exposure di masyarakat desa kadang diperankan oleh seorang opinion leader. Mereka ini sangat dipercaya dan dijadikan panutan serta menjadi tempat bertanya dan meminta nasehat dalam segala hal.
Seorang opinion leader berhubungan dengan opinion leadership (kepemimpinan pendapat). Dua istilah ini saling berkaitan karena dalam setiap kepemimpinan dibutuhkan seorang pemuka pendapat untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan masyarakat.
9.1.        Pengertian Opinion Leaders
 Opinion leader (diterjemahkan sebagai pemimpin pendapat atau pemuka masyarakat), tampaknya ada kesempatan untuk memakai istilah yang sama, yaitu Opinion leader (untuk menunjuk orangnya) dan opinion leadership (untuk menunjuk kepastiannya). Opinion leadership dimaksudkan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi secara informal sikap-sikap atau perilaku nyata dari individu-individu lain melalui cara-cara yang diinginkan serta dengan frekuensi yang relatif intensif.
Opinion leaders atau pemimpin opini adalah individu yang memimpin dalam mempengaruhi pendapat orang lain tentang inovasi. Perilaku pemimpin opini penting dalam menentukan tingkat adopsi suatu inovasi dalam suatu sistem. Bahkan, bentuk kurva difusi terjadi karena pemimpin opini sekali mengadopsi kemudian memberitahu orang lain tentang inovasi yang diadopsinya.
Opinion leaders adalah orang yang mempunyai keunggulan dari masyarakat kebanyakan. Opinion leaders lebih mudah menyesuaikan diri dengan masyarakatnya, lebih kompeten dan lebih tahu memelihara norma yang ada. Kemampuan dirinya memelihara norma menjadi salah satu konsekuensi logis bentuk pelayanan atau suri teladan yang diberikan atau ditunjukkan kepada masyarakatnya. Menurut Homans (1961), ”Seseorang yang memiliki status sosial tinggi (pemimpin pendapat) akan  senantiasa memelihara nilai-nilai serta norma kelompoknya sebagai syarat minimal dalam mempertahankan statusnya.”
Jadi, Opinion leaders dapat dikatakan sebagai orang-orang berpengaruh, yakni orang-orang tertentu yang mampu memengaruhi sikap orang lain secara informal dalam suatu sistem sosial, bisa karena kekayaan, pengetahuan, budi pekerti, atau kesuksesannya dalam menjalani kehidupan. Karena kebijaksanaan dan pengetahuannya seorang tokoh masyarakat bisa menjadi panutan bagi orang-orang. Dalam kenyataannya, orang berpengaruh ini dapat menjadi pendukung inovasi atau sebaliknya, menjadi penentang. Ia (mereka) berperan sebagai model dimana perilakunya (baik mendukung atau menentang) diikuti oleh para pengikutnya.




9.2.        Karakteristik Opinion Leaders
Opinion Leader adalah orang yang mempunyai keunggulan dari masyarakat kebanyakan. Sudah sepantasnya jika mereka mempunyai karakteristik yang membedakan dirinya dengan orang lain. Beberapa karakteristik yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a.      Lebih tinggi pendidikan formalnya dibandingkan dengan anggota masyarakat lain;
b.      Lebih tinggi Status Sosial Ekonominya (SSE);
c.      Lebih inovatif dalam menerima dan mengadopsi ide baru;
d.      Lebih tinggi pengenalan medianya (media exposure)
e.      Kemampuan empati lebih besar;
f.       Partisipasi social lebih besar;
g.      Lebih kosmopolit (mempunyai wawasan dan pengetahuan yang luas)
Di samping itu ada juga syarat seorang pemimpin (termasuk pemimpin opini) yang pernah dikatakan oleh Floyd Ruch sebagai berikut:
a.      Social perception, artinya seorang pemimpin harus dapat memiliki ketajaman dalam menghadapi situasi;
b.      Ability in abstract thinking, artinya pemimpin harus memiliki kecakapan secara abstrak terhadap masalah yang dihadapi.
c.      Emotional stability, artinya pemimpin harus memiliki perasaan stabil, tidak mudah terkena pengaruh dari luar (yang tidak diyakini dan bertolak belakang dengan keyakinan masyarakat) (Santoso,1992)
Salah satu keunggulan opinion leader di bandingkan dengan masyarakat kebanyakan adalah pada umumnya opinion leader itu lebih menyesuaikan diri dengan masyarakatnya, lebih kompeten dan lebih tahu memelihara norma yang ada. Menurut Humans dalam Depari dan Andrew (1991)Seorang yang memilki status sosial tinggi (pemimpin pendapat) akan senantiasa memelihara nilai-nilai serta norma kelompoknya sebagai syarat minimal dalam mempertahankan statusnya.”
Opinion leader dalam kelompok mempunyai cara yang berbeda-beda dalam  menyampaikan pesannya kepada komunikan untuk mendapatkan respon atau tanggapan tertentu dalam situasi tertentu pula. Kesesuaian maksud dari opinion leader ini tergantung dari isi pesan dan feedback yang diharapkan dari komunikan. Selain itu faktor psikologis masing-masing opinion leader juga menentukan gaya dan caranya dalam mengelola penyampaian pesan. 
Dalam sebuah komunikasi, umpan balik merupakan bentuk khas dari sebuah pesan.Komunikasi disebut efektif jika umpan balik yang didapatkan sesuai dengan harapan komunikator.Oleh karena itu perlu seorang komunikator yang berkemampuan untuk mendapatkan kategori komunikasi efektif.
Untuk itu karakteristik opinion leader dapat dibagi menjadi 6 (enam), yaitu:
1)      The Controlling Style 
Dalam karakter opinion leader yang pertama adalah bersifat mengendalikan. Gaya mengendalikan ini ditandai dengan adanya satu kehendak atau maksud untuk membatasi, memaksa dan mengatur baik perilaku, pikiran dan tanggapan komunikan. Gaya ini dapat dikategorikan sebagai one step flow. Oleh karena itu opinion leader tidak berusaha untuk membicarakan gagasannya, namun lebih pada usaha agar gagasannya ini dilaksanakan seperti apa yang dikatakan dan diharapkan tanpa mendengarkan pikiran dari komunikan.
2)      The Equalitarian Style 
Gaya ini lebih mengutamakan kesamaan pikiran antara opinion leader dan komunikan. Dalam gaya ini tindak komunikasi dilakukan secara terbuka. Artinya setiap anggota dapat mengkomunikasikan gagasan ataupun pendapat dalam suasana yang rileks, santai dan informal. Dengan kondisi yang seperti ini diharapkan komunikasi akan mencapai kesepakatan dan pengertian bersama.  Opinion leader yang menggunakan pola two step flow ini merupakan orang-orang yang memiliki sikap kepedulian tinggi serta kemampuan membina hubungan baik dengan orang lain dalam lingkup hubungan pribadi maupun hubungan kerja. Oleh karena itu akan terbina empati dan kerjasama dalam setiap pengambilan keputusan terlebih dalam masalah yang kompleks. 
3)      The Structuring Style 
Poin dalam gaya ini adalah penjadwalan tugas dan pekerjaan secara terstuktur. Seorang opinion leader yang menganut gaya ini lebih memanfaatkan pesan-pesan verbal secara lisan maupun tulisan agar memantapkan instruksi yang harus dilaksanakan oleh semua anggota komunikasi. Seorang opinion leader yang mampu membuat instruksi terstuktur adalah orang-orang yang mampu merencanakan pesan-pesan verbal untuk memantapkan tujuan organisasi, kerangka penugasan dan memberikan jawaban atas pertanyaan yang muncul.
4)      The Relinquising Style 
Gaya ini lebih dikenal dengan gaya komunikasi agresif, artinya pengirim pesan atau komunikator mengetahui bahwa lingkungannya berorientasi pada tindakan (action oriented). Komunikasi semacam ini seringkali dipakai untuk mempengaruhi orang lain dan memiliki kecenderungan memaksa. Tujuan utama komunikasi dinamis ini adalah untuk menstimuli atau merangsang orang lain berbuat lebih baik dan lebih cepat dari saat itu. Untuk penggunaan gaya ini lebih cocok digunakan untuk mengatasi persoalan yang bersifat kritis namun tetap memperhatikan kemampuan yang cukup untuk menyelesaikan persoalan tersebut bersama-sama. 
5)      The Dynamic Style 
Dalam sebuah komunikasi kelompok tidak semua hal dikuasai oleh opinion leader, baik dalam percakapan hingga pengambilan keputusan. Bekerja sama antara seluruh anggota lebih ditekankan dalam model komunikasi jenis ini. Komunikator tidak hanya membicarakan permasalahan tetapi juga meminta pendapat dari seluruh anggota komunikasi. Komunikasi ini lebih mencerminkan kesediaan untuk menerima saran, pendapat atau gagasan orang lain. Komunikator tidak memberi perintah meskipun ia memiliki hak untuk memberi perintah dan mengontrol orang lain. Untuk itu diperlukan komunikan yang berpengetahuan luas, teliti serta bersedia bertanggung jawab  atas tugas yang dibebankan. 
6)      The Withdrawal Style 
Deskripsi konkret dari gaya ini adalah independen atau berdiri sendiri dan menghindari komunikasi. Tujuannya adalah untuk mengalihkan persoalan yang tengah dihadapi oleh kelompok. Gaya ini memiliki kecenderungan untuk menghalangi berlangsungnya interaksi yang bermanfaat dan produktif. Akibat yang muncul jika gaya ini digunakan adalah melemahnya tindak komunikasi, artinya tidak ada keinginan dari orang-orang yang memakai gaya ini untuk berkomunikasi dengan orang lain, karena ada beberapa persoalan ataupun kesulitan antar pribadi yang dihadapi oleh orang-orang tersebut. 
9.3.        Opinion Leader yang Kredibel 
Dalam tataran konseptual kredibilitas adalah seperangkat persepsi tentang sifat-sifat komunikan. Dalam definisi ini terkandung dua hal yakni kredibilitas adalah persepsi komunikan, jadi tidak inheren dalam diri komunikator dan yang kedua adalah kredibilitas berkenaan dengan sifat-sifat komunikator yang selanjutnya akan disebut sebagai komponen-komponen kredibilitas.  Setiap komunikasi dilakukan oleh dua orang atau lebih yang saling memiliki kebutuhan dan ketergantungan. Menurut Farace dalam Giles, H. and Wiemann, J. M. (1987). individu yang butuh terhadap informasi akan mencarinya untuk mengurangi ketidakpastian. Mereka akan memilih seseorang yang terpercaya untuk menginformasikan suatu pesan. Oleh karena itu Farace mengatakan bahwa sumber daya paling penting dalam sebuah komunikasi adalah informasi.
Dalam beberapa penelitian terhadap deskrispsi tugas komunikator untuk membentuk komunikasi yang efektif, ditemui 4 (empat) proses utama yang harus dijalankan, antara lain : 
1)   Pengambil Keputusan
2)   Mempengaruhi
3)   Pertukaran Informasi
4)   Membangun Hubungan
Aristoteles menyebut karakter komunikasi ini sebagai ethos. Ethos terdiri dari pikiran baik, akhlak yang baik dan maksud yang baik. Berangkat dari sinilah akhirnya dapat dirumuskan bahwa indikator paling penting sebagai komunikator yang kredibel adalah kepercayaan dan keahlian. Dari kepercayaan dan keahlian, seorang  opinion leader yang kredibel harus memiliki beberapa ciri yaitu : 
1)    Tingkat energi tinggi dan toleransi terhadap tekanan 
Penelitian mengenai ciri menemukan bahwa tingkat energi, stamina fisik dan toleransi terhadap tekanan berhubungan dengan efektivitas manajerial. Tingkat energi tinggi dan toleransi terhadap tekanan membantu para opinion leader menanggulangi tingkat kecepatan yang tinggi. Permasalahan pribadi serta kelompok yang dihadapi kebanyakan membuat seorang pemimpin tertekan. Oleh karena itu vitalitas fisik dan keuletan emosional membuatnya lebih mudah untuk menanggulangi antar pribadi yang menekan. 
Seorang opinion leader seringkali dipaksa membuat keputusan penting tanpa informasi yang mencukupi serta kebutuhan untuk memecahkan konflik peran dan memuaskan permintaan yang saling bertentangan oleh berbagai pihak. Pemecahan masalah yang efektif meminta kemampuan untuk tetap tenang dan tetap fokus pada masalah serta menjauhi rasa panik. Dengan begitu ia akan memberikan pengarahan yang mantap dan pasti terhadap para anggota kelompok yang lainnya.
2)    Rasa percaya diri 
Rasa percaya diri berhubungan secara positif dengan efektivitas dan kemajuan diri sendiri. Rasa percaya diri memudahkan efektivitas kepemimpinan. Tanpa adanya rasa percaya diri yang kuat, seorang komunikator berkemungkinan lebih kecil untuk membuat upaya mempengaruhi komunikan. Sebaliknya seorang komunikator yang memiliki percaya tinggi yang kuat lebih berkemungkinan untuk memecahkan tugas dan permasalahan yang rumit. 
Percaya diri berhubungan dengan pendekatan yang berorientasi tindakan untuk berhadapan dengan masalah. Rasa optimis ketika menghadapi sebuah masalah akan terwujud dengan komitmen dan kegigihan dalam menyelesaikannya.
3)    Pusat kendali internal 
Orang yang memiliki pusat kendali internal yang kuat yakin bahwa peristiwa dalam hidup mereka lebih banyak ditentukan oleh tindakan mereka sendiri dari pada oleh kebetulan atau kekuatan yang tidak dapat dikendalikan. Sebaliknya, orang yang memiliki orientasi kendali eksternal yang kuat yakin bahwa peristiwa kebanyakan ditentukan oleh suatu kebetulan atau takdir dan mereka tidak dapat berbuat apapun.
Orang yang memiliki kendali internal memiliki perspektif maju ke depan sehingga kemungkinan untuk membuat suatu rencana baru untuk kemajuannya jauh lebih besar daripada orang dengan kendali eksternal. Mereka percaya dengan kemampuannya dan dapat mempengaruhi orang lain dengan bujukan bukannya manipulasi. 
4)    Kestabilan dan kematangan emosional 
Istilah kematangan emosional dapat didefinisikan dengan kematangan seseorang dalam aspek psikologis, dapat menyesuaikan diri dengan baik dan tidak menderita kekacauan psikologis yang berat. Mereka cenderung memiliki kesadaran yang lebih tepat mengenai kekuatan dan kelemahan mereka. 
Orang dengan kematangan emosi tidak terlalu egosentris (memikirkan diri sendiri dan lebih memikirkan orang lain). Mereka tidak impulsif, lebih stabil dan memiliki kendali terhadap dirinya sendiri. Mereka juga dapat menerima saran dari orang lain dan bersifat lebih terbuka terhadap perubahan. Oleh karena mereka lebih banyak mempunyai hubungan baik dengan orang lain dan wawasannya jauh lebih luas.  
5)    Integritas pribadi 
Integritas adalah perilaku seseorang yang konsisten dengan nilai yang menyertainya. Pribadi yang berintegritas tinggi memiliki sifat etis, jujur, menepati janji, tanggung jawab, konsisten dan dapat dipercaya. Indikator-indikator tersebut harus dimiliki oleh seorang opinion leader jika mereka berharap menjadi seseorang yang kredibel di bidang kepemimpinan. 
Para komunikan akan langsung merubah sikap jika salah satu indikator tidak dipenuhi. Orang tidak akan meneruskan informasi yang penting dan sensitif jika opinion leadernya tidak dapat dipercaya. Seorang opinion leader yang berharap dapat mengilhami orang lain untuk mendukung ideologi atau visi harus menjadi contoh dalam perilakunya. 
6)    Motivasi kekuasaan 
Seringkali seseorang yang berharap akan kekuasaan yang tinggi cenderung senang untuk mempengaruhi orang lain maupun peristiwa dan besar pula kemungkinannya untuk mendapatkan posisi otoritas. Orang yang memiliki kebutuhan yang kuat akan kekuasaan akan mencari posisi dan otoritas kekuasaan serta membiasakan diri dengan organisasi atau politik. 
Seseorang akan memiliki emosional yang matang apabila ia memiliki orientasi terhadap kekuasaan sosialisasi. Mereka akan menggunakan kekuasaan lebih banyak bagi orang lain dan ragu untuk memanipulasi kekuasaan tersebut. Sifat-sifat yang dimiliki oleh orang dengan motivasi tinggi adalah, tidak terlalu egoistis, lebih defensif, tidak beorientasi mengumpulkan materi, memiliki jangkauan pandang yang luas, bersedia menerima kritik, saran serta nasihat, dan mampu menerima keahlian orang lain secara relevan. 

9.4.        Fungsi Opinion Leader dalam Kelompok 
Sebuah kelompok adalah kumpulan dari beberapa individu yang memiliki tujuan sama untuk membangun sebuah perubahan. Kelompok merupakan bagian kehidupan kita sehari-hari. Ia tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia. Kelompok adalah wadah untuk mewujudkan harapan dan keinginan barbagai informasi dalam hampir semua aspek kehidupan. 
Melihat betapa pentingnya kelompok bagi individu, kelompok dikatakan sebagai media pengungkapan persoalan-persoalan baik yang bersifat pribadi (keluarga sebagai kelompok primer) maupun yang bersifat umum (kebutuhan pengetahuan semua anggota kelompok).  Setiap individu memilih kelompoknya masing-masing berdasarkan ketertarikannya (interest) masing-masing. Orang yang memisahkan atau mengisolasi diri dari orang lain adalah orang yang penyendiri, benci kepada orang lain atau dapat dikatakan sebagai orang antisosial. 
Semua anggota di dalam kelompok memiliki tujuan yang sama sehingga mereka bersatu dan membangun sebuah sinergi untuk mewujudkannya. Di dalam teori kepribadian kelompok, sinergi dikatakan memiliki peran penting dalam sebuah pencapaian cita-cita. Namun sinergi tidak hanya dihabiskan untuk mencapai tujuan saja tetapi juga termasuk untuk menjaga hubungan antar anggota, baik pribadi maupun umum. 
Dalam sebuah kelompok terdapat opinion leader (komunikator) dan anggota (komunikan). Fungsi seorang komunikator dapat dijabarkan dalam 8 (delapan) aspek menurut Burgoon, Heston dan McCroskey (1974). Kedelapan fungsi tersebut adalah:
1)    Fungsi Inisiasi 
Dalam fungsi ini, seorang pemimpin harus dapat mengambil inisiatif (prakarsa) untuk gagasan atau ide baru. Selain itu juga dapat memberikan pemahaman terhadap gagasan yang kurang layak. Seorang opinion leader mempunyai tanggung jawab atas masyarakat, oleh karena itu mereka harus berani mengambil keputusan untuk mengambil atau menolak gagasan baik yang berasal dari dirinya sendiri mapun orang lain.  
2)    Fungsi Keanggotaan 
Seseorang layak memberi sumbangsih terhadap sebuah kelompok jika ia benar-benar merupakan anggota kelompok tersebut. Oleh karena itu seorang opinion leader harus dapat melebur ke dalam kelompok agar dapat diterima oleh anggota yang lain. Peleburan ini dapat dilakukan dengan banyak cara, misalnya mengikuti kegiatan rutin, berpartisipasi dalam setiap kegiatan dan mengakrabkan diri di tengah-tengah kelompok. 
3)    Fungsi Perwakilan 
Sebuah kelompok seringkali mendapat ancaman dari luar. Di sinilah fungsi seorang opinion leader untuk dapat menyelesaikan masalah agar anggota kelompok menjadi tenang kembali dan melanjutkan aktivitasnya seperti sedia kala. Opinion leader bertugas sebagai penengah jika anggota kelompoknya bermasalah dengan kelompok yang lain. 
4)    Fungsi Organisasi 
Tanggung jawab terhadap hal-hal yang bersangkut paut dengan persoalan organisasional, kelancaran roda organisasi dalam masyarakat dan deskripsi pembagian tugas ada di tangan seorang opinion leader, sehingga ia perlu memiliki keahlian dalam bidang mengelola organisasi dan kelompok. 
5)    Fungsi Integrasi 
Dalam fungsi ini seorang opinion leader perlu memiliki kemampuan untuk memecahkan ataupun mengelola dengan baik konflik yang ada dan muncul di kelompoknya. Dengan kemampuan ini diharapkan seorang opinion leader dapat menciptakan suasana yang kondusif untuk tercapainya penyelesaian konflik dan dapat memberi kepuasan untuk semua pihak.  


6)    Fungsi Manajemen Informasi Internal 
Seorang opinion leader harus dapat menjadi penghubung atau sarana berlangsungnya komunikasi di dalam kelompok. Bagaimana perencanaan, pelaksanaan serta pengevaluasian sebuah kegiatan harus dibicarakan dengan keterbukaan. Untuk itulah diperlukan seorang pemimpin untuk menjadi penghubung serta penengah jika ada kritik serta solusi untuk kegiatan tersebut. 
7)    Fungsi Penyaring Informasi 
Untuk kemajuan dan perkembangan sebuah kelompok, diperlukan banyak informasi serta wawasan baru dari luar. Namun tidak semua informasi dapat diterima dan diadopsi oleh suatu kelompok. Di sinilah seorang opinion leader bertindak sebagai penyaring informasi baik yang masuk ataupun yang keluar. Hal ini bertujuan untuk mengurangi konflik yang dapat timbul di dalam kelompok. 
8)    Fungsi Imbalan 
Opinion leader melakukan fungsi evaluasi dan menyatakan setuju atau tidak terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan oleh para anggotanya. Hal ini dilakukan melalui imbalan-imbalan materi seperti pemberian hadiah atau pujian ataupun sebuah penghargaan. Kekuatan reward ini terbukti sangat efektif untuk meningkatkan mutu masyarakat. 

9.5.        Cara Mengukur dan Mengetahui Adanya Opinion Leaders 
Empat metode utama untuk mengukur dan mengetahui adanya opinion leaders dan link jaringan difusi :
1)    Metode Sosiometrik
Dalam metode ini, masyarakat ditanya kepada siapa mereka meminta nasihat atau mencari informasi mengenai masalah kemasyarakatan yang dihadapinya. Misalnya masalah itu mengenai difusi inovasi, kepada masyarakat diajukan pertanyaan: “dari mana anda memperoleh informasi tentang difusi inovasi?” jadi orang yang paling banyak mengetahui dan dimintai nasihat tenteng masalah tersebut dialah yang disebut sebagai opinion leaders.
2)    Informants Ratings
Metode ini mengajukan pertanyaan tertentu kepada orang /responden yang dianggap sebagai key informants dalam masyarakat mengenai siapa yang dianggap masyarakat sebagai pemimpin mereka. Jadi dalam hal ini responden tersebut haruslah jeli dalam mimilih siapa yang benar-benar harus memimpin dalam masyarakat tersebut. Dari segi kepribadian, pendidikan, serta tindakan yang dilakukannya terhadap masyarakat tersebut.
3)    Self-designating techniques
Metode ini mengajukan pertanyaan kepada responden dan meminta tendensi orang lain untuk menunjuk siapa yang mempunyai pengaruh. Misalnya : Apakah seseorang yang memerlukan suatu informasi perlu meminta keterangan kepada ibu /bapak. Jika jawabannya tidak maka hal tersebut belum menunjukkan siapa yang sering dimintai keterangan. Hal ini sangat bergantung kepada ketepatan (akurasi) responden untuk mengindentifikasi dirinya sebagai pemimpin.
4)    Observasi
Metode dimana penyidik mengidentifikasi dan mencatat perilaku komunikasi dalam suatu sistem. Satu keuntungan dari observasi adalah bahwa data yang biasanya memiliki tingkat validitas yang tinggi. Jika link jaringan secara tepat diamati, tidak ada keraguan tentang apakah mereka ada atau tidak. Pengamatan bekerja lebih baik di sistem yang sangat kecil, dimana pengamat sebenarnya bisa melihat dan merekam interaksi interpersonal yang terjadi. Sayangnya, dalam pengamatan sistem seperti kecil dapat menjadi teknik pengumpulan data sangat menonjol. Karena anggota dari suatu sistem tahu mereka sedang diamati, mereka mungkin bertindak berbeda. Selanjutnya, seorang pengamat mungkin harus sangat sabar jika jaringan difusi perilaku yang dia inginkan untuk mengamati jarang terjadi.

9.6.        Kelompok Opinion Leaders 
Opinion leaders dikelompokkan menjadi dua, yaitu opinion leaders aktif dan opinion leaders pasif, sbb :
1)    Opinion leaders Aktif (Opinion Giving)
Disini para opinion leaders tersebut sengaja mencari penerima atau followers untuk mengumumkan atau mensosialisasikan suatu informasi.
2)    Opinion leaders Pasif (Opinion Seeking)
Dalam hal ini followers lebih aktif mencari sumber informasinya kepada opinion leaders.

9.7.        Monomorfik dan Polimorfik Opinion Leadership 
Ada opinion leader yang all-purpose atau mampu bertindak selaku leader untuk segala macam topik atau persoalan, dan ada opinion leaders yang lead hanya untuk satu topik atau persoalan. Lazarfeld dan Merton (1957) menggunakan istilah Polymorphism untuk menunjukkan tingkat ketika seseorang bertindak selaku opinion leaders bagi berbagai topik. Lawannya adalah Monomorphism, dipakai untuk menunjuk kecenderungan seorang individu untuk bertindak selaku opinion leaders hanya untuk satu topik atau persoalan.
Monomorfik adalah seorang pemuka pendapat hanya dapat menguasai satu pokok permasalah saja. Artinya pemimpin ini hanya bisa memecahkan dan menyelesaikan satu pokok permasalahan yang ada dalam masyarakat. Polimorfik adalah seorang pemuka pendapat menguasai lebih dari satu pokok permasalahan yang ada. Artinya pemimpin ini dapat memecahkan serta mengatasi berbagai macam permasalahan yang ada dalam masyarakat.
Tingkat pendapat kepemimpinan polimorfik dalam suatu sistem sosial tertentu tampaknya bervariasi dengan faktor-faktor seperti keragaman topik yang kepemimpinan opini ukur, apakah norma-norma sistem yang inovatif atau tidak, dan sebagainya.

10. Sistem Sosial
11.1    Pengertian Sistem Sosial
Pada umumnya masyarakat mengartikan sistem adalah suatu cara atau rangkaian kegiatan yang menyangkut teknis melakukan sesuatu. Namun tidak demikian halnya di dalam kajian sosiologis. Sosiologis melihat sistem merupakan suatu rangkaian berbagai unsur yang satu sama lain berhubungan secara utuh tanpa dapat dipecah-pecahkan. Menurut Tatang dalam Abdulsyani (1994) isitilah sistem berasal dari bahasa Yunani yaitu systema yang mempunyai pengertian sebagai berikut:
·         Suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian.
·         Hubungan yang berlangsung di antara satuan-satuan atau komponen secara teratur.
Abdulsyani (1994) mengatakan sistem adalah himpunan dari bagian – bagian yang saling berkaitan, masing-masing bagian bekerja sendiri dan bersama-sama saling mendukung; semuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan bersama, dan terjadi pada lingkungan yang kompleks.
Untuk menelah hubungan antar manusia dalam kehidupan bermasyarakat maka istilah yang digunakan adalah sistem sosial. Menurut Abdulsyani (1994), sistem sosial merupakan konsep yang paling umum dipakai dalam menjelaskan dan mempelajari hubungan manusia di dalam kelompok atau dalam organisasi sosial. Dalam hal ini manusia sebagai anggota masyarakat merupakan individu-individu yang saling bergantungan. lnteraksi antar individu yang berkembang menurut standar penilaian dan kesepakatan bersama yaitu berpedoman pada norma-norma sosial merupakan dasar dari terbentuknya sistem sosial.
Hal ini sejalan dengan yang diajukan Jhonson (1986) sistem sosial hanya salah satu dari sistem-sistem yang termasuk dalam kenyataan sosial. Sistem-sistem sosial tersebut merupakan bentukan dari tindakan-tindakan sosial individu.
Pada dasarnya suatu sistem sosial menurut Nasikun (1993) tidak lain adalah suatu sistem daripada tindakan-tindakan. la terbentuk dari interaksi sosial yang terjadi di antara berbagai individu, tumbuh dan berkembang tidak secara kebetulan, melainkan tumbuh dan berkembang di atas standar penilaiaan umum masyarakat. Sistem Sosial adalah sistem bermasyarakat itu sendiri. Menurut pandangan ilmu sosial, struktur sosial merupakan suatu sistem pengharapan-pengharapan yang berpola dari prilaku individu-individu yang menempati status-status tertentu dalam sistem sosial. Selama sekelompok peran tersebut penting secara strategi bagi sistem sosial, kompleks pola-pola yang mendefenisikan perilaku yang diharapkan di dalam peran-peran itu bisa disebut sebagai suatu lembaga. Struktur-struktur kelembagaan dalam pengertian ini merupakan unsur fundamental dari stuktur sistem sosial.
11.2    Fungsi Sistem Sosial di Dalam Masyarakat
Sistem sosial pada dasarnya memiliki kecenderungan untuk mencapai stabilitas. Karena sistem sosial menurut Nasikun (1993) memang sering kali mampu melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap perubahan-perubahan yang datang dari luar, baik dengan cara tetap memelihara status quo maupun dengan cara melakukan bersifat reaksioner.
Dengan demikian fungsi dari setiap sistem sosial menurut Hamilton (1990) ada empat yaitu:
1)    Fungsi Pemeliharaan Pola
Fungsi Pemeliharaan Pola mengacu pada keharusan mempertahankan stabilitas pola-pola budaya terlembaga yang mendefenisikan struktur dari sistem tersebut. Dalam hal ini fungsi esensial adalah pemeliharaan, pada tingkat kultural, dan stabilitas nilai-nilai terlembaga melalui proses-proses yang mengartikulasikan nilai-nilai dengan sistem kepercayaan, yaitu keyakinan-keyakinan agama, idiologi, dan semacamnya. Selain itu adanya fungsi kendali yang menyangkut motivasi komitmen individual.


2)    Fungsi Pencapaian Tujuan
Fokus dari orientasi tujuannya terletak dalam hubungannya sebagai suatu sistem terhadap kepribadian-kepribadian dari individu-individu peserta. Karena itu ia menyangkut bukannya komitmen kepada nilai-nilai masyarakat, tetapi motivasi untuk menyumbang apa yang perlu bagi berfungsinya sistem : "Sumbangan-sumbangan" ini berbeda menurut kedaruratannya.
3)    Fungsi Adaptasi
Fungsi Adaptasi ini merupakan suatu tindakan penyesuaiaan dari sistem terhadap "tuntutan kenyataan" yang keras yang tidak dapat diubah 'yang datang dari lingkungan'.
4)    Fungsi Integrasi
5)    Dari keseluruhan fungsi integrasi adalah fokus dari sifat-sifat dan proses-proses yang paling menonjol. Pentingnya integrasi mengisyaratkan bahwa semua sistem, kecuali dalam kasus tertentu, itu didefenisikan dan dipecah-pecah menjadi unit-unit yang relatif independen, yaitu harus diperlakukan sebagai sistem- sistem lain, yang dalam hal ini subsistem-subsistem lain dari sistem sama yang lebih luas. Dalam suatu masyarakat yang sangat terdeferensial, fokus primer dari fungsi integrasi didapati dalam sistem norma-norma legalnya dan pelaku-pelaku yang berhubungan dengan manajemennya, terutama pengadilan dan profesi hukum.

11.3    Persyaratan Fungsional Suatu Sistem Sosial
Secara umum unsur-unsur dari sistem sosial adalah terdiri dari status, peranan dan perbedaan sosial; akan tetapi sesungguhnya secara lebih luas, sesungguhnya banyak sekali komponen yang terkandung dalam pengertian sistem sosial itu. Menurut Bertrand (1980), ada sepuluh unsur yang terkandung dalam sistem sosial, sebagai berikut :
1)    Keyakinan (pengetahuan)
Keyakinan mempakan unsur sosial yang dianggap sebagai pedoman dalam melakukan penerimaan suatu pengetahuan dalam kehidupan kelompok sosial dalam masyarakat. Keyakinan ini secara praktis biasanya digunakan dalam kelompok masyarakat yang masih tergolong terbelakang segi pengetahuannya, sehingga dalam menilai suatu kebenaran dirumuskan melalui keyakinan bersama. Misalnya, dalam menilai berbahaya atau tidak dalam menerima anggota baru pada suatu kelompok atau organisasi sosial, dinilai berdasarkan kekuatan keyakinan.
2)    Perasaan (Sentimen)
Perasaan menurut Alvin, menunjuk pada bagaimana perasaan pada anggota suatu sistem sosial (anggota kelompok) tentang hal-hal, peristiwa-peristiwa serta tempat-tempat tertentu. Unsur perasaan sangat membangun dalam rangka menjelaskan pola-pola tingkah laku yang tidak dapat dijelaskan melalui cara-cara lain. Suatu keberhasilan suatu sistem juga tergantung bagaimana perasaan para anggotannya secara umum. Jika di dalam suatu sistem terdapat banyak anggota saling menaruh perasaan dendam, benci dan iri antara satu sama lainnnya, maka bisa diketahui bahwa hubungan kerjasamanya tidak akan berhasil dengan baik.
3)    Tujuan, sasaran, atau cita-cita
Cita-cita, tujuan atau sasaran, di dalam suatu sistem sosial merupakan pedoman bertindak agar program kerja yang telah ditetapkan dan disepakati bersama dapat tercapai secara efektif
4)    Norma
Norma-norma sosial, menurut Alvin; dapat dikatakan sebagai patokan tingkah laku yang diwajibkan atau dibenarkan di dalam situasi-situasi tertentu. Unsur norma ini merupakan komponen sistem sosial yang dapat dianggap paling kritis untuk memahami serta meramalkan aksi atau tindakan manusia. Norma-norma menggambarkan tata tertib atau aturan-aturan permainan yang dapat memberikan petunjuk tentang standar untuk bertingkah laku dan di dalam menilai tingkah laku. Contohnya, tentang kejujuran, tata tertib suatu permainan, tata tertib hukum, dan sebagainya. Alvin kemudian menggambarkan bahwa dengan berpegang pada norma, sebenarnya dimaksudkan sebagai landasan untuk dapat menilai tingkah laku individu dan juga kelompok. Apabila tingkah laku seseorang dipandang wajar dan sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam kelompoknya, maka interaksi dalam kelompok tersebut akan berlangsung dengan wajar sesuai dengan ketetapan-ketetapan persama.
5)    Status dan peranan
Dengan status, seseorang dapat menentukan sifat dan tingkatan kewajiban serta tanggung jawab di dalam suatu kelompok masyarakat; di samping juga menentukan hubungan antara atasan dan bawahan terhadap anggota lain dalam kelompok masyarakat. Menurut Alvin; status merupakan serangkaian tanggung jawab, kewajiban serta hak-hak yang sudah ditentukan dalam suatu masyarakat. Sedangkan pola tingkah laku yang diharapkan dari orang-orang pemangku suatu status; dinamakan peranan. Peranan-peranan sosial saling berpadu sedemikian rupa, sehingga saling tunjang menunjang secara timbal balik di dalam hal yang menyangkut tugas, hak dan kewajiban. Oleh karena itu suatu penampilan peranan status (status-role performance) adalah proses penunjukan atau dari status dan peranan sebagai unsur stuktural di dalam sistem sosial.
6)    Tingkatan atau pangkat (rank)
Tingkatan atau pangkat merupakan unsur sistem sosial yang berfungsi menilai perilaku-perilaku anggota kelompok, Sebaliknya suatu proses penilaian terhadap perilaku-perlaku anggota kelompok, dimaksudkan untuk memberikan kepangkatan (status) tertentu yang dianggap sesuai dengan prestasi-prestasi yang telah dicapai. Orang yang dianggap berhasil dalam melaksanakan tugasnya, bisa dinaikkan pangkatnya (status) ke jenjang yang lebih tinggi. Begitu seterusnya sehingga berbagai aktivitas nampak saling bergantungan sehingga dengan demikian dapat dikategorikan sebagai sistem sosial.
7)    Kekuasaan atau pengaruh (power)
Istilah kekuasaan menunjuk pada kapasitas penguasaan seseorang terhadap anggota-anggota kelompok atau organisasi. Kekuasaan seseorang dalam mengawasi anggota kelompok biasanya dapat dilihat dari status yang dimiliki. Pengaruhnya sangat besar dalam pengambilan suatu keputusan biasanya pemegang kekuasaan mempunyai wewenang dan kemampuan untuk mempengaruhi para anggota kelompoknya. Dalam analisis sistem sosial suatu kekuasaan merupakan patokan bagi para anggota suatu kelompok atau organisasi dalam menerima berbagai perintah dan tugas.
8)    Sanksi
Sanksi merupakan ancaman hukum yang biasanya ditetapkan oleh masyarakat terhadap anggota-anggotanya yang dianggap melanggar norma-norma sosial kemasyarakatan. Penerapan sanksi oleh masyarakat ditujukan agar pelanggarnya dapat mengubah perilakunya ke arab yang lebih baik sesuai dengan norma-norma sosial yang berlaku.
9)    Sarana atau fasilitas
Secara umum sarana dirnaksudkan sebagai cara yang digunakan untuk mencapai tujuan dari sistem sosial. Yang paling penting dari unsur sarana adalah terletak dari kegunaannya bagi suatu sistern sosial. Dalam analisis sistem sosial pada prinsipnya mengutamakan fungsi dari suatu sarana agar dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin, betapapun sederhananya sarana tersebut.
10) Tekanan Ketegangan (Stress-strain)
Di dalam sistem sosial senantiasa terjadi ketegangan, sebab dalam kehidupan masyarakat tidak ada satupun anggotanya yang mempunyai perasaan dan interprestasi sama terhadap kegiatan dan masalah yang sedang dihadapi bersama. ltulah sebabnya, maka suatu ketegangan hubungan antar anggota kelompok masyarakat pada batas waktu tertentu dapat terjadi. Ketegangan erat kaitannya dengan taraf kekangan yang diterirna oleh seseorang individu dari individu lain atau kelompok. Ketegangan itu terjadi oleh karena adanya konflik peranan sebagai akibat dari proses sosial yang tidak merata. Jika dalam suatu sistem sosial dapat tumbuh dan berkembang dengan langgeng, itu karena tingkat toleransi diantara anggotanya relatif.
Fakta sosial menunjukkan adanya dinamika suatu hubungan sosial mencerminkan orientasi timbal balik antara dua atau lebih. Hubungan ini dapat bertahan bergantung pada keberhasilan mereka dalam hal ini dapat dilihat dari sisi perbandingan reward dan cost. Selain kebutuhan individu yang terpenuhi melalui interaksi, ada juga persyaratan tambahan yang harus dipenuhi agar hubungan dapat berlangsung lama.
Semua sistem sosial menurut Johnson (1986) dari hubungan duaan yang paling sederhana sampai masyarakat yang kompleks harus memenuhi persyaratan minimal tertentu kalau mau tetap bertahan hidup atau mempertahankan identitasnya serta struktur sebagai sistem yang terus bergerak. Dalam konteks inilah menurut Parons dalam Johnson, (1986) kerangka A-G-I-L adalah persyaratan suatu sistem sosial agar fungsional yaitu:
a)  A. Adaption menunjukkan bahwa keharusan bagi sistem-sistem sosial untuk menghadapi lingkungannya. Ada dua dimensi yang dapat diperhatikan: pertama, harus ada “suatu penyesuaian dari sistem itu terhadap tuntutan kenyataan yang keras yang tidak dapat diubah yang datang dari lingkungan. Kedua, ada proses: “transformasi aktif dari situasi itu” ini meliputi penggunaan segi-segi situasi itu yang dapat dimanipulasi sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan.
b)  G. Goal Attainment, merupakan persyarataan fungsional bahwa tindakan itu diarahkan pada tujuan-tujuannya. Dalam hal ini adalah tujuan bersama para anggota dalam suatu sistem sosial. Dengan demikian tujuan ini harus meliputi pengambilan keputusan yang berhubungan dengan prioritas dari sekian banyak tujuan.
c)  I. Integration, merupakan persyaratan yang berhubungan dengan interaksi antara para anggota dalam sistem sosial. Masalah integrasi menunjuk pada kebutuhan untuk menjamin bahwa ikatan emosional yang cukup menghasilkan solidaritas dan kerelaan untuk bekerja sama dikembangkan daan dipertahankan.
d)  L. Latent Patern Maintenance, para anggota dalam sistem sosial apa saja bisa letih dan jenuh serta tunduk pada sistem sosial harus berjaga-jaga bilamana sistem itu sewaktu-waktu kocar-kacir dan para anggotanya tidak lagi bertindak atau berinteraksi sebgai anggota sistem. Dalam beberapa hal, mekanisme tertentu dapat dikembangkan untuk membantu memulihkan dorongan motivasional dan untuk membaharui atau memperkuat komitmen terhadap pola-pola budayanya.

11.4    Masyarakat Sebagai Suatu Sistem Sosial
Pada umumnya pemakaian istilah sistem didalam kehidupan bermasyarakat merupakan suatu pengertian adanya suatu rangkain atau saling ketergantungan baik sebagai kegiatan maupun sarana kegiatan. Sebagai contoh sistem transportasi atau sistem pengajaran. Pemakaian istilah ini dapat kita lihat hampir melanda semua kehidupan baik di tingkat masyarakat awam maupun didalam semua kehidupan akademis. Hal ini dapat terjadi karena istilah sistem dipahami sebagai suatu rangkaian yang saling berhubungan, sehingga semua bentuk yang menyerupai rangkaian disamaratakan untuk semua kepentingan.
Menurut Singgih (1999) secara teoritis, ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan istilah sistem.
Pertama: menggunakan sistem untuk menunjuk suatu kesatuan dari berbagai bagian yang terpisah.
Kedua : menggunakan istilah sistem untuk menunjuk suatu metode untuk menganalisis suatu persoalan tertentu.
Bila ditinjau dari sudut sosiologi, maka menurut Alex Inkeles (Sunarto: 1985) sistem sosial, adalah masyarakat yaitu kelompok yang merupakan satuan terbesar. Bagi sosiologi, sistem sosial inilah yang selalu menarik untuk diteliti. Namun demikian kelompok yang disebut dengan masyarakat harus memenuhi 4 kriteria yaitu :
Kelompok tersebut harus mampu berada lebih lama daripada masa hidup seorang individu, kelompok tersebut harus merekrut anggota-anggota barunya, kelompok tersebut harus bersatu dalam memberikan kesetiaannya, kriteria yang terakhir adalah "sistem tindakan yang biasanya diwujudkan oleh suatu kelompok yang mempunyai hubungan sosial timbal balik yang relatif langgeng.
Simmel dalam Soekanto (1983) berpendapat, bahwa masyarakat dapat ditafsirkan dari pelbagai sudut, dalam hal ini Comte melihat suatu masyarakat merupakan hubungan sistematis antara lembaga-lembaga, kesopanan sosial dengan cita-cita, yang kesemuanya merupakan kesatuan dari proses fisik, moral dan intelektual.
Lauer (1989) melihat sistem sosial dalam adalah dua unit atau lebih yang berinteraksi. Unit-unit itu mungkin berupa aspek psikologis manusia, para individu selaku keseluruhan atau aspek psikologis kelompok. Dalam hal ini pengertian Lauer (1986) unit terkecil sistem sosial tersebut adalah "peranan" sedangkan berbagai pengelompokkan individu dapat membentuk unit-unit "bertaraf lebih tinggi" lagi. Masyarakat ini tersusun berdasarkan hakekat manusia. Sehingga bilamana manusia berubah maka masyarakat juga berubah.
Pareto dalam Soekanto (1983), melihat masyarakat merupakan suatu sistem yang rumit yang menyangkut perkembangan perilaku secara berurut. Dimana pusat dari unsur-unsur tersebut adalah manusia pribadi yang dapat mendorong terjadinya perkembangan perilaku secara berurut. Dalam hal ini, masyarakat menurut Soerjono Soekanto (1983), tidak dapat berbuat banyak untuk merubah atau membatasi perasaan pribadi setiap manusia tetapi hanya dapat mengubah perhatiannya seperti melalui ajaran agama, ideologi.
Perasaan yang ada di dalam setiap individu ini merupakan suatu dasar bagi terbentuknya kelompok. Dimana manusia ingin menunjukkan eksisitensi dirinya dapat diaplikasikan di dalam kelompoknya. Perasaan ini juga dapat menjadi satu karakter nasional, atau karakter suatu bangsa.
Namun dengan adanya pola interaksi dalam sistem sosial bersifat nonnatif. Artinya, pola interaksi itu secara kultural ditetapkan sebagai pola yang tepat dan benar (atau tidak tepat dan keliru), batas-batas sebuah sistem dipertahankan sejauh sistem itu tetap terintegrasi melalui nilai-nilai bersama. Oleh karena itu individu di dalam kehidupan sehari-hari akhirnya tidak dapat melepaskan dirinya dari norma-nonna yang ada di masyarakat. Dimana individu sejak lahir harus belajar aturan yang ada di dalam masyarakat.
Namun demikian melalui sejenis sistem sosial yang khusus dimana sekelompok individu yang berinteraksi, masing-masing individu mencoba mendapat kepuasan dirinya secara maksimum dalam suasana budaya tertentu. Sebab tidak dapat diingkari bahwa setiap individu selalu ingin mencari kesenangan maupun kepuasan dirinya. Seringkali di dalam kehidupannya individu sebagai anggota masyarakat selalu menghindari hal-hal yang tidak menyenangkan.
Pada dasarnya, setiap individu di dalam sistem sosial tertentu, berusaha mengejar kebahagiaan dengan alat yang tersedia untuk mencapainya, serta berbeda anara budaya yang satu dan budaya lain. Hal ini sejalan dengan yang diutarakan oleh Parsons sendiri sistem sosial antara lain :
Para aktor individual yang saling berinteraksi didalam suatu situasi yang sekurang-kurangnya mempunyai aspek lingkungan fisik atau lingkungan psikis, yang terdorong ke arah kecenderungan untuk mengoptimalkan kebahagiaan, dan antar hubungan mereka diterap dan diatur menurut sistem yang teratur secara kultural serta mempunyai simbol-simbol bersama.
Dengan demikian sistem dapat didefenisikan menurut unit-unitnya, pola-polanya dan batas-batasnya Menurut Pareto dalam Veeger (1985), Sistem Sosial atau masyrakat yang ditegakkan oleh individu-individu senantiasa mengarah kepada keseimbangan, yaitu pemeliharaan keseimbangan atau pernulihan keseimbangan setelah terjadi pergolakan. lndividu -individu saling mempengaruhi agar suatu ekuilibrium (keseimbangan) tercapai. Dalam diri mereka ada perasaan-perasaan otomatis yang mengikuti pola interaksi dalam sistem sosial bersifat normatif. Artinya, pola interaksi itu secara kultural ditetapkan sebagai pola yang tepat dan benar (atau tidak tepat dan keliru). Batas -batas sebuah sistem dipertahankan sejauh sistem itu tetap terintegrasi melalui nilai-nilai bersama. aktif menentang setiap hal yang mengancam atau mengganggu kestabilan.
Parson (Veeger : 1985) melihat invidu yang berinteraksi sebetulnya tidak memutuskan alternatif yang dipakainya. Masyarakatlah atau kebudayaan setempat telah memilih untuk dia dan telah melembagakan salah satu alternatif yang menentukan corak interaksi.
Kategori tersebut menurut Parsons (Veeger : 1985) adalah sebagai berikut:
a)    Perasaan (affectivity) atau netral perasaan (affective neutrality).
Tiap-tiap pelaku dalam proses interaksi harus menentukan apakah ia harus bertindak atas cara impulsif yang langsung menyenangkan, atau atas cara menahan diri dan menurut prinsip dengan tidak mengindahkan soal senang tidaknya, gampang tidaknya, dan sebagainya. Tiap-tiap situasi memberi kesempatan kepada orang untuk berkompromi dengan kewajibannya agar dapat menambah kenikmatan dan mengurangi bebannya. Namun demikian sistem sosial menentukan kapan dan dalam situasi manakah orang diperbolehkan mengikuti perasaan spontan mereka, dan kapan serta dalam situasi manakan perasaan itu perlu ditekan.


b)    Arab diri atau arab kolektivitas.
Dengan adanya arab diri atau arab kelompok ini si pelaku harus memilih antara bertindak demi kepentingan pribadi diri atau demi kepentingan umum.
c)    Partikularisme Versus Universalisme.
Hal ini menyangkut soal apakah seseorang hams bertindak atas dasar prinsip-prinsip umum yang berlaku tanpa pilih kasih, atau atas dasar relasi-relasi khusus (partikuler) dengan beberapa orang tertentu. Kedua variabel ini mempertentangkan dua macam kesusilaan (moral), yaitu kesusilaan yang berpegang pada prinsip dan kesusilaan yang berpegang pada kesetiakawanan.
d)    Status bawaan atau status perolehan sendiri.
Kedua variabel ini penting dan perlu juga dalam menentukan corak relasi antara Ego dan Alter. Kebudayaan setempat menetapkan aspek. Aspek manakah dalam diri orang lain, yang perlu dipertimbangkan oleh Ego sebelum bertindak.
e)    Campur Baur atau tertentu.
Pada akhirnya sipelaku dalam proses interaksi menghadapi dilema apakah ia harus menghubungi alter dalam fungsinya atau peranannya yang khusus.

11. Struktur Sosial
11.1    Pengertian Struktur Sosial
Struktur sosial berasal dari kata structum yang berarti menyusun, membangun untuk sebuah gedung dan lebih umum dipakai istilah konstruksi yang berari kerangka. Kata konstruksi memang tidak lazim untuk bangunan masyarakat, sebagai istilah ilmiah dipakai kata struktur sosial.
Pengertian struktur sosial menurut pendapat para ahli.
-        Soerjono Soekanto (1983) : struktur sosial diartikan sebagai hubungan timbal balik antara posisi-posisi sosial dan peranan-peranan sosial.
-        Raymond Flirth (1966): pergaulan hidup manusia meliputi berbagai tipe kelompok yang terjadi dari banyak orang dan meliputi pula lembaga-lembaga di mana orang banyak tersebut ambil bagian.
-        Peter M Blau (1977) : struktur sosial adalah penyebaran secara kuantatif warga komunitas di dalam berbagai posisi sosial yang berbeda yang mempengaruhi hubungan diantara mereka. Karakteristik dari struktur sosial adalah adanya ketidak kesamaan atau keragaman antar bagian atau konsulidasi yang timbul dalam kehidupan bersama sehingga mempengaruhi derajad hubungan antar bagian tersebut yang berupa dominasi, ekslpoitasi,konflik,persaingan dan kerjasama. Basis parameter struktur sosial ada dua yaitu : a. Nominal dimana pembagian komunitas dalam sub-sub bagian yang cukup jelas seperti agama, ras, jenis kelamin, marga, tempat tinggal, afiliasi politik, bahasa, nasionalitas dan sebagainya. Kalau dicermati pembagian ini bersifat horisontal dalam berbagai golongan. b. Gradual , parameter ini mempunyai kecenderungan membagi komunitas atas dasar peringkat status yang menciptakan perbedaan kelas seperti pendidikan, pekerjaan, pendapatan, kekayaan, prestise, kekuasaan, intelegensia, kewibawaan dan sebagainya. Sehingga pembagianya secara vertikal, yang akan melahirkan berbagai lapisan. Interaksi antar bagian dalam kehidupan bersama dapat erjadi antar kelompok , baik atas dasar parameter nominal maupun gradual, bahkan tidak hanya internal tetapi eksternal.
-        Bronislow Malinowski (1944) menerapkan teori fungsional yang salah satu hasilnya adalah manusia pada hakekatnya untuk memenuhi kebutuhan itu secara individual, tetapi melalui kehidupan bersama (sosial) yang terorganisir atau tertata dalam hukum-hukum atau nilai-nilai tertentu.sehingga tujuan akhir dari kehidupan bersama adalah kesepakatan . Kesepakatan bersama tercapai atas dasar nilai-nilai umum yang berlaku yang disebut charter yang diartikan sebagai suatu sistem yang terorganisir tentang aktivitas sosial yang penuh tujuan (didasarkan nilai umum dan tujuan bersama). Sistem nilai dan tujuan bersama ini dapat diartikulasikan sebagai norma Prinsip-prinsip integrasi akan tercermin dalam institusi bersama dan inilah basic needs manusia. Prinsip-prinsip integrasi merupakan bagian dari basic needs itu sendiri. Sementara itu responnya adalah kebudayaan yang diwujudkan dalam institusi sosial. Kebudayaan sebagai respon dari basic needs dapat diindikasikan sebagai instrumen untuk mencapai tujuan, sehingga memuaskan basic needs tersebut.
-        Radcliffe Brown (1968) dengan pendekatan komparasi untuk memperoleh pemahaman tentang keseluruhan komunitas.Dan yang dikompromikan adalah struktur keseluruhan komunitas dan bukan bagian-bagian.Brown mengadopsi apa yang telah dikerjakan Emil Durkheim sebelum berubah ke pendekatan analisis struktural Fungsionalisme bagi Brown untuk membentuk suatu struktur sosial dalam konteks masa kini (tanpa menggunakan fakta historis karena dianggap tidak terlalu berguna). Hal yang ditekankan adalah proses adaptasi yang terjadi dalam masyarakat yang diteliti itu sendiri. Hal ini berarti berbeda dengan Malinowski.
-        Anthony Gidden dalam Bagong Suyanto dan Dwi Narwoko  (2004) membahas strukturasi adalah proses dialektika dimana apa yang dilakukan individu adalah juga yang mereka bangun. Sehingga struktur adalah sumber daya yang bisa memberdayakan sekaligus membatasi masyarakat.
-        Menurut Sofa (2008), Struktur sosial budaya dalam ruang lingkup sebagai berikut :
a)    Struktur sosial: pola perilaku dari setiap individu masyarakat yang tersusun sebagai suatu sistem
b)    Masyarakat merupakan suatu sistem sosial budaya terdiri dari sejumlah orang yang berhubungan secara timbal balik melalui budaya tertentu.
c)    Setiap individu mempunyai ciri dan kemampuan sendiri, perbedaan ini yang menyebabkan timbulnya perbedaan sosial.
d)    Perbedaan sosial bersifat universal, ini berarti perbedaan sosial dimiliki setiap masyarakat dimanapun.
e)    Perbedaan dalam masyarakat seringkali menunjukkan lapisan-lapisan yang bertingkat.
f)     Lapisan yang bertingkat dalam masyarakat disebut Stratifikasi sosial
g)    Ukuran yang digunakan untuk menggolongkan penduduk dalam lapisan-lapisan tertentu yaitu:
a.    Ukuran kekayaan (kaya miskin, tuan tanah penyewa)
b.    Ukuran kekuasaan (penguasa/ dikuasai) penguasa punya wewenang lebih tinggi
c.    Ukuran kehormatan (berpengaruh/terpengaruh) ukuran ini ada di masyarakat tradisional(pemimpin informal)
d.    Prinsip-prinsip integrasi ukuran ilmu pengetahuan (golongan cendekiawan/ rakyat awam).
Dari definisi tersebut diatas disimpulkan bahwa struktur sosial merupakan tatanan sosial dalam kehidupan masyarakat, yang di dalamnya terkandung hubungan timbal balik antara status dan peranan yang mengacu pada suatu keteraturan perilaku di dalam masyarakat
Dalam hal ini struktur sosial dapat horizontal maupun vertikal susunannnya. Contoh struktur sosial yang Horizontal adalah kelompok pria dan kelompok wanita, atau kelompok orang beragama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Konghucu. Cirinya masing-masing dalam kelompok tersebut tidak bertingkat, artinya di masyarakat kedudukannya sama. Sedangkan contoh Struktur sosial yang vertikal adalah kelompok orang kaya dan kelompok orang miskin, hal ini jelas menunjukkan kedudukan yang berbeda dalam masyarakat. Orang kaya berada di tempat yang lebih tinggi daripada orang miskin.
11.2    Unsur, Ciri dan Fungsi Struktur Sosial
Struktur sosial muncul karena adanya dua unsur berikut yaitu : 
a)    Individu, dalam hal ini individu adalah sebagai pembentuk masyarakat sekaligus pembentuk struktur sosial, Jika tidak ada individu-individu maka tidak mungkin ada masyarakat
b)    Interaksi, interaksi antar individu dalam masyarakat akan membentuk struktur sosial, tanpa adanya interaksi maka struktur sosial tidak mungkin terbentuk
Ciri-ciri struktur sosial secara umum:
a)    Bersifat abstrak, artinya tidak dapat dilihat dan tidak dapat diraba. Struktur sosial disini merupakan hierarki kedudukan dari tingkatan yang tertinggi sampai yang terendah, berfungsi sebagai saluran kekuasaan dan pengaturan pemenuhan kebutuhan masyarakat secara menyeluruh.
b)    Terdapat dimensi vertikal dan horizontal, struktur sosial pada dimensi vertikal adalah hierarki status-status sosial dengan segala peranannya sehingga menjadi satu sistem yang tidak dapat dipisahkan dari struktur status yang tertinggi hingga struktur status yang terendah. Sedangkan pada struktur sosial yang memiliki dimensi harizontal, seluruh masyarakat berdasarkan karakteristiknya terbagi-bagi dalam kelompok-kelompok sosial yang memiliki karakter sama.
c)    Sebagai landasan sebuah proses sosial suatu masyarakat, artinya proses sosial yang terjadi dalam suatu struktur sosial termasuk cepat lambatnya proses itu sendiri sangat dipengaruhi oleh bagaimana bentuk struktur sosialnya.
d)    Merupakan bagian dari sistem pengaturan tata kelakuan dan pola hubungan masyarakat, artinya struktur sosial yang dimiliki suatu masyarakat berfungsi untuk mengatur berbagai bentuk hubungan antarindividu di dalam masyarakat tersebut.
e)    Struktur sosial selalu berkembang dan dapat berubah, struktur sosial merupakan tahapan perubahan dan perkembangan masyarakat yang mengandung dua pengertian, yaitu dalam struktur sosial terdapat peranan yang bersifat empiris dalam proses perubahan dan perkembangan, serta dalam setiap perubahan dan perkembangan tersebut terdapat tahap perhentian stabilitas, keteraturan, dan integrasi sosial yang berkesinambungan, sebelum terancam proses ketidakpuasan dalam tubuh masyarakat. Pada ciri yang kelima ini dalam sosiologi sering digunakan untuk melukiskan keteraturan sosial atau keteraturan elemen-elemen dalam kehidupan masyarakat.
Fungsi Struktur Sosial ada 3 yaitu :
a)    Fungsi identitas, yaitu sebagai penegas identitas yang dimiliki suatu kelompok
b)    Fungsi kontrol yaitu untuk mengontrol individu yang berada dalam struktur sosial tertentu
c)    Fungsi pembelajaran, yaitu dengan adanya struktur sosial individu dapat belajar melalui interaksi yang terjadi di dalamnya

11.3Bentuk Masyarakat berdasarkan ciri-ciri struktur sosial
Berikut ini adalah tiga bentuk masyarakat berdasarkan ciri-ciri struktur sosial dan budayanya seperti yang dikemukukan oleh Selo Soermardjan
a.    Masyarakat sederhana, ciri-ciri struktur sosial dan budaya pada masyarakat sederhana adalah sebagai berikut:
1)      Ikatan keluarga dan masyarakatnya sangat kuat.
2)      Organisasi sosial berdasarkan tradisi turun-temurun.
3)      Memiliki kepercayaan yang kuat terhadap kekuatan gaib.
4)      Tidak memiliki lembaga-lembaga khusus, seperti lembaga pendidikan.
5)      Hukum yang berlaku tidak tertulis.
6)      Sebagain besar produksi hanya untuk keperluan keluarga sendiri atau untuk pasaran dalam skala kecil.
7)      Kegiatan ekonomi dan sosial dilakukan secara gotong royong.
b.    Masyarakata madya, ciri-ciri struktur sosial dan budaya pada masyarakat madya adalah sebagai berikut:
1)    Ikatan keluarga masih kuat, tetapi hubungan dengan masyarakat setempat sudah mengendor.
2)    Adat istiadat masih dihormati, tetapi mulai terbuka dengan pengaruh luar.
3)    Timbulnya rasionalitas dalam cara berpikir sehingga kepercayaan-kepercayaan pada kekuasaan kekuatan gaib baru timbul apabila orang mulai kehabisan akal untuk menanggulangi suatu masalah.
4)    Timbulnya lembaga-lembaga pendidikan formal sampai tingkat lanjutan.
5)    Hukum tertulis mulai mendampingi hukum tidak tertulis.
6)    Memberi kesempatan pada produksi pasar sehingga muncul diferensiasi dalam struktur masyarakat.
7)    Gotong royong hanya untuk keperluan di kalangan tetangga dan kerabat, sedangkan kegiatam ekonomi dilakukan atas dasar uang.
c.    Masyarakat modern, ciri-ciri struktur sosial dan budaya masyarakat modern adalah sbegaia berikut ini:
1)    Hubungan sosial didasarkan atas kepentingan pribadi.
2)    Hubungan dengan masyarakat lainnya sudah terbuka dan saling mempengaruhi.
3)    Kepercayaan terhadap ilmu kengatahuan dan teknologi sangat kuat.
4)    Terdapat stratifikasi sosial atas dasar keahlian.
5)    Tingkat pendidikan formal tinggi.
6)    Hukum yang berlaku sudah hukum tertulis.
7)    Ekonomi hampir seluruhnya merupakan ekonomi pasar yang didasarkan atas penggunaan uang dan alat pembayaran lain.

11.4Stratifikasi Sosial
Pelapisan sosial atau stratifikasi sosial (social stratification) adalah pembedaan atau pengelompokan para anggota masyarakat secara vertikal (bertingkat). Definisi sistematik antara lain dikemukakan oleh Pitirim (1928) bahwa pelapisan sosial merupakan pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis). Perwujudannya adalah adanya lapisan-lapisan di dalam masyarakat, ada lapisan yang tinggi dan ada lapisan-lapisan di bawahnya. Setiap lapisan tersebut disebut strata sosial. P.J. Bouman menggunakan istilah tingkatan atau dalam bahasa belanda disebut stand, yaitu golongan manusia yang ditandai dengan suatu cara hidup dalam kesadaran akan beberapa hak istimewa tertentu dan menurut gengsi kemasyarakatan. Istilah stand juga dipakai oleh Max Weber.
Pengertian Stratifikasi Sosial menurut Sofa (2008) adalah sebagai berikut : Stratifikasi sosial merupakan suatu konsep dalam sosiologi yang melihat bagaimana anggota masyarakat dibedakan berdasarkan status yang dimilikinya. Status yang dimiliki oleh setiap anggota masyarakat ada yang didapat dengan suatu usaha (achievement status) dan ada yang didapat tanpa suatu usaha (ascribed status). Stratifikasi berasal dari kata stratum yang berarti strata atau lapisan dalam bentuk jamak.Stratifikasi dapat terjadi dengan sendirinya sebagai bagian dari proses pertumbuhan masyarakat, juga dapat dibentuk untuk tercapainya tujuan bersama. Faktor yang menyebabkan stratifikasi sosial dapat tumbuh dengan sendirinya adalah kepandaian, usia, sistem kekerabatan, dan harta dalam batas-batas tertentu.
Ukuran atau kriteria yang menonjol atau dominan sebagai dasar pembentukan pelapisan sosial adalah sebagai berikut:
1)    Ukuran kekuasaan dan wewenang Seseorang yang mempunyai kekuasaan atau wewenang paling besar akan menempati lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Ukuran kekuasaan sering tidak lepas dari ukuran kekayaan, sebab orang yang kaya dalam masyarakat biasanya dapat menguasai orang-orang lain yang tidak kaya, atau sebaliknya, kekuasaan dan wewenang dapat mendatangkan kekayaan.
2)    Ukuran kekayaan (materi atau kebendaan) dapat dijadikan ukuran penempatan anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan sosial yang ada, barang siapa memiliki kekayaan paling banyak mana ia akan termasuk lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial, demikian pula sebaliknya, barang siapa tidak mempunyai kekayaan akan digolongkan ke dalam lapisan yang rendah. Kekayaan tersebut dapat dilihat antara lain pada bentuk tempat tinggal, benda-benda tersier yang dimilikinya, cara berpakaiannya, maupun kebiasaannya dalam berbelanja.
3)    Kehormatan. Ukuran kehormatan dapat terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan atau kekuasaan. Orang-orang yang disegani atau dihormati akan menempati lapisan atas dari sistem pelapisan sosial masyarakatnya.Ukuran kehormatan ini sangat terasa pada masyarakat tradisional, biasanya mereka sangat menghormati orang-orang yang banyak jasanya kepada masyarakat, para orang tua ataupun orang-orang yang berprilaku dan berbudi luhur.
4)    Ukuran ilmu pengetahuan. Ukuran ilmu pengetahuan sering dipakai oleh anggota-anggota masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Seseorang yang paling menguasai ilmu pengetahuan akan menempati lapisan tinggi dalam sistem pelapisan sosial masyarakat yang bersangkutan. Penguasaan ilmu pengetahuan ini biasanya terdapat dalam gelar-gelar akademik (kesarjanaan), atau profesi yang disandang oleh seseorang, misalnya dokter, insinyur, doktorandus, doktor ataupun gelar profesional seperti profesor. Namun sering timbul akibat-akibat negatif dari kondisi ini jika gelar-gelar yang disandang tersebut lebih dinilai tinggi daripada ilmu yang dikuasainya, sehingga banyak orang yang berusaha dengan cara-cara yang tidak benar untuk memperoleh gelar kesarjanaan, misalnya dengan membeli skripsi, menyuap, ijazah palsu dan seterusnya.
Berkaitan dengan stratifikasi sosial adalah adanya mobilitas sosial merupakan perubahan status individu atau kelompok dalam stratifikasi sosial. Mobilitas dapat terbagi atas mobilitas vertikal dan mobilitas horizontal. Mobilitas vertikal juga dapat terbagi dua, mobilitas vertikal intragenerasi, dan mobilitas antargenerasi.Berkaitan dengan mobilitas ini maka stratifikasi sosial memiliki dua sifat, yaitu stratifikasi terbuka dan stratifikasi tertutup.
Pada stratifikasi terbuka kemungkinan terjadinya mobilitas sosial cukup besar, sedangkan pada stratifikasi tertutup kemungkinan terjadinya mobilitas sosial sangat kecil.
Dimensi Stratifikasi Sosial
Untuk menjelaskan stratifikasi sosial ada tiga dimensi yang dapat dipergunakan yaitu: privilege, prestise, dan power. Ketiga dimensi ini dapat dipergunakan sendiri-sendiri, namun juga dapat didigunakan secara bersama.Karl Marx menggunakan satu dimensi, yaitu privilege atau ekonomi untuk membagi masyarakat industri menjadi dua kelas, yaitu kelas Borjuis dan Proletar.
Sedangkan Max Weber, Peter Berger, Jeffries dan Ransford mempergunakan ketiga dimensi tersebut. Dari penggunaan ketiga dimensi tersebut Max Weber memperkenalkan konsep : kelas, kelompok status, dan partai.Menurut Horton and Hunt keberadaan kelas sosial dalam masyarakat berpengaruh terhadap beberapa hal, diantaranya adalah identifikasi diri dan kesadaran kelas sosial, pola-pola keluarga, dan munculnya simbol status dalam masyarakat. Bentuk stratifikasi dapat dibedakan menjadi bentuk lapisan bersusun yang diantaranya dapat berbentuk piramida, piramida terbalik, dan intan. Selain lapisan bersusun bentuk stratifikasi dapat juga diperlihatkan dalam bentuk melingkar. Bentuk stratifikasi melingkar ini terutama berkaitan dengan dimensi kekuasaan.Ada tiga cara yang dapat kita lakukan untuk bisa mengetahui bentuk dari stratifikasi sosial. Ketiga cara tersebut adalah dengan pendekatan objektif, pendekatan subyektif, dan pendekatan reputasional.
1)    Ascribed Status
Ascribed status adalah tipe status yang didapat sejak lahir seperti jenis kelamin, ras, kasta, golongan, keturunan, suku, usia, dan lain sebagainya.
2)    Achieved Status
Achieved status adalah status sosial yang didapat sesorang karena kerja keras dan usaha yang dilakukannya. Contoh achieved status yaitu seperti harta kekayaan, tingkat pendidikan, pekerjaan, dll.
3)    Assigned Status
Assigned status adalah status sosial yang diperoleh seseorang di dalam lingkungan masyarakat yang bukan didapat sejak lahir tetapi diberikan karena usaha dan  kepercayaan masyarakat. Contohnya seperti seseorang yang dijadikan kepala suku, ketua adat, sesepuh, dan sebagainya.
Macam-Macam / Jenis-Jenis Stratifikasi Sosial
1)    Stratifikasi Sosial Tertutup
Stratifikasi tertutup adalah stratifikasi di mana tiap-tiap anggota masyarakat tersebut tidak dapat pindah ke strata atau tingkatan sosial yang lebih tinggi atau lebih rendah. Contoh stratifikasi sosial tertutup yaitu seperti sistem kasta di India dan Bali serta di Jawa ada golongan darah biru dan golongan rakyat biasa. Tidak mungkin anak keturunan orang biasa seperti petani miskin bisa menjadi keturunan ningrat / bangsawan darah biru.
2)    Stratifikasi Sosial Terbuka
3)    Stratifikasi sosial terbuka adalah sistem stratifikasi di mana setiap anggota masyarakatnya dapat berpindah-pindah dari satu strata / tingkatan yang satu ke tingkatan yang lain. Misalnya seperti tingkat pendidikan, kekayaan, jabatan, kekuasaan dan sebagainya. Seseorang yang tadinya miskin dan bodoh bisa merubah penampilan serta strata sosialnya menjadi lebih tinggi karena berupaya sekuat tenaga untuk mengubah diri menjadi lebih baik dengan sekolah, kuliah, kursus dan menguasai banyak keterampilan sehingga dia mendapatkan pekerjaan tingkat tinggi dengan bayaran / penghasilan yang tinggi.

11.5Diferensiasi Sosial
Diferensiasi Sosial  adalah pengkelasan / penggolongan / pembagian masyarakat secara horisontal atau sejajar. Contohnya seperti pembedaan agama di mana orang yang beragama islam tingkatannya sama dengan pemeluk agama lain seperti agama konghucu, budha, hindu, katolik dan kristen protestan. Diferensiasi sosial merupakan perbedaan seseorang dilihat dari suku bangsa, ras, agama, klan, dsb. Pada intinya hal-hal yang terdapat dalam diferensiasi itu tidak terdapat tingkatan-tingkatan, namun yang membedakan satu individu dengan individu yang lainnya adalah sesuatu yang biasanya telah ia bawa sejak lahir. contohnya saja, suku sunda dan suku batak memiliki kelebihan masing-masing. Jadi seseorang tidak bisa menganggap suku bangsanya lebih baik, karena itu akan menimbulkan etnosentrisme dalam masyarakat.
Diferensiasi merupakan perbedaan yang dapat kita lihat dan kita rasakan dalam masyarakat, bukan untuk menjadikan kita berbeda tingkat sosialnya seperti yang terjadi di Afrika Selatan.
Wahidin (2008) menjelaskan pengelompokan masyarakat membentuk delapan kriteria diferensiasi sosial, antara lain:
1)    Diferensiasi Ras
Ras adalah suatu kelompok manusia yang memiliki cirri-ciri fisik bawaan yang sama. Diperensiasi ras adalah pengelompokan masyarakat berdasarkan ciri-ciri fisiknya.
2)    Diferensiasi Suku Bangsa (Etnis)
Menurut Shadily (1983), suku bangsa atau etnis adalah segolongan rakyat yang masih dianggap mempunyai hubungan biologis. Diferensiasi suku bangsa merupakan penggolongan manusia berdasarkan ciri-ciri biologis yang sama, seperti ras, namun suku bangsa memiliki kesamaan budaya sebagai berikut:
- Ciri fisik
- Bahasa daerah
- Kesenian
- Adat-istiadat
3)    Diferensiasi Klen (Clan)
Klen / kerabat luas / keluarga besar. Klen merupakan kesatuan keturunan (genealogis), kesatuan kepercayaan (religiomagis) dan kesatuan adapt (tradisi). Klen adalah system social berdasarkan ikatan darah atau keturunan yang sama umumnya terjadi di masyarakat unilateral baik melalui garis ayah (patrilineal) atau ibu (matrilineal).
4)    Diferensiasi Agama
Diferensiasi agama adalah pengelompokan masyarakat berdasarkan agama/kepercayaannya.
5)    Diferensiasi Profesi (pekerjaan)
Diferensiasi profesi adalah pengelompokan masyarakat atas dasar jenis pekerjaan atau profesinya. Profesi biasanya berkaitan dengan keterampilan khusus. Misal profesi guru memerlukan keterampilan khusus, seperti: pandai berbicara, bisa membimbing, sabar dan sebagainya. Berdasarkan perbedaan profesi orang dimasyarakat berprofesi: guru, dokter, pedagang, buruh, pegawai negeri, tentara dan sebagainya.


6)    Diferensiasi Jenis Kelamin
Jenis kelamin merupakan kategori dalam masyarakat yang didasarkan pada perbedaan seks atau jenis kelamin (perbedaan biologis). Perbedaan biologis ini dapat kita lihat dari struktur organ reproduksi, bentuk tubuh, suara, dan sebagainya. Atas dasar itu maka ada kelompok laki-laki/pria dan kelompok wanita/perempuan.
7)    Diferensiasi Asal Daerah
Diferensiasi ini merupakan pengelompokan manusia berdasarkan asal daerah atau tempat tinggalnya, desa atau kota. Terbagi menjadi :
-       masyarakat desa : kelompok orang yang tinggal di pedesaan atau berasal dari desa.
-       Masyarakat kota : kelompok orang yang tinggal di perkotaan atau berasal dari kota.
Perbedaan orang desa dengan orang kota dapat ditemukan dalam perilaku, tutur kata, cara berpakaian dan cara menghias rumah dan sebagainya.
8)    Diferensiasi Partai
Diferensiasi partai adalah perbedaan masyarakat dalam kegiatannya mengatur kekuasaan negara, yang berupa kesatuan-kesatuan social, seazas, seideologi dan sealiran.

DAFTAR PUSTAKA
 
Abdulsyani, 1994. Sosiologi (skematika, teori dan terapan), Penerbit: Bumi Aksara, Jakarta.
Bagong, Suyanto J. Dwi Narwoko. 2004. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana Media Group
Bertrand, L. 1980. Sosiologi. Alih Bahasa Sanafiah S Faisal. Bina Ilmu. Surabaya.
Blau. Peter M. 1977. Inequality and Heterogenity : A Primitive Theory of Social Structure. Free Press. New York.
Bronislaw, Malinowski. 1944. A Scientific Theory of Culture and Other Essay. The University of North Carolina Press. Chapel Hill.
Brown, A Lawrence. 1981. Innovation Diffusion: A New Perpective
Burgoon, M., Heston, J. K., & McCroskey, J. C. (1974). Small Group Communication: A Functional Approach. New York: Holt, Rinehart, and Winston.
Depari, Eduard dan Mc Andrew, Collin, 1991. Peranan Komunikasi Massa DalamPembangunan, Gadjah Mada University : Yogyakarta.
Dixon, G., 1982.A Course manual in Aghriclutural and Live-stock  Extension Vol. 1. Rural Sociology.Canberra: AUIDP.
Giles, H. and Wiemann, J. M. (1987). Language, social comparison and power. In C. R. Berger and S. H. Chaffee (eds.), The handbook of communication science (pp. 350-384). Newbury Park, CA: Sage.
Hamilton, Peter Ed. (1990). Talcott Parsons dan Pemikirannya, Sebuah Pengantar, Jogya. P.T.Tiara Wacana Jogya.
Hanafi, Abdillah. 1987. Memasyarakatkan Ide Ide Baru. Penerbit Usaha Nasional. Surabaya.
Homans, G. C. 1961. Social Behavior, New York: Harcourt Brace and World
Ibrahim, J.T, dkk. 2003. Komunikasi & Penyuluhan Pertanian. UMM Press & Bayumedia Publishing. Malang
Jhonson, Paul, Doyli,1986.Teori Sosiologi Klasik Dan Modern. PT Gramedia. Jakarta
Lazarfeld, Paul K.; Merton, Robert K., (1957) "Mass Communication Popular Taste andOrganized Social Action", dalam Rosenberg dan Manning, ed., Mass Culture the Popular Arts in America, A Free Press, New York
Lauer, Robert H. (1989), Perspektif tentang Perubahan Sosial, Edisi Kedua, penerjemah Alimandan, S.U,. Penerbti Bina Aksara, Jakarta.
Lionberger, H.F. 1960.Adoption of New Ideas and Practices. Iowa: The Iowa State University Press.
Lionberger, H.F. and P.H. Gwin, 1982. Communication Strategies: A Guide for Agricultural Change Agents. The Interstate Printers & Publisher, Inc. Denville, Illinois
Lippit, R (1958).  The Dynamic Planned Change. Hartcourt Brace Jovanovich. New York
Mardikanto, T. 1987. Komunikasi Pembangunan. Surakarta : Sebelas Maret University Press.
Mardikanto, T. 1988. Komunikasi Pembangunan. UNS Press. Surakarta.
Mardikanto, T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Sebelas Maret University Press. Surakarta.
Margono Slamet. 1978 (ed) Kumpulan Bahan Bacaan Penyuluhan Pertanian. IPB. Bogor
Nasikun, 1993, Sistem Sosial Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Pertiwi PR, Noviyanti R, Farida I.2007. Karakteristik Kategori Adopter dan Tingkat Keinovatifan Masyarakat Nelayan. Jakarta: Universitas Terbuka.
Pitirim, A Sorokim. 1928. Contemporary Sociological Theories. Harper and Brother. New York.
Radcliffe Brown.1968. Structure and Function in Primitive Society. Coher and West Ltd. London
Raymond Firth, 1966. Malay Fisherman: Their Peasant Economy. New York: WW Norton Library.
Rogers, E.M. 1961. Diffusion of innovations, 1st Edition. The Free Press, New York.
Rogers, Everett M. dan F. Floyd Shoemaker. 1971. Communication of Innovations. Terjemahan Abdillah Hanafi Memasyarakatkan Ide-Ide Baru. Usaha Nasional. Surabaya.
Roger, Everett,M.,1969. Modernization Among Peasants: The Impact of Communication; New York- Sydney: Holt,Rinehart and Winston,Inc.
Roger, Everett,M.,1969. Diffusion of Innovations. New York, The Free Press, Collier MacMillan, Ltd.
Rogers, E.M. 1983. Diffusion of innovations, 3rd Edition. The Free Press, New York.
Rogers, E.M. 1995, Diffusions of Innovations, Fourth Edition. New York: Tree Press.
Rogers, E. M. 2003, Diffusion of Innovations: Fifth Edition. Free Press. New York.
Santoso, Singgih.1999. SPSS: Buka Latihan SPSS Statistik Parametrik. Elex Media Komputindo. Jakarta.
Santoso, S. Hamijoyo. 1992. Pendidikan Luar Sekolah Dalam Kaitannya Dengan Masyarakat Industri. Makalah Seminar Jurusan PLS FIP IKIP Bandung. Bandung.
Shadily, Hasan. 1983.Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia. Penerbit: PT.Bina Aksara, Jakarta
Soekanto, Soerjono.1983. Kamus Sosiology. Jakarta:Raja Grafindo Persada.
Soewardi, Idris, 1987. Jurnalistik Televisi, Remadja Karya CV. Bandung.
Soewardi, Herman, 1976. Sikap Masyarakat Desa Terhadap Modernisasi Produksi Pertanian, Terutama Padi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Sofa, Muhaddar. 2008. Pengertian, Tujuan dan Ruang Lingkup Ilmu Budaya Dasar. Sumber : http://massofa.wordpress.com/2008/10/21/pengertian-tujuan-dan-ruang-lingkup-ilmu-budaya-dasar.html
Sofa, Muhaddar.2008. Kajian Sosiologi dan Interaksi Sosial. Sumber : http://massofa.wordpress.com/2008/02/06/bidang-kajian-sosiologi-dan-interaksi-sosial.htmlSubagiyo. 2005. Kajian Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Inovasi Usaha Perikanan Laut Desa Pantai Selatan Kabupaten Bantul, DIY. http://pse.litbang.deptan.go.id/publikasi.php.
Sunarto, Kamanto. 1985. Pengantar Sosiologi Sebuah Bunga Rampai. Midas Surya Grafindo.
Veeger, K.J. 1985. Realitas Sosial. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.
Wahidin, 2008. Bentuk-Bentuk Diferensiasi Sosial. Sumber : http://emakalah.wordpress.com/2008/10/29/bentuk-bentuk-diferensiasi-sosial/