1.
Difusi
Difusi
adalah proses komunikasi inovasi antara warga masyarakat (anggota sistem sosial),
dengan menggunakan saluran tertentu dan dalam waktu tertentu. Komunikasi dalam
definisi ini ditekankan dalam arti terjadinya saling tukar informasi (hubungan
timbal balik), antar beberapa individu secara memusat (konvergen) maupun
memencar (divergen) yang berlangsung secara spontan. Dengan adanya komunikasi
ini akan terjadi kesamaan pendapat antar warga masyarakat tentang inovasi. Jadi
difusi dapat merupakan salah satu tipe komunikasi yang mempunyai cirri pokok,
pesan yang dikomunikasikan adalah hal baru ( inovasi ).
Rogers
(1983) mendefinisikan difusi sebagai proses dimana suatu inovasi
dikomunikasikan melalui saluran tertentu dalam jangka waktu tertentu di antara
para anggota suatu sistem sosial (the process by which an innovation is
communicated through certain channels overtime among the members of a social
system). Disamping itu, difusi juga dapat dianggap sebagai suatu jenis
perubahan sosial yaitu suatu proses perubahan yang terjadi dalam struktur dan
fungsi sistem sosial.
Menurut Parker dalam Rogers (1983), difusi adalah suatu proses yang berperan memberi
nilai tambah pada fungsi produksi atau proses ekonomi. Parker juga menyebutkan
bahwa difusi merupakan suatu tahapan dalam proses perubahan teknik (technical
change). Menurutnya difusi merupakan suatu tahapan dimana keuntungan dari suatu
inovasi berlaku umum. Dari inovator, inovasi diteruskan melalui pengguna lain
hingga akhirnya menjadi hal yang biasa dan diterima sebagai bagian dari
kegiatan produktif.
Definisi
difusi diatas merupakan salah satu dari beberapa definisi menurut para ahli.
Adapun definisi lain tentang difusi adalah proses komunikasi inovasi antara
anggota sistem social dengan menggunakan saluran tertentu dan dalam kurun waktu
tertentu. Dari definisi tersebut dapat dilihat dengan jelas bahwa difusi ini
merupakan suatu proses komunikasi dimana di dalamnya terdapat suatu informasi
terbaru (inovasi).
2. Inovasi
2.1.
Teori Inovasi
Inovasi
adalah suatu gagasan, praktek, atau benda yang dianggap/dirasa baru oleh
individu atau kelompok masyarakat. Ungkapan dianggap/dirasa baru terhadap suatu
ide, praktek atau benda oleh sebagian orang, belum tentu juga pada sebagian
yang lain. Kesemuanya tergantung apa yang dirasakan oleh individu atau kelompok
terhadap ide, praktek atau benda tersebut. Rogers dan
Shoemaker (1971) mengartikan inovasi sebagai ide-ide baru, praktek-praktek baru
atau obyek-obyek yang dapat dirasakan sebagai sesuatu yang baru oleh individu
atau masyarakat sasaran penyuluhan.
Loinberger
dan Gwin (1982) mengartikan inovasi tidak sekedar sabagai sesuatu yang baru,
tetapi lebih luas lagi yaitu sesuatu yang nilai baru atau dapat mendorong
terjadinya pembaharuan dalam masyarakat atau lokalitas tertentu.
Mardikanto
(1987) menyatakan bahwa inovasi merupakan suatu ide, perilaku, produk,
informasi dan praktek-praktek baru yang belum banyak diketahui, diterima, dan
digunakan/diterapkan/dilaksanakan oleh sebagian besar warga masyarakat dalam
suatu lokalitas tertentu, yang dapat digunakan atau mendorong terjadinya perubahan-perubahan
disegala aspek kehidupan masyarakat demi terwujudnya perbaikan perbaikan mutu
hidup setiap individu dan seluruh warga masyarakat yang bersangkutan”.
Inovasi (innovation) sering diterjemahkan
segala hal yang baru atau pembaharuan. Selain pendapat tersebut, tidak jarang
juga yang mengartikan inovasi sama seperti modernisasi. Arti “baru” dalam
pengertian inovasi tersebut di atas tidak harus selalu berarti baru diciptakan,
tetapi dapat berupa yang sudah, “lama” dikenal, diterima dan diterapkan oleh
sekelompok masyarakat dalam suatu sistem sosial tertentu, dan dianggap baru
oleh suatu kelompok masyarakat di luar sistem sosial terdahulu. Ada juga yang
berpendapat bahwa inovasi merupakan ide, praktik, atau objek yang dianggap baru
oleh manusia atau unit adopsi lainnya.
Teori ini
meyakini bahwa sebuah inovasi terdifusi ke seluruh masyarakat dalam pola yang
bisa diprediksi. Beberapa kelompok orang akan mengadopsi sebuah inovasi segera
setelah mereka mendengar inovasi tersebut. Sedangkan beberapa kelompok
masyarakat lainnya membutuhkan waktu lama untuk kemudian mengadopsi inovasi
tersebut. Ketika sebuah inovasi banyak diadopsi oleh sejumlah orang, hal itu
dikatakan exploded atau meledak. Dari beberapa pendapat mengenai inovasi dapat
di tarik kesimpulan arti dari inovasi sendiri adalah suatu ide, barang,
kejadian, metode yang dirasakan atau diamati sebagai suatu hal yang baru bagi
seseorang atau sekelompok orang (masyarakat), baik berupa hasil invention
maupun diskoveri. Jika dilihat dari definisi para ahli, sebenarnya dapat
diketahui bahwa tidak terjadi perbedaan yang mendasar pada pengertian inovasi
antara satu dengan yang lainnya. Jika terjadi perbedaan hanya dalam susunan
kalimat atau penekanan maksud, tetapi pada dasarnya pengertiannya sama. Inovasi
sendiri diadakan untuk memecahkan masalah supaya mencapai tujuan tertentu.
2.2.
Karakteristik
Inovasi
Karakteristik inovasi adalah sifat dari
difusi inovasi, dimana karakteristik inovasi merupakan salah satu yang
menentukan kecepatan suatu proses inovasi.
Rogers (1983) mengemukakan ada 5
karakteristik inovasi, yaitu : relative advantage (keuntungan relatif), compatibility
atau kompatibilitas (keserasian), complexity atau kompleksitas
(kerumitan), triability atau triabilitas (dapat diuji coba) dan observability
(dapat diobservasi).
a.
Relative Advantage (keuntungan
relatif) adalah tingkat kelebihan suatu inovasi, apakah lebih baik dari inovasi
yang ada sebelumnya atau dari hal-hal yang biasa dilakukan. Biasanya diukur
dari segi ekonomi, prestasi sosial, kenyamanan dan kepuasan. Semakin besar
keuntungan relatif yang dirasakan oleh adopter, maka semakin cepat inovasi
tersebut diadopsi.
b.
Compatibility atau
kompatibilitas (keserasian) adalah tingkat keserasian dari suatu inovasi,
apakah dianggap konsisten atau sesuai dengan nilai-nilai, pengalaman dan
kebutuhan yang ada. Jika inovasi berlawanan atau tidak sesuai dengan
nilai-nilai dan norma yang dianut oleh adopter maka inovasi baru tersebut tidak
dapat diadopsi dengan mudah oleh adopter.
c.
Complexity atau
kompleksitas (kerumitan) adalah tingkat kerumitan dari suatu inovasi untuk
diadopsi, seberapa sulit memahami dan menggunakan inovasi. Semakin mudah suatu
inovasi dimengerti dan dipahami oleh adopter, maka semakin cepat inovasi
diadopsi.
d.
Triability atau
triabilitas (dapat diuji coba) merupakan tingkat apakah suatu inovasi dapat
dicoba terlebih dahulu atau harus terikat untuk menggunakannya. Suatu inovasi
dapat diuji cobakan pada keadaan sesungguhnya, inovasi pada umumnya lebih cepat
diadopsi. Untuk lebih mempercepat proses adopsi, maka suatu inovasi harus mampu
menunjukkan keunggulannya.
e.
Observability (dapat diobservasi)
adalah tingkat bagaimana hasil penggunaan suatu inovasi dapat dilihat oleh
orang lain. Semakin mudah seseorang melihat hasil suatu inovasi, semakin besar
kemungkinan inovasi diadopsi oleh orang atau sekelompok orang.
3.
Proses Pengambilan
Keputusan Inovasi
Proses keputusan inovasi ialah proses yang dilalui
(dialami) oleh individu (unit pengambilan keputusan yang lain), mulai dari pertama
kali tahu adanya inovasi, kemudian dilanjutkan dengan keputusan sikap terhadap
inovasi, penetapan keputusan menerima atau menolak inovasi, implementasi
inovasi, dan konfirmasi terhadap keputusan inovasi yang telah diambilnya.
Proses keputusan inovasi bukan kegiatan yang dapat berlangsung seketika, tetapi
merupakan serangkaian kegiatan yang berlangsung dalam jangka waktu tertentu,
sehingga individu atau organisasi dapat menilai gagasan ysng baru itu sebagai
bahan pertimbangan untuk selanjutnya akan menolak atau menerima inovasi dan
menerapkannya. Ciri pokok keputusan inovasi dan merupakan perbedaannya dengan
tipe keputusan yang lain ialah dimulai dengan adanya ketidak tentuan
(uncertainty) tentang sesuatu (inovasi).
Penerimaan atau penolakan suatu inovasi
adalah keputusan yang dibuat seseorang/individu dalam menerima suatu inovasi.
Menurut Rogers (1983), proses pengambilan keputusan inovasi adalah proses
mental dimana seseorang/individu berlalu dari pengetahuan pertama mengenai
suatu inovasi dengan membentuk suatu sikap terhadap inovasi, sampai memutuskan
untuk menolak atau menerima, melaksanakan ide-ide baru dan mengukuhkan terhadap
keputusan inovasi. Pada awalnya Rogers (1983) menerangkan bahwa dalam upaya
perubahan seseorang untuk mengadopsi suatu perilaku yang baru, terjadi berbagai
tahapan pada seseorang tersebut, yaitu:
a.
Tahap Awareness (Kesadaran), yaitu
tahap seseorang tahu dan sadar ada terdapat suatu inovasi sehingga muncul
adanya suatu kesadaran terhadap hal tersebut.
b.
Tahap Interest (Keinginan), yaitu
tahap seseorang mempertimbangkan atau sedang membentuk sikap terhadap inovasi
yang telah diketahuinya tersebut sehingga ia mulai tertarik pada hal tersebut.
c.
Tahap Evaluation (Evaluasi), yaitu
tahap seseorang membuat putusan apakah ia menolak atau menerima inovasi yang
ditawarkan sehingga saat itu ia mulai mengevaluasi.
d.
Tahap Trial (Mencoba), yaitu tahap
seseorang melaksanakan keputusan yang telah dibuatnya sehingga ia mulai mencoba
suatu perilaku yang baru.
e.
Tahap Adoption (Adopsi), yaitu tahap
seseorang memastikan atau mengkonfirmasikan putusan yang diambilnya sehingga ia
mulai mengadopsi perilaku baru tersebut.
Dari pengalaman di lapangan ternyata proses
adopsi tidak berhenti segera setelah suatu inovasi diterima atau ditolak.
Kondisi ini akan berubah lagi sebagai akibat dari pengaruh lingkungan penerima
adopsi. Oleh sebab itu, Rogers (1983) merevisi kembali teorinya tentang
keputusan tentang inovasi yaitu: Knowledge (pengetahuan), Persuasion (persuasi),
Decision (keputusan), Implementation (pelaksanaan), dan Confirmation
(konfirmasi).
a.
Tahap pengetahuan.
Dalam tahap ini,
seseorang belum memiliki informasi mengenai inovasi baru. Untuk itu informasi
mengenai inovasi tersebut harus disampaikan melalui berbagai saluran komunikasi
yang ada, bisa melalui media elektronik, media cetak, maupun komunikasi
interpersonal diantara masyarakat. Tahapan ini juga dipengaruhi oleh beberapa
karakteristik dalam pengambilan keputusan, yaitu: (1) Karakteristik
sosial-ekonomi, (2) Nilai-nilai pribadi dan (3) Pola komunikasi.
Berkaitan
dengan pengetahuan tentang inovasi, ada generalisasi (prinsip-prinsip umum)
tentang orang yang lebih awal mengetahui tentang inovasi;
a)
Orang yang lebih awal tahu tentang inovasi lebih
tinggi pendidikannya daripada yang akhir.
b)
Orang yang lebih awal tahu tentang inovasi lebih
tinggi status sosial ekonominya daripada yang akhir
c)
Orang yang lebih awal tahu tentang inovasi lebih
terbuka terhadap media massa daripada yang akhir.
d)
Orang yang lebih awal tahu tentang inovasi lebih
terbuka terhadap komunikasi interpersonal daripada yang akhir.
e)
Orang yang lebih awal tahu tentang inovasi lebih
banyak kontak dengan agen pembaharu daripada yang akhir.
f)
Orang yang lebih awal tahu tentang inovasi lebih
banyak berpartisipasi dalam sistem sosial daripada yang akhir.
g) Orang yang lebih awal tahu tentang inovasi lebih kosmopolitan daripada yang
akhir.
Perlu diketahui juga bahwa tahu tentang inovasi tidak sama dengan
melaksanakan atau menerapkan inovasi. Banyak orang yang tahu tetapi tidak
melaksanakan, dengan berbagai kemungkinan penyebabnya.
b.
Tahap persuasi.
Pada tahap ini
individu tertarik pada inovasi dan aktif mencari informasi/detail mengenai
inovasi. Tahap kedua ini terjadi lebih banyak dalam tingkat pemikiran calon pengguna.
Inovasi yang dimaksud berkaitan dengan karakteristik inovasi itu sendiri,
seperti: (1) Kelebihan inovasi, (2) Tingkat keserasian, (3) Kompleksitas, ( 4)
Dapat dicoba dan (5) Dapat dilihat.
Dalam tahap
persuasi ini juga sangat penting peran kemampuan untuk mengantisipasi
kemungkinan penerapan inovasi di masa datang. Perlu ada kemampuan untuk
memproyeksikan penerapan inovasi dalam pemikiran berdasarkan kondisi dan
situasi yang ada. Untuk mempermudah proses mental ini, perlu adanya gambaran
yang jelas tentang bagaimana pelaksanaan inovasi, jika mungkin sampai pada
konsekuensi inovasi.
Hasil dari
tahap persuasi yang utama ialah adanya penentuan menyenangi atau tidak
menyenangi inovasi. Diharapkan hasil tahap persuasi akan mengarahkan proses
keputusan inovasi atau dengan kata lain ada kecenderungan kesesuaian antara
menyenangi inovasi dan menerapkan inovasi. Namun perlu diketahui bahwa
sebenarnya antara sikap dan aktivitas masih ada jarak. Orang menyenangi inovasi
belum tentu ia menerapkan inovasi. Ada jarak atau kesenjangan antara:
pengetahuan, sikap dan penerapan (praktek). Misalnya seorang guru tahu tentang
metode diskusi, tahu cara menggunakannya, dan senang seandainya menggunakan,
tetapi ia tidak pernah menggunakan, karena beberapa faktor: tempat duduknya
tidak memungkinkan, jumlah siswanya terlalu banyak, dan takut bahan
pelajarannya tidak akan dapat disajikan sesuai dengan batas waktu yang
ditentukan. Perlu ada bantuan pemecahan masalah.
Dalam
penerapan inovasi ada pula yang disebut Preventive
innovation (inovasi preventif) yaitu seseorang menerapkan inovasi karena
ingin terhindar dari sesuatu yang tidak diinginkan di kemudian hari. Misalnya
keluarga berencana, penggunaan helm, mengikuti asuransi, dan sebagainya.
c.
Tahap pengambilan keputusan.
Pada tahap ini
individu mengambil konsep inovasi dan menimbang keuntungan/kerugian dari
menggunakan inovasi dan memutuskan apakah akan mengadopsi atau menolak inovasi.
Sering terjadi seseorang akan menerima inovasi setelah
ia mencoba lebih dahulu. Bahkan jika mungkin mencoba sebagian kecil lebih
dahulu, baru kemudian dilanjutkan secara keseluruhan jika sudah terbukti
berhasil sesuai dengan yang diharapkan. Tetapi tidak semua inovasi dapat
dicobadengan dipecah menjadi beberapa bagian. Inovasi yang dapat dicoba bagian
demi bagian akan lebih cepat diterima. Dapat juga terjadi percobaan cukup
dilakukan sekelompok orang, dan yang lain cukup mempercayai dengan hasil
percobaan temannya.
Perlu
diperhatikan bahwa dalam kenyataannya pada setiap tahap dalam proses keputusan
inovasi dapat terjadi penolakan inovasi. Misalnya penolakan dapat terjadi pada
awal tahap pengetahuan, dapat juga terjadi pada tahap persuasi, mungkin juga
terjadi setelah konfirmasi, dan sebagainya.
Ada dua
macam penolakan inovasi yaitu:
a) Penolakan aktif
artinya penolakan inovasi setelah melalui proses mempertimbangkan untuk
menerima inovasi atau mungkin sudah mencoba lebih dahulu, tetapi keputusan
akhir menolak inovasi.
b) Penolakan
pasif artinya penolakan inovasi dengan tanpa pertimbangan sama sekali.
Dalam pelaksanaan difusi inovasi
antara: pengetahuan, persuasi dan keputusan inovasi sering berjalan bersamaan.
Satu dengan yang lain saling berkaiatan. Bahkan untuk jenis inovasi tertentu
dan dalam kondisi tertentu dapat terjadi urutan: pengetahuan-keputusan
inovasi-baru persuasi.
d.
Tahap implementasi.
Tahap
implementasi dari proses keputusan inovasi terjadi apabila seseorang menerapkan
inovasi. Dalam tahap implementasi ini berlangsung keaktifan baik mental maupun
perbuatan. Keputusan penerimaan gagasan atau ide baru dibuktikan dalam praktek.
Pada umumnya implementasi tentu mengikuti hasil keputusan inovasi. Tetapi juga
tejadi karena sesuatu hal sudah memutuskan menerima inovasi tidak diikuti
implementasi. Biasanya hal ini terjadi karena fasilitas penerapan yang tidak
tersedia.
Dalam tahap
implementasi dapat terjadi hal yang yang disebut Reinvention (invensi kembali) yaitu penerapan inovasi dengan
mengadakan perubahan atau modifikasi. Jadi penerapan inovasi tetapi tidak
sesuai dengan aslinya. Reinvensi bukan berarti tentu hal yang tidak baik,
tetapi terjadinya re-invensi dapat merupakan kebijakan dalam pelaksanaan atau
penerapan inovasi, dengan mengingat kondisi dan situasi yang ada.
Hal-hal yang
memungkinkan terjadinya re-invensi antara lain: inovasi yang sangat komplek dan
sukar dimengerti, penerima inovasi kurang dapat memahami inovasi karena sukar
untuk menemui agen pembaharu, inovasi yang memungkinkan berbagai kemungkinan
aplikasi, apabila inovasi diterapkan untuk memecahkan masalah yang sangat luas,
kebanggaan akan inovasi yang dimiliki oleh suatu daerah tertentu juga dapat
menimbulkan re-invensi.
e.
Tahap konfirmasi.
Setelah sebuah
keputusan dibuat, seseorang kemudian akan mencari pembenaran atas keputusan
mereka. Tidak menutup kemungkinan seseorang kemudian mengubah keputusan yang
tadinya menolak jadi menerima inovasi setelah melakukan evaluasi. Dalam tahap konfirmasi ini seseorang mencari penguatan terhadap keputusan
yang telah diambilnya, dan ia dapat menarik kembali keputusannya jika memang
diperoleh informasi yang bertentangan dengan informasi semula. Tahap konfirmasi
ini sebenarnya berlangsung secara berkelanjutan sejak terjadi keputusan
menerima atau menolak inovasi, yang berlangsung dalam waktu yang tak terbatas.
Selama dalam tahap konfirmasi seseorang berusaha menghindari terjadinya
disonansi atau paling tidak berusaha menguranginya.
Terjadinya
perubahan tingkah laku seseorang antara lain disebabkan karena terjadinya
ketidak seimbangan internal. Orang itu merasa dalam dirinya ada sesuatu yang
tidak sesuai atau tidak selaras yang disebut disonansi, sehingga orang itu
merasa tidak enak. Jika seseorang merasa dalam dirinya terjadi disonansi, maka
ia akan berusaha untuk menghilangkannya atau paling tidak menguranginya dengan
cara megubah pengetahuaannya. Dalam hubungannya dengan difusi inovasi, usaha
mengurangi disonansi dapat terjadi:
a) Apabila seseorang menyadari akan sesuatu kebutuhan dan berusaha mencari
sesuatu untuk memenuhi kebutuhan misalnya dengan mencari informasi tentang
inovasi. Hal ini terjadi pada tahap pengetahuan dalam proses keputusan inovasi.
b) Apabila seseorang tahu tentang inovasi dan telah bersikap menyenangi
inovasi tersebut, tetapi belum menetapkan keputusan untuk menerima inovasi.
Maka ia akan berusaha untuk menerimanya, guna mengurangi adanya disonansi
antara apa yang disenangi dan diyakini dengan apa yang dilakukan. Hal ini
terjadi pada tahap keputusan inovasi, dan tahap implementasi dalam proses
keputusan inovasi.
c) Setelah seseorang menetapkan menerima dan menerapkan inovasi, kemudian
diajak untuk menolaknya. Maka disonansi ini dapat dikurangi dengan cara tidak
melanjutkan penerimaan dan penerapan inovasi (discontinuing). Ada kemungkinan
lagi seseorang telah menetapkan untuk menolak inovasi, kemudian diajak untuk
menerimanya. Maka usaha mengurangi disonansi dengan cara menerima inovasi
(mengubah keputusan semula).
Ketiga cara
mengurangi disonansi tersebut, berkaitan dengan perubahan tingkah laku
seseorang sehingga antara sikap, perasaan, pikiran, perbuatan sangat erat
hubungannya bahkan sukar dipisahkan karena yang satu mempengaruhi yang lain.
Sehingga dalam kenyataan kadang-kadang sukar orang akan mengubah keputusan yang
sudah terlanjur mapan dan disenangi, walaupun secara rasional diketahui ada
kelemahannya. Oleh karena sering terjadi untuk menghidari timbulnya disonansi,
maka ia hanya berusaha mencari informasi yang dapat memperkuat keputusannya.
Dengan kata lain orang itu melakukan seleksi informasi dalam tahap konfirmasi (selective exposure).
Untuk
menghindari terjadinya drop out dalam penerimaan dan implementasi inovasi (discontinue) peranan agen pembaharu
sangat dominan. Tanpa ada monitoring dan penguatan orang yang akan mudah
terpengaruh pada informasi negatif tentang inovasi.
Proses
pengambilan keputusan inovasi dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar 1. Model Proses Pengambilan
Keputusan Inovasi (Rogers, 1983)
Model tersebut menggambarkan tentang variabel
yang berpengaruh terhadap tingkat adopsi suatu inovasi serta tahapan dari
proses pengambilan keputusan inovasi. Variabel yang berpengaruh terhadap
tahapan difusi inovasi tersebut mencakup (1) atribut inovasi (perceived
atrribute of innovasion), (2) jenis keputusan inovasi (type of
innovation decisions), (3) saluran komunikasi (communication channels),
(4) kondisi sistem sosial (nature of social system), dan (5) peran agen
perubah (change agents
Rogers (1983) mengatakan bahwa
karakteristik inovasi (kelebihan, keserasian, kerumitan, dapat di uji coba dan
dapat diamati), hal ini sangat menentukan tingkat suatu adopsi daripada faktor
lain yaitu berkisar antara 49% sampai dengan 87%, seperti jenis keputusan,
saluran komunikasi, sistem sosial dan usaha yang intensif dari agen perubahan,
hal ini dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 2.Faktor yang memengaruhi
tingkat adopsi (Rogers, 1983)
4. Difusi Inovasi
4.1.
Teori Difusi Inovasi
Difusi
inovasi adalah suatu proses penyebar serapan ide-ide atau hal-hal yang baru
dalam upaya untuk merubah suatu masyarakat yang terjadi secara terus menerus
dari suatu tempat ke tempat yang lain, dari suatu kurun waktu ke kurun waktu
yang berikut, dari suatu bidang tertentu ke bidang yang lainnya kepada
sekelompok anggota dari sistem sosial.
Jadi dapat
kita artikan difusi inovasi adalah teori tentang bagaimana suatu ide dan
teknologi baru tersebar dalam sebuah kebudayaan. Teori ini dipopulerkan oleh
Everett Rogers pada tahun 1964 melalui bukunya yang berjudul Diffusion of Innovations.
Teori Diffusion of Innovations yang
dikembangkan Rogers adalah suatu teori yang berusaha menjelaskan bagaimana,
mengapa, dan seberapa cepat ide-ide baru dan teknologi menyebar melalui
berbagai budaya. Difusi inovasi adalah proses dimana suatu inovasi dikomunikasikan
melalui saluran tertentu dari waktu ke waktu di antara para anggota suatu
sistem sosial. Artinya difusi inovasi bisa berbeda prosesnya serta berbeda juga
hasilnya pada berbagai bentuk ide atau teknologi baru.
Munculnya Teori Difusi Inovasi dimulai pada awal abad
ke-20, tepatnya tahun 1903, ketika seorang sosiolog Perancis, Gabriel Tarde,
memperkenalkan Kurva Difusi berbentuk S (S-shaped Diffusion Curve).
Kurva ini pada dasarnya menggambarkan bagaimana suatu inovasi diadopsi
seseorang atau sekolompok orang dilihat dari dimensi waktu. Pada kurva ini ada
dua sumbu dimana sumbu yang satu menggambarkan tingkat adopsi dan sumbu yang
lainnya menggambarkan dimensi waktu.
Pemikiran Tarde menjadi penting karena secara
sederhana bisa menggambarkan kecenderungan yang terkait dengan proses difusi
inovasi. Rogers (1983) mengatakan, Tarde’s
S-shaped diffusion curve is of current importance because “most innovations
have an S-shaped rate of adoption”. Dan sejak saat itu tingkat adopsi atau
tingkat difusi menjadi fokus kajian penting dalam penelitian-penelitian
sosiologi.
Pada tahun 1940, dua orang sosiolog, Boyce Ryan dan
Neal Gross, mempublikasikan hasil penelitian difusi tentang jagung hibrida pada
para petani di Iowa, Amerika Serikat. Hasil penelitian ini memperbarui
sekaligus menegaskan tentang difusi inovasi model kurva S. Salah satu
kesimpulan penelitian Ryan dan Gross menyatakan bahwa “The rate of adoption of the agricultural innovation followed an
S-shaped normal curve when plotted on a cumulative basis over time.”
Perkembangan berikutnya dari teori Difusi Inovasi
terjadi pada tahun 1960, di mana studi atau penelitian difusi mulai dikaitkan
dengan berbagai topik yang lebih kontemporer, seperti dengan bidang pemasaran,
budaya, dan sebagainya. Di sinilah muncul tokoh-tokoh teori Difusi Inovasi
seperti Everett M. Rogers dengan karya besarnya Diffusion of Innovation (1961); F. Floyd Shoemaker yang
bersama Rogers menulis Communication of
Innovation: A Cross Cultural Approach (1971) sampai Lawrence A. Brown yang
menulis Innovation Diffusion: A New
Perpective (1981).
Teori Difusi Inovasi pada dasarnya menjelaskan proses
bagaimana suatu inovasi disampaikan (dikomunikasikan) melalui saluran-saluran
tertentu sepanjang waktu kepada sekelompok anggota dari sistem sosial. Hal tersebut
sejalan dengan pengertian difusi dari Roger (1961), yaitu “as the process by which an innovation is communicated through certain
channels over time among the members of a social system.” Lebih jauh
dijelaskan bahwa difusi adalah suatu bentuk komunikasi yang bersifat
khusus berkaitan dengan penyebaranan pesan-pesan yang berupa gagasan baru, atau
dalam istilah Rogers (1961) difusi menyangkut “which is the spread of a new idea from its source of invention or
creation to its ultimate users or adopters.”
Sesuai dengan pemikiran Rogers (1961), dalam proses difusi inovasi terdapat 4 (empat) elemen pokok, yaitu:
1.
Inovasi; gagasan, tindakan, atau
barang yang dianggap baru oleh seseorang. Dalam hal ini, kebaruan inovasi
diukur secara subjektif menurut pandangan individu yang menerimanya. Jika suatu
ide dianggap baru oleh seseorang maka ia adalah inovasi untuk orang itu. Konsep
’baru’ dalam ide yang inovatif tidak harus baru sama sekali.
2.
Saluran komunikasi; “alat’ untuk menyampaikan pesan-pesan inovasi dari sumber kepada penerima. Dalam
memilih saluran komunikasi, sumber paling tidakperlu memperhatikan (a) tujuan
diadakannya komunikasi dan (b) karakteristik penerima. Jika komunikasi
dimaksudkan untuk memperkenalkan suatu inovasi kepada khalayak yang banyak dan
tersebar luas, maka saluran komunikasi yang lebih tepat, cepat dan efisien,
adalah media massa. Tetapi jika komunikasi dimaksudkan untuk mengubah sikap
atau perilaku penerima secara personal, maka saluran komunikasi yang paling
tepat adalah saluran interpersonal.
3.
Jangka waktu; proses keputusan
inovasi, dari mulai seseorang mengetahui sampai memutuskan untuk menerima atau
menolaknya, dan pengukuhan terhadap keputusan itu sangat berkaitan dengan
dimensi waktu. Paling tidak dimensi waktu terlihat dalam (a) proses pengambilan
keputusan inovasi, (b) keinovatifan seseorang: relatif lebih awal atau lebih
lambat dalammenerima inovasi, dan (c) kecepatan pengadopsian inovasi dalam
sistem sosial.
4.
Sistem sosial; kumpulan unit yang
berbeda secara fungsional dan terikat dalam kerjasama untuk memecahkan masalah
dalam rangka mencapai tujuan bersama
Lebih lanjut teori yang
dikemukakan Rogers (1995) memiliki relevansi dan argumen yang cukup signifikan
dalam proses pengambilan keputusan inovasi. Teori tersebut antara lain
menggambarkan tentang variabel yang berpengaruh terhadap tingkat adopsi suatu
inovasi serta tahapan dari proses pengambilan keputusan inovasi. Variabel yang
berpengaruh terhadap tahapan difusi inovasi tersebut mencakup (1) atribut
inovasi (perceived atrribute of innovasion), (2) jenis keputusan inovasi
(type of innovation decisions), (3) saluran komunikasi (communication
channels), (4) kondisi sistem sosial (nature of social system), dan
(5) peran agen perubah (change agents).
4.2.
Elemen
Difusi Inovasi
Menurut Rogers (1983) dalam proses difusi
inovasi terdapat 4 (empat) elemen pokok, yaitu: suatu inovasi, dikomunikasikan
melalui saluran komunikasi tertentu, dalam jangka waktu dan terjadi diantara
anggota-anggota suatu sistem sosial.
a.
Inovasi (gagasan, tindakan atau barang) yang
dianggap baru oleh seseorang. Dalam hal ini, kebaruan inovasi diukur secara
subjektif menurut pandangan individu yang menerimanya.
b.
Saluran komunikasi, adalah alat untuk
menyampaikan pesan-pesan inovasi dari sumber kepada penerima. Jika komunikasi
dimaksudkan untuk memperkenalkan suatu inovasi kepada khalayak yang banyak dan
tersebar luas, maka saluran komunikasi yang lebih tepat, cepat dan efisien,
adalah media massa. Tetapi jika komunikasi dimaksudkan untuk mengubah sikap
atau perilaku penerima secara personal, maka saluran komunikasi yang paling
tepat adalah saluran interpersonal.
c.
Jangka waktu, yakni proses keputusan inovasi
dari mulai seseorang mengetahui sampai memutuskan untuk menerima atau
menolaknya. Pengukuhan terhadap keputusan itu sangat berkaitan dengan dimensi
waktu. Paling tidak dimensi waktu terlihat dalam (a) proses pengambilan keputusan
inovasi, (b) keinovatifan seseorang (relatif lebih awal atau lebih lambat dalam
menerima inovasi), dan (c) kecepatan pengadopsian inovasi dalam sistem sosial.
d.
Sistem sosial merupakan kumpulan unit yang
berbeda secara fungsional dan terikat dalam kerjasama untuk memecahkan masalah dalam
rangka mencapai tujuan bersama.
4.3.
Penerapan dan keterkaitan teori
Pada awalnya, bahkan dalam beberapa perkembangan
berikutnya, teori Difusi Inovasi senantiasa dikaitkan dengan proses
pembangunan masyarakat. Inovasi merupakan awal untuk terjadinya perubahan
sosial, dan perubahan sosial pada dasarnya merupakan inti dari pembangunan
masyarakat. Rogers dan Shoemaker (1971) menjelaskan bahwa proses difusi
merupakan bagian dari proses perubahan sosial. Perubahan sosial adalah proses
dimana perubahan terjadi dalam struktur dan fungsi sistem sosial. Perubahan
sosial terjadi dalam 3 (tiga) tahapan, yaitu: (1) Penemuan (invention),
(2) difusi (diffusion), dan (3) konsekuensi (consequences). Penemuan adalah proses dimana ide/gagasan baru diciptakan atau dikembangkan.
Difusi adalah proses dimana ide/gagasan baru dikomunikasikan kepada
anggota sistem sosial, sedangkan konsekuensi adalah suatu perubahan dalam
sistem sosial sebagai hasil dari adopsi atau penolakan inovasi.
Sejak tahun 1960-an, teori
difusi inovasi berkembang lebih jauh di mana fokus kajian tidak hanya dikaitkan
dengan proses perubahan sosial dalam pengertian sempit. Topik studi atau
penelitian difusi inovasi mulai dikaitkan dengan berbagai fenomena kontemporer
yang berkembang di masyarakat. Berbagai perpektif pun menjadi dasar dalam
pengkajian proses difusi inovasi,seperti perspektif ekonomi, perspektif ’market
and infrastructure (Brown, 1981). Salah satu definisi difusi inovasi dalam
taraf perkembangan ini antara lain dikemukakan Parker (1974), yang
mendefinisikan difusi sebagai suatu proses yang berperan memberi nilai tambah
pada fungsi produksi atau proses ekonomi. Dia juga menyebutkan bahwa difusi
merupakan suatu tahapan dalam proses perubahan teknik (technical change).
Menurutnya difusi merupakan suatu tahapan dimana keuntungan dari suatu inovasi
berlaku umum. Dari inovator, inovasi diteruskan melalui pengguna lain hingga
akhirnya menjadi hal yang biasa dan diterima sebagai bagian dari kegiatan
produktif.
Berkaitan dengan proses difusi inovasi tersebut National
Center for the Dissemination of Disability Research (NCDDR), 1996,
menyebutkan ada 4 (empat) dimensi pemanfaatan pengetahuan (knowledge
utilization), yaitu
a. Dimensi Sumber
(SOURCE) diseminasi, yaitu insitusi, organisasi, atau individu yang
bertanggunggung jawab dalam menciptakan pengetahuan dan produk baru.
b. Dimensi Isi (CONTENT)
yang didiseminasikan, yaitu pengetahuan dan produk baru dimaksud yang juga
termasuk bahan dan informasi pendukung lainnya.
c. Dimensi Media (MEDIUM) Diseminasi, yaitu
cara-cara bagaimana pengetahuan atau produk tersebut dikemas dan disalurkan.
5. Invention dan Re-Invention
Invention atau invensi merupakan
suatu hal yang benar-benar baru (new), yang belum pernah
ada sebelumnya, benar-benar hasil kreasi manusia yang belum pernah
dijumpai/ditemukan. Munculnya ide, atau kreativitas yang baru itu tentu
didasarkan pada pengalaman dan pengamatan ataupun hal-hal yang sudah ada tetapi
wujud ditemukanyya adalah baru. Misalnya, bahan bakar dari limbah, mode
pakaian, ataupun teori belajar, teori pendidikan dsb.
Dalam kehidupan sosial masyarakat invention menjadi
sebuah persoalan tersendiri karena golongan masyarakat tertentu biasanya akan
sulit menerima sesuatu yang baru yang ada pada lingkungan mereka. Proses
penerimaan sesuatu yang benar-benar asing bagi mereka tidak serta merta lansung
bisa di terima di kalangan tertentu atau tokoh masyarakat terpandang dalam
masyarakat.
Butuh waktu yang panjang untuk meyakinkan golongan
tertentu dalam menerima ide atau kriativitas lainnya, biasanya mereka baru akan
percaya pada sesuatu yang baru apabilah mereka telah melihat bukti lansung dari
penemuan tersebut, hanya golongan terpelajar dan golong pemuda yang biasanya
cepat menerima sebuah perubahan.
Inovasi tidak selamanya baru (completely
new), baik dari segi fisik maupun fitur yang melengkapinya. Inovasi dapat
terjadi karena sebuah proses yang dikenal dengan nama re-invention.
Proses re-invention ini bukan merupakan proses penemuan inovasi secara
orisinil, namun lebih bersifat kosmetik atau dikenal dengan pseudo-innovation.
Dalam sebuah pelayanan publik, proses re-invention juga dimungkinkan
untuk dilakukan, dengan maksud agar pelayanan publik akan lebih mudah diterima
oleh masyarakat lokal. Salah satu contoh yang paling mudah diamati dalam hasil
sebuah proses.
6. Keinovatifan (Innovativeness)
Keinovatifan
(Innovativeness) adalah sejauh mana individu atau unit adopsi lain
relatif lebih awal dalam mengadopsi ide-ide baru dari anggota lain
dari suatu sistem.Keinovatifan lebih menunjukkan perubahan perilaku yang
nyata, yang menjadi tujuan utama dari sebagian besar program difusi, daripada
hanya perubahan kognitif maupun sikap. Keinovatifan merupakan perilaku utama
dalam proses difusi. (Rogers,1995).
Menurut
Rogers (1995), keinovatifan adalah tingkat yang berkenaan dengan seberapa lama
seseorang/kelompok/sistem sosial lebih dahulu dalam mengadopsi ide-ide baru
dari konsep-konsep difusi inovasi dibandingkan dengan yang lain. Keinovatifan menjadi perubah utama dalam proses difusi
inovasi yang disponsori oleh agen perubahan. Pada negara berkembang
keinovatifan dipandang sebagai salah satu indikator kesuksesan program-program
pembangunan. Keinovatifan menunjukan perubahan tingkah laku yaitu tujuan akhir
program difusi bukan hanya pikiran dan sikap.
Inovasi di
sini yaitu sebagai sasaran yang dapat menjadi instrumen untuk melakukan
perubahan sosial sedangkan keinovatifan merupakan tingkat pengadopsian dari
kelompok masyarakat dan juga menjadi ciri pokok masyarakat yang sedang
mengalami proses perubahan. Proses perubahan tergantung pada waktu, objek dan
sasaran. Ada yang gampang menerima atau bahkan sebaliknya yaitu sulit menerima
atau menerima tetapi memerlukan waktu yang sangat lama.
Dari uraian
ini dapat disimpulkan bahwa yang namanya keinovatifan adalah sebuah proses
seseorang dalam menerima gagasan, objek yang menyangkut metode, strategi baru
dan produk kategori lebih awal apabila dibandingkan dengan yang lain dalam
sistem sosialnya. Lamban atau cepatnya dalam menerima inovasi melalui beberapa
etape dan ini sangat tergantung pada individu penerima, karakteristik inovasi
dan karakteristik lainnya yang individu itu berada di dalamnya.
Salah
satu dampak penyebaran inovasi pada suatu masyarakat adalah terbentuknya
karakteristik inovasi, yang dibedakan antara kelompok yang cenderung inovatif
dan kurang inovatif. Rogers dan Shoemaker (1971) mengistilahkan hal tersebut
sebagai karakteristik keinovatifan, yang dikelompokkan menjadi tiga bagian,
yaitu: (1) karakteristik sosial ekonomi, meliputi: status sosial, tingkat
mobilitas/kekosmopolitan, luas lahan, modal, jenis pekerjaan, orientasi pada
komersialisasi produk; (2) karakteristik individu yang diperlihatkan dengan:
sikap empati, dogmatis, kemampuan abstraksi, rasionalitas, intelegensi, sikap
terhadap perubahan, keberanian beresiko dan sikap futuristik; dan (3)
karakteristik komunikasi yang meliputi: tingkat partisipasi sosial, komunikasi
interpersonal, hubungan sosial dan dengan agen pembaharu, pemanfaatan media
massa untuk mencari informasi, serta tingkat kepemimpinan.
Karakteristik
sasaran termasuk salah satu faktor yang dipertimbangkan dalam kegiatan
penyuluhan agar mendukung efektivitas penyampaian pesan pembangunan. Beberapa
hasil penelitian tentang karakteristik keinovatifan antara lain dilakukan oleh
Subagiyo (2005), di mana karakteristik yang berkaitan dengan keinovatifan
petani dalam menerima informasi dan inovasi antara lain umur, tingkat
pendidikan dan pengalaman bekerja, motivasi, tingkat keterdedahan terhadap
informasi dari media, kekosmopolitan, serta keterlibatan dalam organisasi.
Adapun Pertiwi, dkk. (2007) menunjukkan bahwa tingkat keinovatifan
petani-nelayan yang dilihat dari peubah karakteristik individu, sosial dan
komunikasi, menunjukkan kondisi yang sejalan dengan tingkatan kategori adopter.
Artinya makin tinggi tingkatan kategori adopter, makin tinggi pula tingkat keinovatifannya.
7. Kategori Adapter
Adopter
adalah orang yang memakai atau menerima suatu inovasi. Adopter dapat
diklasifikasikan berdasarkan kemampuan inovasi mereka (innovativeness) dan
berdasarkan kecepatan mereka mengadopsi suatu inovasi yang diperkenalkan. Dalam suatu sistem sosial tidak semua individu
mengadopsi sebuah inovasi pada waktu yang sama. Pada kenyataannya, mereka
mengadopsi dalam kurun waktu yang bertahap sehingga dapat diklasifikasikan ke
dalam beberapa kategori adopter (penerima) berdasarkan kapan mereka pertama
kali menggunakan inovasi. Kita bisa menggambarkannya dengan menggunakan kategori
adopter, yaitu klasifikasi anggota suatu sistem berdasarkan keinovasian
(innovativeness) mereka. Setiap kategori adopter terdiri dari individu
dengan tingkat inovasi yang serupa. Jadi, kategori adopter adalah alat
yang memudahkan dalam menggambarkan anggota sistem.
Kita
mengetahui lebih banyak tentang inovasi yaitu derajat tingkat kepada perorangan
atau unit lain dari adopsi secara relatif lebih awal mengadopsi gagasan baru
dibanding anggota suatu syatem yang lain, dibanding sekitar konsep lain di
dalam riset difusi. Sebab inovatif ditingkatkan adalah sasaran para agen
perubahan yang utama, itu menjadi variabel dependent yang utama di dalam riset
difusi. Inovatif menandai adanya perubahan tingkah laku terang, tujuan yang
terakhir yaitu kebanyakan program difusi, dibanding/bukannya teori yang baru
atau tindakan yang seringkali berubah. Maka inovatif adalah suatu garis alas
tentang jenis perilaku di dalam proses pembauran.
Salah satu
pengelompokan yang bisa dijadikan rujukan adalah pengelompokan berdasarkan
kurva adopsi, yang telah diuji oleh Rogers (1961). Yang diklasifikasikan atas
lima kategori yaitu:
Adalah kelompok orang yang berani dan siap untuk mencoba hal-hal baru. Hubungan sosial
mereka cenderung lebih erat dibanding kelompok sosial lainnya. Orang-orang
seperti ini lebih dapat membentuk komunikasi yang baik meskipun terdapat
jarak geografis. Biasanya orang-orang ini memiliki gaya hidup
dinamis di perkotaan yang memiliki banyak teman atau relasi.
Kelompok ini lebih lokal dibanding kelompok inovator. Kategori adopter
seperti ini menghasilkan lebih banyak opini dibanding kategori lainnya,
serta selalu mencari informasi tentang inovasi. Mereka dalam kategori ini
sangat disegani dan dihormati oleh kelompoknya karena kesuksesan mereka dan keinginannya
untuk mencoba inovasi baru.
Kategori pengadopsi seperti ini merupakan mereka yang
tidak mau menjadi kelompok pertama yang mengadopsi sebuah inovasi. Sebaliknya,
mereka akan dengan berkompromi secara hati-hati sebelum membuat keputusan dalam
mengadopsi inovasi, bahkan bisa dalam kurun waktu yang lama. Orang-orang
seperti ini menjalankan fungsi penting
dalam melegitimasi sebuah inovasi, atau menunjukkan kepada seluruh komunitas bahwa
sebuah inovasi layak digunakan atau cukup bermanfaat.
d. Mayoritas akhir (Late Majority)
Kelompok yang ini lebih berhati-hati mengenai fungsi
sebuah inovasi. Mereka menunggu hingga kebanyakan orang telah mencoba dan
mengadopsi inovasi sebelum mereka mengambil keputusan.
Terkadang, tekanan dari kelompoknya bisa memotivasi mereka.
Dalam kasus lain, kepentinganekonomi mendorong
mereka untuk mengadopsi inovasi.
e. Tradisional / Kolot/ Terlambat (laggards/avoiders)
Kelompok ini merupakan orang yang terakhir melakukan
adopsi inovasi. Mereka bersifat lebih tradisional, dan segan
untuk mencoba hal hal baru. Kelompok ini biasanya lebih suka bergaul dengan
orang-orang yang memiliki pemikiran sama dengan mereka. Sekalinya sekelompok laggard mengadopsi inovasi baru,
kebanyakan orang justru sudah jauh mengadopsi inovasi lainnya, dan menganggap
mereka ketinggalan zaman.
Dengan pengetahuan tentang kategorisasi adopter ini dapatlah kemudian
disusun strategi difusi inovasi yang mengacu pada kelima kategori adopter,
sehingga dapat diperoleh hasil yang optimal, sesuai dengan kondisi dan keadaan
masing-masing kelompok adopter. Hal ini penting untuk menghindari pemborosan
sumber daya hanya karena strategi difusi yang tidak tepat. Strategi untuk
menghadapi adopter awal misalnya, haruslah berbeda dengan strategi bagi
mayoritas akhir,mengingat gambaran ciri-ciri mereka masing-masing (Rogers,
1983). Rogers menggambarkan kategori
adapter sebagai berikut :
a. Innovators : Sekitar 2,5% individu yang
pertama kali mengadopsi inovasi. Cirinya:
petualang, berani mengambil resiko, mobile, cerdas, kemampuan ekonomi tinggi.
b. Early
Adopters (Perintis/Pelopor) : 13,5% yang menjadi para perintis dalam penerimaan
inovasi. Cirinya: para teladan (pemuka pendapat), orang yang dihormati, akses di
dalam tinggi.
c. Early
Majority (Pengikut Dini) : 34% yang menjadi pera pengikut awal. Cirinya: penuh
pertimbangan, interaksi internal tinggi.
d. Late
Majority (Pengikut Akhir) : 34% yang menjadi pengikut akhir dalam penerimaan
inovasi. Cirinya: skeptis, menerima karena pertimbangan ekonomi atau tekanan
social, terlalu hati-hati.
e. Laggards (Kelompok
Kolot/Tradisional) : 16% terakhir adalah kaum kolot/tradisional. Cirinya :
tradisional, terisolasi, wawasan terbatas, bukan opinion leaders,sumber daya
terbatas.
Dilihat dari karakteristik
kategori penerima (Characteristics of Adopter Categories) dapat
dibedakan berdasarkan karakteristik sosiekonomis, variabel kepribadian dan
perilaku komunikasi.
1.
Karakteristik sosioekonomis
a. Early adopter tidak berbeda dengan late adopter dalam hal usia;
b. Early adopter memiliki pendidikan formal yang
lebih dibandingkan dengan late adopter;
c. Early adopter memiliki status sosial yang lebih
tinggi dibandingkan dengan late adopter;
d. Early adopter memiliki tingkat mobilitas sosial
yang lebih besar dibandingkan dengan late
adopter;
e. Early adopter memiliki unit yang lebih luas
(ladang, sekolah dsb.) dibandingkan dengan late
adopter.
2.
Variabel kepribadian
a. Early adopter memiliki empati yang lebih besar dibandingkan
dengan late adopter;
b. Early adopter mungkin kurang dogmatis
dibandingkan dengan late adopter;
c. Early adopter memiliki kemampuan yang lebih besar
dalam menerima gambaran umum (abstraksi)
dibandingkan dengan late adopter;
d. Early adopter memiliki rasionalitas yang lebih
besar dibandingkan dengan late adopter;
e. Early adopter lebih pintar dibandingkan dengan late adopter;
f. Early adopter memiliki sikap menyenangi perubahan
yang lebih dibandingkan dengan late
adopter;
g. Early adopter kurang fatalistis dibandingkan
dengan late adopter
h. Early adopter memiliki aspirasi yang lebih tinggi
(untuk pendidikan formal, status, pekerjaan, dsb.) dibandingkan dengan late adopter;
3.
Prilaku komunikasi
a. Early adopter memiliki partisipasi sosial yang
lebih tinggi dibandingkan dengan late
adopter;
b. Early adopter berhubungan lebih tinggi dalam hal
hubungan interpersonal di dalam sistem sosial mereka dibandingkan dengan late adopter;
c. Early adopter memiliki lebih banyak kontak dengan
agen perubahan dibandingkan dengan late
adopter;
d. Early adopter memiliki eksposur yang lebih tinggi
terhadap saluran komunikasi interpersonal dibandingkan dengan late adopter;
e. Early adopter lebih aktif dalam mencari informasi
tentang inovasi dibandingkan dengan late
adopter;
f. Early adopter memiliki pengetahuan yang lebih
luas tentang inovasi dibandingkan dengan late
adopter;
g. Early adopter memiliki tingkat yang lebih tinggi
dalam hal kepemimpinan opini dibandingkan dengan late adopter.
8. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Kecepatan Adopsi
Cepat
lambatnya adopsi inovasi oleh masyarakat luas dipengaruhi oleh karakteristik
inovasi itu sendiri. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Zaltman,
Duncan, dan Holbek bahwa cepat lambatnya suatu inovasi diterima dan diikuti
oleh masyarkat tergantung pada atribut atau karakteristik inovasi tersebut.
Atribut atau karakteristik inovasi adalah salah satu hal yang penting dalam
menjelaskan tingkat adopsi suatu inovasi. Dari 49 hingga 87 persen dari variasi
dalam tingkat adopsi suatu inovasi dipengaruhi oleh lima atribut/karakteristik
inovasi, yaitu keuntungan relatif, kompatibilitas, kompleksitas, trialabilitas,
observabilitas.
Jika proses
tersebut melalui "pemaksaan" (coersion),
biasanya dapat berlangsung secara cepat, tetapi jika melalui
"bujukan" (persuasive) atau
"pendidikan" (learning),
proses adopsi tersebut dapat berlangsung lebih lambat (Soewardi, 1987). Tetapi,
ditinjau dari pemantaban perubahan perilaku yang terjadi, adopsi yang berlangsung
melalui proses bujukan dan atau pendidikan biasanya lebih sulit berubah lagi.
Sedang adopsi yang terjadi melalui pemaksaan, biasanya lebih cepat berubah
kembali, segera setelah unsur atau kegiatan pemak-saan tersebut tidak
dilanjutakan lagi.
Menurut Soewardi
(1987), kecepatan adopsi, ternyata dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu
a.
Sifat-sifat atau karakteristik inovasi
b.
Sifat-sifat atau karakteristik calon pengguna
c.
Pengambilan keputusan adopsi
d.
Saluran atau media yang digunakan
e.
Kualifikasi agen perubahan.
Kecepatan adopsi menurut Soewardi (1987)
dapat dilihat pada gambar 3. dibawah ini
Gambar
3. Faktor yang memengaruhi Kecepatan Adopsi Inovasi
Meskipun demikian, Mardikanto (1993) mensinyalir
bahwa, identifikasi beragam faktor penentu kecepatan adopsi inovasi itu masih
terbatas pada pendekatan proses komunikasi. Karena itu Soewardi (1976), melihat
bahwa kecepatan adopsi inovasi dapat pula dipengaruhi oleh perilaku aparat dan
hal-hal lain yang terkait dalam kegiatan pengembangan masyarakat.
Studi tentang adopsi inovasi, telah banyak dilakukan
oleh berbagai pihak. Herman Soewardi (1976), misalnya, telah melakukan studi
untuk melihat proses adopsi sebagai proses perkembangan kebudayaan, berdasarkan
teori Erasmus:
A = f (M, C, L)
di mana :
A = adoption,
M =
motivation,
C =
cognition, dan
L =
limitation.
Mardikanto (1993) menyatakan bahwa kecepatan
adopsi dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu: sifat inovasinya sendiri, baik
sifat intrinsik yang melekat pada inovasinya sendiri maupun sifat ekstrinsik
yang dipengaruhi oleh keadaan lingkungan, sifat sasarannya, cara pengambilan
keputusan, saluran komunikasi yang digunakan, keadaan agen perubahan. Berkaitan
dengan kemampuan agen untuk berkomunikasi, perlu juga diperhatikan kemampuan
berempaati atau kemampuan untuk merasakan keadaan yang sedang dialami atau
perasaan orang lain, dan ragam sumber informasi.
Lionberger dalam Mardikanto (1993)
mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi kecepatan mengadopsi inovasi
ditinjau dari ragam golongan masyarakat yang meliputi: luas usahatani, tingkat
pendapatan, keberanian mengambil resiko, umur, tingkat partisipasinya dalam
kelompok/organisasi di luar lingkungannya sendiri, aktivitas mencari informasi
dan ide-ide baru, sumber informasi yang dimanfaatkan.
Slamet (1978) dengan menggunakan pendekatan ilmu
komunikasi seperti yang biasa dilakukan oleh Rogers (1969), mengenalkan
variabel-variabel penentu kecepatan adopsi yang terdiri atas: sifat-sifat
inovasinya, kegiatan promosi yang dila-kukan penyuluh, ciri-ciri sistem sosial
masyarakat sasaran, dan jenis pengambilan keputusan yang dilakukan oleh
sasaran. Selain itu, proses adopsi
inovasi juga dapat didekati dengan pemahaman bahwa proses adopsi inovasi itu
sendiri merupa-kan proses yang diupayakan secara sadar demi tercapainya tujuan
pembangunan pertanian.
Berlandaskan pada pemahaman diatas, terdapat beberapa pokok-pokok pemikiran tentang adopsi inovasi, sebagai berikut:
Berlandaskan pada pemahaman diatas, terdapat beberapa pokok-pokok pemikiran tentang adopsi inovasi, sebagai berikut:
a. Adopsi
inovasi memerlukan proses komunikasi yang terus-menerus untuk me-ngenalkan,
menjelaskan, mendidik, dan membantu masyarakat agar tahu, mau, dan mampu
menerapkan teknologi terpilih (yang disuluhkan).
b. Adopsi
inovasi merupakan proses pengambilan keputusan yang berkelanjutan dan tidak
kenal berhenti, untuk: mem-perhatikan, menerima, memahami, meng-hayati, dan
menerapkan teknologi-terpilih yang disampaikan.
c. Adopsi
inovasi memerlukan kesiapan untuk melakukan perubahan-perubahan dalam praktek
usahanya, dengan memanfaatkan teknologi terpilih
Sehubungan dengan ragam golongan masyarakat ditinjau
dari kecepatannya mengadopsi inovasi, Lionberger (1960) mengemukakan beberapa
faktor yang mempengaruhi kecepatan seseorang untuk mengadopsi inovasi yang
meliputi:
a. Luas usaha,
semakin luas biasanya semakin cepat mengadopsi, karena memiliki kemampuan
ekonomi yang lebih baik.
b. Tingkat
pendapatan, semakin tinggi tingkat pendapatan biasanya akan semakin cepat
mengadopsi inovasi.
c. Keberanian
mengambil resiko, sebab pada tahap awal biasanya tidak selalu berhasil seperti
yang diharapkan. Karena itu, individu yang memiliki keberanian mengha-dapi resiko
biasanya lebih inovatif.
d. Umur,
semakin tua (diatas 50 tahun), biasanya semakin lamban mengadopsi inovasi, dan
cenderung hanya melak-sanakan kegiatan-kegiatan yang sudah biasa diterapkan oleh
warga masyarakat setempat.
e. Tingkat
partisipasinya dalam kelompok/organisasi di luar lingkungannya sendiri.
Warga masyarakat yang suka bergabung dengan orang-orang di luar sistem sosialnya sendiri, umumnya lebih inovatif dibanding mereka yang hanya melakukan kontak pribadi dengan warga masyarakat setempat.
Warga masyarakat yang suka bergabung dengan orang-orang di luar sistem sosialnya sendiri, umumnya lebih inovatif dibanding mereka yang hanya melakukan kontak pribadi dengan warga masyarakat setempat.
f. Aktivitas
mencari informasi dan ide-ide baru.
Golongan
masyarakat yang aktif mencari informasi dan ide-ide baru, biasanya lebih
inovatif dibanding orang-orang yang pasif apalagi yang selalu keptis (tidak
percaya) terhadap sesuatu yang baru.
Selain itu, Dixon (1982) mengemukakan beberapa sifat
individu yang sangat berperan dalam mempengaruhi kecepatan adopsi inovasi, yang
berupa:
a. Prasangka
inter personal
Adanya sifat kelompok masyarakat
(terutama yang masih tertutup) untuk mencurigai setiap tindakan orang -orang
yang berasal dan berada di luar sistem sosialnya, sering-kali berpengaruh
terhadap kecepatan adopsi inovasi.
Karena itu, proses adopsi inovasi dapat dipercepat jika penyuluh dapat memanfaatkan tokoh-tokoh atau panutan masyarakat setempat. Sebab, di dalam masyarakat sasaran seperti ini, mereka akan cepaat mengadopsi inovasi yang disampaikan oleh orang-orang yang telah mereka kenal, dan pihak-pihak yang senasib dan sepenanggungan.
Karena itu, proses adopsi inovasi dapat dipercepat jika penyuluh dapat memanfaatkan tokoh-tokoh atau panutan masyarakat setempat. Sebab, di dalam masyarakat sasaran seperti ini, mereka akan cepaat mengadopsi inovasi yang disampaikan oleh orang-orang yang telah mereka kenal, dan pihak-pihak yang senasib dan sepenanggungan.
b. Pandangan
terhadap kondisi lingkungannya yang terbatas
Foster (1965) dan Shanin (1973) dari
hasil pengamatannya menyimpulkan bahwa, kecepatan adopsi inovasi sangat
tergantung pada persepsi sasaran terhadap keadaan ling-kungan sosial di
sekitarnya. Jelasnya, jika mereka keadaan masyarakat (sosial ekonomi, teknologi
yang diterapkan) relatif seragam, mereka akan kurang terdorong untuk mengadopsi
inovasi yang ditawarkan guna melakukan perubahan-perubahan. Sebaliknya, jika
ada seseorang atau beberapa anggota masyarakat sasaran yang memiliki kelebihan-kelebihan
yang tidak dimilikinya, mereka akan cenderung berupaya keras untuk melakukan
perubahan-perubahan demi tercapainya peningkatan atau perbaikan mutu hidup
mereka sendiri dan masyarakatnya.
c.
Sikap terhadap penguasa
Di dalam kehidupaan sehari-hari, sebenarnya
terdapat dualisme tentang sikap masyarakat terhadap penguasanya. Di satu pihak,
elit penguasa dinilai sebagai kelompok yang selalu meendominasi dan
mengeksploitasi warga masyarakat pada umumnya, dan di pihak lain dinilai
seba-gai pelindung dan kelompok yang memegang kekuasaan dan mampu memecahkan
masalah-masalah yang mereka hadapi.
Dualisme sikap terhadap penguasa
seperti ini, jugaa berpengaruh kepada kecepatan adopsi inovasi, terutama jika
kegiatan penyuluhannya selalu diikuti/didampingi atau dilaksanakaan sendiri
oleh aparat pemerintah.
Sehingga kehadiran aparat penguasa kadang-kadang sa-ngat diperlukan, tetapi di pihak lain sering kali juga harus dihindarkan.
Sehingga kehadiran aparat penguasa kadang-kadang sa-ngat diperlukan, tetapi di pihak lain sering kali juga harus dihindarkan.
d.
Sikap kekeluargaan
Sebagaimana juga telah dikemukakan
pada Bab sebelum-nya, tidak ada satupun warga masyarakat sasaran yang mampu
mengambil keputusan secara individual, tanpa mengikut sertakan keluarga atau
kerabat dekatnya.
Oleh sebab itu, di dalam sistem sosial yang sikap keke-luargannya masih tebal, adopsi inovasi berlangsung relatif lambat, karena setiap pengambilan keputusan untuk mengadopsi selalu harus menunggu kesepakatan seluruh anggota keluarga atau kerabatnya. Dan ini relatif berbeda dengan masyarakat komersial yang individualistis, yang pada umumnya dapat mengambil keputusan sendiri untuk mengadopsi inovasi yang ditawarkan penyuluhnya.
Oleh sebab itu, di dalam sistem sosial yang sikap keke-luargannya masih tebal, adopsi inovasi berlangsung relatif lambat, karena setiap pengambilan keputusan untuk mengadopsi selalu harus menunggu kesepakatan seluruh anggota keluarga atau kerabatnya. Dan ini relatif berbeda dengan masyarakat komersial yang individualistis, yang pada umumnya dapat mengambil keputusan sendiri untuk mengadopsi inovasi yang ditawarkan penyuluhnya.
e.
Fatalisme
Fatalisme adalah suatu kondisi yang
menunjukkan keti-dakmampuan seseorang untuk merencanakan masa depan-nya
sendiri, sebagai akibat dari pengaruh faktor-faktor luar yang tidak mampu
dikuasainya. Kondisi seperti ini, umumnya dimiliki oleh masyarakat petani yang
kehidupan maupun usahataninya relatif masih sangat tergantung kepada keadaan
alam, dan atau diper-kuat lagi dengan sistem pemerintahan otoriter yang kurang
memberikan kesempatan kepada masyarakatnya untuk menentukan nasibnya sendiri.
Dalam kondisi fatalisme seperti itu, adopsi inovasi akan berlangsung sangat
lam-ban, karena akan menghadapi resiko dan ketidakpastian yang sangat besar.
f.
Kelemahan Aspirasi
Sebagai akibat lanjutan dari kondisi
fatalisme adalah lemahnya aspirasi atau cita-cita untuk menikmati kehi-dupan
yang lebih baik. Dalam kondisi seperti ini, sebagian besar masyarakat sasaran
akan bersifat pasrah, dan cukup puas dengan apa yang dapat dinikmati tanpa
adanya cita-cita dan harapan untuk dapat hidup yang lebih baik. Sehingga,
setiap inovasi yang ditawarkan akan sangat lamban diadopsi.
g.
Hanya berpikir untuk hari ini
Dengan lemahnya aspirasi yang
disebabkan oleh fatalisme di atas, warga masyarakat yang bersangkutan tidak
pernah berpikir tentang hari esok. Yang menyelimuti hati dan pikiran mereka
hanyalah: bagaimana untuk bisaa hidup hari ini sepuas-puasnya, sedang hari esok
tergantung kepada nasib.
Masyarakat seperti ini hanya berpandangan "quick yielding" yang cepat dapat dinikmati, dan akan sangat mengadopsi inovasi yang umumnya berupa investasi untuk mencapai tujuan perbaikan mutu hidup dalam jangka panjang.
Masyarakat seperti ini hanya berpandangan "quick yielding" yang cepat dapat dinikmati, dan akan sangat mengadopsi inovasi yang umumnya berupa investasi untuk mencapai tujuan perbaikan mutu hidup dalam jangka panjang.
h.
Kosmopolitness, yaitu
tingkat hubungannya dengan "dunia luar" di luar sistem sosialnya
sendiri.
Kosmopolitnes, dicirikan oleh
frekuensi dan jarak perjalanan yang dilakukan, serta pemanfaatan media massa. Bagi
warga masyarakat yang relatif lebih kosmopolit, adopsi inovasi dapat
berlangsung lebih cepat. Tetapi, bagi yang lebih "localite"
(tertutup, terkungkung di dalam sistem sosialnya sendiri, proses adopsi inovasi
akan ber-langsung sangat lamban karena tidak adanya keinginan-keinginan baru
untuk hidup lebih "baik" seperti yang telah dapat dinikmati oleh orang-orang
lain di luar sistem sosialnya sendiri.
i.
Kemampuan berpikir kritis, dalam arti kemampuan untuk
menilai sesuatu keadaan (baik/buruk, pantas/tidak pantas, dll).
Akibatnya adalah, meskipun inovasi
yang ditawarkan itu akan benar-benar dapat memberikaan peluang untuk meraih
mutu hidup yang lebih baik, proses pengambilan keputusan untuk mengadopsi tetap
juga berjalan lamban.
j.
Tingkat kemajuan peradabannya
Kemajuan tingkat peradaban, akan
sangat menentukan ragam dan mutu kebutuhan-kebutuhan yang dirasakan oleh setiap
individu dalam sistem sosial yang bersangkutan (Lippit, 1958).
Karena itu, tingkat adopsi inovasi di dalam masyarakat
yang lebih maju akaan relatif lebih cepat, karena setiap warga masyarakat
terdorong untuk selalu ingin memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang terus menerus
mengalami perubahaan, baik dalam ragam kebutuhannya maupun mutu yang
diinginkannya.
Terlepas dari ragam karakteristik individu dan
masyarakat, cara pengambilan keputusan yang dilakukan untuk mengadopsi sesuatu
inovasi juga akan mempengaruhi kecepatan adopsi. Tentang hal ini, jika
keputusan adopsi dapat dilakukan secara pribadi (individual) relatif lebih
cepat dibanding pengambilan keputusan berdasarkan keputusan bersama (kelompok)
warga masyarakat yang lain, apalagi jika harus menunggu peraturan-peraturan
tertentu (seperti: rekomendasi pemerintah/penguasa).
Kecepatan adopsi, ternyata dipengaruhi oleh faktor sifat
inovasinya sendiri, baik sifat intrinsik (yang melekat pada inovasi sendiri)
maupun sifat ekstrinsik (dipengaruhi oleh keadaan lingkungannya (Mardikanto,
1988).
Sifat-sifat intrinsik inovasi itu mencakup:
a. informasi ilmiah yang melekat, dilekatkan pada
inovasinya,
b. nilai-nilai atau keunggulan-keunggulan (teknis,
ekonomis, sosial, budaya, dan politis) yang melekat pada inovasinya,
c. tingkat kerumitan (kompleksitas) inovasi,
d. mudah tidaknya inovasi dikomunikasikan
(kekomunikatifan),
e. mudah/tidaknya inovasi tersebut dicobakan
(trial-ability)
f. mudah tidaknya inovasi tersebut diamati
(Observability).
Sedang
sifat-sifat ekstrinsik inovasi meliputl:
a. kesesuaian (compatibility) inovasi dengan lingkungan
setempat (baik lingkungan fisik, sosial budaya, politik, dan kemampuan ekonomis
masyarakatnya).
b. Tingkat keunggulan relatif dan inovasi yang
ditawarkan, atau keunggulan lain yang dimiliki oleh inovasi dibanding dengan
teknologi yang sudah ada yang akan
diperbaharui/digantikannya; baik keunggulan teknis (kecocokan dengan keadaan alam setempat, dan tingkat
produktivitasnya), ekonomis (besarnya beaya atau keuntungannya), manfaat non
ekonomis, maupun dampak sosial budaya dan politis yang ditimbulkannya (relative
advantage).
Wayne
Lamble dalam Ibrahim et al (2003) menyatakan bahwa tingkat adopsi suatu
inovasi sangat dipengaruhi oleh oleh keputusan untuk mengadopsi atau menolak
suatu inovasi. Tipe keputusan ini diklasifikasikan menjadi:
1)
Keputusan opsional, yaitu keputusan yang
dibuat seseorang dengan mengabaikan keputusan yang dilakukan orang-orang
lainnya dalam suatu sistem sosial. Dalam kaitannya dengan hubungan individual
antara penyuluh dengan adopter. Penyuluh berperan sebagai akseleran pengambilan
keputusan secara opsional.
2)
Keputusan kolektif, yaitu keputusan yang
dilakukan individu-individu dalam suatu sistem sosial yang telah dimufakati
atau disetujui bersama.
3)
Keputusan otoritas, yaitu keputusan yang
dipaksakan oleh seseorang yang memiliki kekuasaan lebih besar kepada individu
lainnya.
Hanafi (1987) menyatakan bahwa tipe keputusan
inovasi mempengaruhi kecepatan adopsi. Secara umum kita dapat mengharapkan
bahwa inovasi yang diputuskan secara otoritas akan diadopsi lebih cepat karena
orang yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan inovasi lebih sedikit.
Akan tetapi, jika bentuk keputusan itu tradisional mungkin tempo adopsinya juga
lebih lambat. Keputusan opsional biasanya lebih cepat daripada keputusan
kolektif, tetapi lebih lambat daripada keputusan otoritas. Barangkali yang
paling lambat adalah tipe keputusan kontingen karena harus melibatkan keputusan
inovasi atau lebih.
9.
Opinion Leaders
Istilah opinion leader menjadi perbincangan
dalam literatur komunikasi sekitar tahun 1950-1960an. Sebelumnya dalam istilah
komunikasi sering digunakan istilah influentials, influence atau tastemakers
untuk menyebut opinion leader. Kata opinion leader kemudian menjadi lebih lekat
dengan kondisi masyarakat di pedesaan karena tingkat media exposure-nya dan
tingkat pendidikannya yang masih rendah. Akses dari media lebih memungkinkan
dari mereka yang mempunyai tingkat pemahaman yang lebih tinggi. Melalui seorang
opinion leader-lah informasi yang datangnya dari media diketahui oleh
masyarakat awam.
Secara tidak
langsung, opinion leader merupakan
perantara berbagai informasi yang diterima dan diteruskan kepada masyarakat
setempat. Pihak yang sering menjadi media exposure di masyarakat desa kadang
diperankan oleh seorang opinion leader. Mereka ini sangat dipercaya dan
dijadikan panutan serta menjadi tempat bertanya dan meminta nasehat dalam
segala hal.
Seorang
opinion leader berhubungan dengan opinion leadership (kepemimpinan pendapat). Dua
istilah ini saling berkaitan karena dalam setiap kepemimpinan dibutuhkan
seorang pemuka pendapat untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan masyarakat.
9.1.
Pengertian “Opinion Leaders”
Opinion leader (diterjemahkan sebagai pemimpin pendapat atau pemuka
masyarakat), tampaknya ada kesempatan untuk memakai istilah yang sama, yaitu Opinion leader (untuk menunjuk orangnya)
dan opinion leadership (untuk
menunjuk kepastiannya). Opinion leadership dimaksudkan sebagai
kemampuan untuk mempengaruhi secara informal sikap-sikap atau perilaku nyata
dari individu-individu lain melalui cara-cara yang diinginkan serta dengan
frekuensi yang relatif intensif.
Opinion leaders atau pemimpin opini adalah individu yang memimpin dalam mempengaruhi
pendapat orang lain tentang inovasi. Perilaku pemimpin opini penting dalam
menentukan tingkat adopsi suatu inovasi dalam suatu sistem. Bahkan, bentuk
kurva difusi terjadi karena pemimpin opini sekali mengadopsi kemudian
memberitahu orang lain tentang inovasi yang diadopsinya.
Opinion leaders adalah orang yang mempunyai keunggulan dari masyarakat kebanyakan. Opinion leaders lebih mudah menyesuaikan
diri dengan masyarakatnya, lebih kompeten dan lebih tahu memelihara norma yang
ada. Kemampuan dirinya memelihara norma menjadi salah satu konsekuensi logis
bentuk pelayanan atau suri teladan yang diberikan atau ditunjukkan kepada
masyarakatnya. Menurut Homans (1961), ”Seseorang yang memiliki status sosial
tinggi (pemimpin pendapat) akan senantiasa memelihara nilai-nilai serta
norma kelompoknya sebagai syarat minimal dalam mempertahankan statusnya.”
Jadi, Opinion leaders dapat dikatakan sebagai
orang-orang berpengaruh, yakni orang-orang tertentu yang mampu memengaruhi
sikap orang lain secara informal dalam suatu sistem sosial, bisa karena kekayaan, pengetahuan, budi
pekerti, atau kesuksesannya dalam menjalani kehidupan. Karena kebijaksanaan dan
pengetahuannya seorang tokoh masyarakat bisa menjadi panutan bagi orang-orang. Dalam
kenyataannya, orang berpengaruh ini dapat menjadi pendukung inovasi atau
sebaliknya, menjadi penentang. Ia (mereka) berperan sebagai model dimana perilakunya
(baik mendukung atau menentang) diikuti oleh para pengikutnya.
9.2.
Karakteristik
“Opinion
Leaders”
Opinion
Leader adalah orang yang mempunyai
keunggulan dari masyarakat kebanyakan. Sudah sepantasnya jika mereka mempunyai
karakteristik yang membedakan dirinya dengan orang lain. Beberapa karakteristik
yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a. Lebih tinggi
pendidikan formalnya dibandingkan dengan anggota masyarakat lain;
b. Lebih tinggi
Status Sosial Ekonominya (SSE);
c. Lebih
inovatif dalam menerima dan mengadopsi ide baru;
d. Lebih tinggi
pengenalan medianya (media exposure)
e. Kemampuan
empati lebih besar;
f. Partisipasi
social lebih besar;
g. Lebih
kosmopolit (mempunyai wawasan dan pengetahuan yang luas)
Di samping itu ada juga syarat seorang pemimpin
(termasuk pemimpin opini) yang pernah dikatakan oleh Floyd Ruch sebagai
berikut:
a. Social
perception, artinya seorang pemimpin harus dapat memiliki ketajaman dalam menghadapi
situasi;
b. Ability in
abstract thinking, artinya pemimpin harus memiliki kecakapan secara abstrak terhadap masalah
yang dihadapi.
c. Emotional
stability, artinya pemimpin harus memiliki perasaan stabil, tidak mudah terkena
pengaruh dari luar (yang tidak diyakini dan bertolak belakang dengan keyakinan masyarakat) (Santoso,1992)
Salah satu keunggulan opinion
leader di bandingkan dengan masyarakat
kebanyakan adalah pada umumnya opinion leader itu lebih menyesuaikan
diri dengan masyarakatnya, lebih kompeten dan lebih tahu memelihara norma yang
ada. Menurut Humans dalam Depari dan Andrew (1991) “Seorang yang memilki status sosial tinggi (pemimpin pendapat) akan
senantiasa memelihara nilai-nilai serta norma kelompoknya sebagai syarat
minimal dalam mempertahankan statusnya.”
Opinion leader dalam kelompok mempunyai cara yang berbeda-beda dalam
menyampaikan pesannya kepada komunikan untuk mendapatkan respon atau
tanggapan tertentu dalam situasi tertentu pula. Kesesuaian maksud dari opinion
leader ini tergantung dari isi pesan dan feedback yang diharapkan dari
komunikan. Selain itu faktor psikologis masing-masing opinion leader juga menentukan gaya dan caranya dalam mengelola
penyampaian pesan.
Dalam sebuah komunikasi, umpan balik merupakan bentuk khas dari sebuah
pesan.Komunikasi disebut efektif jika umpan balik yang didapatkan sesuai dengan
harapan komunikator.Oleh karena itu perlu seorang komunikator yang berkemampuan
untuk mendapatkan kategori komunikasi efektif.
Untuk itu karakteristik opinion leader dapat dibagi menjadi 6 (enam),
yaitu:
1) The Controlling Style
Dalam karakter opinion
leader yang pertama adalah bersifat mengendalikan. Gaya mengendalikan ini
ditandai dengan adanya satu kehendak atau maksud untuk membatasi, memaksa dan
mengatur baik perilaku, pikiran dan tanggapan komunikan. Gaya ini dapat
dikategorikan sebagai one step flow.
Oleh karena itu opinion leader tidak berusaha untuk membicarakan gagasannya,
namun lebih pada usaha agar gagasannya ini dilaksanakan seperti apa yang
dikatakan dan diharapkan tanpa mendengarkan pikiran dari komunikan.
2) The Equalitarian Style
Gaya ini lebih mengutamakan kesamaan pikiran antara opinion leader dan komunikan. Dalam gaya
ini tindak komunikasi dilakukan secara terbuka. Artinya setiap anggota dapat
mengkomunikasikan gagasan ataupun pendapat dalam suasana yang rileks, santai
dan informal. Dengan kondisi yang seperti ini diharapkan komunikasi akan mencapai
kesepakatan dan pengertian bersama. Opinion
leader yang menggunakan pola two step
flow ini merupakan orang-orang yang memiliki sikap kepedulian tinggi serta
kemampuan membina hubungan baik dengan orang lain dalam lingkup hubungan
pribadi maupun hubungan kerja. Oleh karena itu akan terbina empati dan
kerjasama dalam setiap pengambilan keputusan terlebih dalam masalah yang
kompleks.
3) The Structuring Style
Poin dalam gaya ini adalah penjadwalan tugas dan
pekerjaan secara terstuktur. Seorang opinion leader yang menganut gaya ini
lebih memanfaatkan pesan-pesan verbal secara lisan maupun tulisan agar
memantapkan instruksi yang harus dilaksanakan oleh semua anggota komunikasi. Seorang
opinion leader yang mampu membuat
instruksi terstuktur adalah orang-orang yang mampu merencanakan pesan-pesan
verbal untuk memantapkan tujuan organisasi, kerangka penugasan dan memberikan
jawaban atas pertanyaan yang muncul.
4) The Relinquising Style
Gaya ini lebih dikenal dengan gaya komunikasi agresif,
artinya pengirim pesan atau komunikator mengetahui bahwa lingkungannya
berorientasi pada tindakan (action
oriented). Komunikasi semacam ini seringkali dipakai untuk mempengaruhi
orang lain dan memiliki kecenderungan memaksa. Tujuan utama komunikasi
dinamis ini adalah untuk menstimuli atau merangsang orang lain berbuat lebih
baik dan lebih cepat dari saat itu. Untuk penggunaan gaya ini lebih cocok
digunakan untuk mengatasi persoalan yang bersifat kritis namun tetap memperhatikan
kemampuan yang cukup untuk menyelesaikan persoalan tersebut bersama-sama.
5) The Dynamic Style
Dalam sebuah komunikasi kelompok tidak semua hal
dikuasai oleh opinion leader, baik
dalam percakapan hingga pengambilan keputusan. Bekerja sama antara seluruh
anggota lebih ditekankan dalam model komunikasi jenis ini. Komunikator tidak
hanya membicarakan permasalahan tetapi juga meminta pendapat dari seluruh
anggota komunikasi. Komunikasi ini lebih mencerminkan kesediaan untuk menerima
saran, pendapat atau gagasan orang lain. Komunikator tidak memberi perintah
meskipun ia memiliki hak untuk memberi perintah dan mengontrol orang lain.
Untuk itu diperlukan komunikan yang berpengetahuan luas, teliti serta bersedia
bertanggung jawab atas tugas yang dibebankan.
6) The Withdrawal Style
Deskripsi konkret dari gaya ini adalah independen atau
berdiri sendiri dan menghindari komunikasi. Tujuannya adalah untuk mengalihkan
persoalan yang tengah dihadapi oleh kelompok. Gaya ini memiliki kecenderungan
untuk menghalangi berlangsungnya interaksi yang bermanfaat dan produktif.
Akibat yang muncul jika gaya ini digunakan adalah melemahnya tindak komunikasi,
artinya tidak ada keinginan dari orang-orang yang memakai gaya ini untuk
berkomunikasi dengan orang lain, karena ada beberapa persoalan ataupun
kesulitan antar pribadi yang dihadapi oleh orang-orang tersebut.
9.3.
Opinion Leader yang Kredibel
Dalam
tataran konseptual kredibilitas adalah seperangkat persepsi tentang
sifat-sifat komunikan. Dalam definisi ini terkandung dua hal yakni kredibilitas
adalah persepsi komunikan, jadi tidak inheren dalam diri komunikator dan yang
kedua adalah kredibilitas berkenaan dengan sifat-sifat komunikator yang
selanjutnya akan disebut sebagai komponen-komponen kredibilitas. Setiap
komunikasi dilakukan oleh dua orang atau lebih yang saling memiliki kebutuhan
dan ketergantungan. Menurut Farace dalam Giles,
H. and Wiemann, J. M. (1987). individu
yang butuh terhadap informasi akan mencarinya untuk mengurangi ketidakpastian.
Mereka akan memilih seseorang yang terpercaya untuk menginformasikan suatu
pesan. Oleh karena itu Farace mengatakan bahwa sumber daya paling penting dalam
sebuah komunikasi adalah informasi.
Dalam
beberapa penelitian terhadap deskrispsi tugas komunikator untuk membentuk
komunikasi yang efektif, ditemui 4 (empat) proses utama yang harus dijalankan,
antara lain :
1) Pengambil Keputusan
2) Mempengaruhi
3) Pertukaran Informasi
4) Membangun Hubungan
Aristoteles
menyebut karakter komunikasi ini sebagai ethos. Ethos terdiri dari pikiran
baik, akhlak yang baik dan maksud yang baik. Berangkat dari sinilah akhirnya
dapat dirumuskan bahwa indikator paling penting sebagai komunikator yang
kredibel adalah kepercayaan dan keahlian. Dari kepercayaan dan keahlian,
seorang opinion leader yang kredibel harus memiliki beberapa ciri yaitu
:
1) Tingkat energi tinggi dan toleransi terhadap tekanan
Penelitian
mengenai ciri menemukan bahwa tingkat energi, stamina fisik dan toleransi
terhadap tekanan berhubungan dengan efektivitas manajerial. Tingkat energi
tinggi dan toleransi terhadap tekanan membantu para opinion leader
menanggulangi tingkat kecepatan yang tinggi. Permasalahan pribadi serta
kelompok yang dihadapi kebanyakan membuat seorang pemimpin tertekan. Oleh
karena itu vitalitas fisik dan keuletan emosional membuatnya lebih mudah untuk
menanggulangi antar pribadi yang menekan.
Seorang opinion leader seringkali dipaksa
membuat keputusan penting tanpa informasi yang mencukupi serta kebutuhan untuk
memecahkan konflik peran dan memuaskan permintaan yang saling bertentangan oleh
berbagai pihak. Pemecahan masalah yang efektif meminta kemampuan untuk tetap tenang
dan tetap fokus pada masalah serta menjauhi rasa panik. Dengan begitu ia akan
memberikan pengarahan yang mantap dan pasti terhadap para anggota kelompok yang
lainnya.
2) Rasa percaya diri
Rasa percaya
diri berhubungan secara positif dengan efektivitas dan kemajuan diri sendiri.
Rasa percaya diri memudahkan efektivitas kepemimpinan. Tanpa adanya rasa
percaya diri yang kuat, seorang komunikator berkemungkinan lebih kecil untuk
membuat upaya mempengaruhi komunikan. Sebaliknya seorang komunikator yang memiliki
percaya tinggi yang kuat lebih berkemungkinan untuk memecahkan tugas dan
permasalahan yang rumit.
Percaya diri
berhubungan dengan pendekatan yang berorientasi tindakan untuk berhadapan
dengan masalah. Rasa optimis ketika menghadapi sebuah masalah akan terwujud
dengan komitmen dan kegigihan dalam menyelesaikannya.
3) Pusat kendali internal
Orang yang
memiliki pusat kendali internal yang kuat yakin bahwa peristiwa dalam hidup
mereka lebih banyak ditentukan oleh tindakan mereka sendiri dari pada oleh
kebetulan atau kekuatan yang tidak dapat dikendalikan. Sebaliknya, orang yang
memiliki orientasi kendali eksternal yang kuat yakin bahwa peristiwa kebanyakan
ditentukan oleh suatu kebetulan atau takdir dan mereka tidak dapat berbuat
apapun.
Orang yang
memiliki kendali internal memiliki perspektif maju ke depan sehingga
kemungkinan untuk membuat suatu rencana baru untuk kemajuannya jauh lebih besar
daripada orang dengan kendali eksternal. Mereka percaya dengan kemampuannya dan
dapat mempengaruhi orang lain dengan bujukan bukannya manipulasi.
4) Kestabilan dan kematangan emosional
Istilah
kematangan emosional dapat didefinisikan dengan kematangan seseorang dalam
aspek psikologis, dapat menyesuaikan diri dengan baik dan tidak menderita
kekacauan psikologis yang berat. Mereka cenderung memiliki kesadaran yang lebih
tepat mengenai kekuatan dan kelemahan mereka.
Orang dengan
kematangan emosi tidak terlalu egosentris (memikirkan diri sendiri dan lebih
memikirkan orang lain). Mereka tidak impulsif, lebih stabil dan memiliki
kendali terhadap dirinya sendiri. Mereka juga dapat menerima saran dari orang
lain dan bersifat lebih terbuka terhadap perubahan. Oleh karena mereka lebih
banyak mempunyai hubungan baik dengan orang lain dan wawasannya jauh lebih
luas.
5) Integritas pribadi
Integritas
adalah perilaku seseorang yang konsisten dengan nilai yang menyertainya.
Pribadi yang berintegritas tinggi memiliki sifat etis, jujur, menepati janji,
tanggung jawab, konsisten dan dapat dipercaya. Indikator-indikator tersebut
harus dimiliki oleh seorang opinion leader jika mereka berharap menjadi
seseorang yang kredibel di bidang kepemimpinan.
Para
komunikan akan langsung merubah sikap jika salah satu indikator tidak dipenuhi.
Orang tidak akan meneruskan informasi yang penting dan sensitif jika opinion
leadernya tidak dapat dipercaya. Seorang opinion leader yang berharap dapat
mengilhami orang lain untuk mendukung ideologi atau visi harus menjadi contoh
dalam perilakunya.
6) Motivasi kekuasaan
Seringkali
seseorang yang berharap akan kekuasaan yang tinggi cenderung senang untuk
mempengaruhi orang lain maupun peristiwa dan besar pula kemungkinannya untuk
mendapatkan posisi otoritas. Orang yang memiliki kebutuhan yang kuat akan
kekuasaan akan mencari posisi dan otoritas kekuasaan serta membiasakan diri
dengan organisasi atau politik.
Seseorang
akan memiliki emosional yang matang apabila ia memiliki orientasi terhadap
kekuasaan sosialisasi. Mereka akan menggunakan kekuasaan lebih banyak bagi
orang lain dan ragu untuk memanipulasi kekuasaan tersebut. Sifat-sifat yang
dimiliki oleh orang dengan motivasi tinggi adalah, tidak terlalu egoistis,
lebih defensif, tidak beorientasi mengumpulkan materi, memiliki jangkauan
pandang yang luas, bersedia menerima kritik, saran serta nasihat, dan mampu
menerima keahlian orang lain secara relevan.
9.4.
Fungsi Opinion Leader dalam Kelompok
Sebuah
kelompok adalah kumpulan dari beberapa individu yang memiliki tujuan sama untuk
membangun sebuah perubahan. Kelompok merupakan bagian kehidupan kita
sehari-hari. Ia tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia. Kelompok adalah
wadah untuk mewujudkan harapan dan keinginan barbagai informasi dalam hampir
semua aspek kehidupan.
Melihat
betapa pentingnya kelompok bagi individu, kelompok dikatakan sebagai media
pengungkapan persoalan-persoalan baik yang bersifat pribadi (keluarga sebagai
kelompok primer) maupun yang bersifat umum (kebutuhan pengetahuan semua anggota
kelompok). Setiap individu memilih kelompoknya masing-masing berdasarkan
ketertarikannya (interest) masing-masing. Orang yang memisahkan atau
mengisolasi diri dari orang lain adalah orang yang penyendiri, benci kepada
orang lain atau dapat dikatakan sebagai orang antisosial.
Semua
anggota di dalam kelompok memiliki tujuan yang sama sehingga mereka bersatu dan
membangun sebuah sinergi untuk mewujudkannya. Di dalam teori kepribadian
kelompok, sinergi dikatakan memiliki peran penting dalam sebuah pencapaian
cita-cita. Namun sinergi tidak hanya dihabiskan untuk mencapai tujuan saja
tetapi juga termasuk untuk menjaga hubungan antar anggota, baik pribadi maupun
umum.
Dalam sebuah
kelompok terdapat opinion leader
(komunikator) dan anggota (komunikan). Fungsi seorang komunikator dapat
dijabarkan dalam 8 (delapan) aspek menurut Burgoon, Heston dan McCroskey (1974). Kedelapan fungsi tersebut adalah:
1) Fungsi Inisiasi
Dalam fungsi
ini, seorang pemimpin harus dapat mengambil inisiatif (prakarsa) untuk gagasan
atau ide baru. Selain itu juga dapat memberikan pemahaman terhadap gagasan yang
kurang layak. Seorang opinion leader
mempunyai tanggung jawab atas masyarakat, oleh karena itu mereka harus berani
mengambil keputusan untuk mengambil atau menolak gagasan baik yang berasal dari
dirinya sendiri mapun orang lain.
2) Fungsi Keanggotaan
Seseorang
layak memberi sumbangsih terhadap sebuah kelompok jika ia benar-benar merupakan
anggota kelompok tersebut. Oleh karena itu seorang opinion leader harus dapat
melebur ke dalam kelompok agar dapat diterima oleh anggota yang lain. Peleburan
ini dapat dilakukan dengan banyak cara, misalnya mengikuti kegiatan rutin,
berpartisipasi dalam setiap kegiatan dan mengakrabkan diri di tengah-tengah
kelompok.
3) Fungsi Perwakilan
Sebuah
kelompok seringkali mendapat ancaman dari luar. Di sinilah fungsi seorang opinion leader untuk dapat menyelesaikan
masalah agar anggota kelompok menjadi tenang kembali dan melanjutkan
aktivitasnya seperti sedia kala. Opinion leader bertugas sebagai penengah jika
anggota kelompoknya bermasalah dengan kelompok yang lain.
4) Fungsi Organisasi
Tanggung
jawab terhadap hal-hal yang bersangkut paut dengan persoalan organisasional,
kelancaran roda organisasi dalam masyarakat dan deskripsi pembagian tugas ada
di tangan seorang opinion leader,
sehingga ia perlu memiliki keahlian dalam bidang mengelola organisasi dan
kelompok.
5) Fungsi Integrasi
Dalam fungsi
ini seorang opinion leader perlu
memiliki kemampuan untuk memecahkan ataupun mengelola dengan baik konflik yang
ada dan muncul di kelompoknya. Dengan kemampuan ini diharapkan seorang opinion
leader dapat menciptakan suasana yang kondusif untuk tercapainya penyelesaian
konflik dan dapat memberi kepuasan untuk semua pihak.
6) Fungsi Manajemen Informasi Internal
Seorang opinion leader harus dapat menjadi
penghubung atau sarana berlangsungnya komunikasi di dalam kelompok. Bagaimana perencanaan,
pelaksanaan serta pengevaluasian sebuah kegiatan harus dibicarakan dengan
keterbukaan. Untuk itulah diperlukan seorang pemimpin untuk menjadi penghubung
serta penengah jika ada kritik serta solusi untuk kegiatan tersebut.
7) Fungsi Penyaring Informasi
Untuk
kemajuan dan perkembangan sebuah kelompok, diperlukan banyak informasi serta
wawasan baru dari luar. Namun tidak semua informasi dapat diterima dan diadopsi
oleh suatu kelompok. Di sinilah seorang opinion leader bertindak sebagai
penyaring informasi baik yang masuk ataupun yang keluar. Hal ini bertujuan
untuk mengurangi konflik yang dapat timbul di dalam kelompok.
8) Fungsi Imbalan
Opinion leader melakukan fungsi evaluasi dan menyatakan setuju atau tidak terhadap
kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan oleh para anggotanya. Hal ini dilakukan
melalui imbalan-imbalan materi seperti pemberian hadiah atau pujian ataupun
sebuah penghargaan. Kekuatan reward ini terbukti sangat efektif untuk
meningkatkan mutu masyarakat.
9.5.
Cara
Mengukur dan Mengetahui Adanya Opinion
Leaders
Empat metode
utama untuk mengukur dan mengetahui adanya opinion leaders dan link jaringan
difusi :
1) Metode Sosiometrik
Dalam metode
ini, masyarakat ditanya kepada siapa mereka meminta nasihat atau mencari
informasi mengenai masalah kemasyarakatan yang dihadapinya. Misalnya masalah
itu mengenai difusi inovasi, kepada masyarakat diajukan pertanyaan: “dari mana
anda memperoleh informasi tentang difusi inovasi?” jadi orang yang paling
banyak mengetahui dan dimintai nasihat tenteng masalah tersebut dialah yang
disebut sebagai opinion leaders.
2) Informants Ratings
Metode ini
mengajukan pertanyaan tertentu kepada orang /responden yang dianggap sebagai key informants dalam masyarakat mengenai
siapa yang dianggap masyarakat sebagai pemimpin mereka. Jadi dalam hal ini
responden tersebut haruslah jeli dalam mimilih siapa yang benar-benar harus
memimpin dalam masyarakat tersebut. Dari segi kepribadian, pendidikan, serta
tindakan yang dilakukannya terhadap masyarakat tersebut.
3) Self-designating techniques
Metode ini
mengajukan pertanyaan kepada responden dan meminta tendensi orang lain untuk
menunjuk siapa yang mempunyai pengaruh. Misalnya : Apakah seseorang yang
memerlukan suatu informasi perlu meminta keterangan kepada ibu /bapak. Jika
jawabannya tidak maka hal tersebut belum menunjukkan siapa yang sering dimintai
keterangan. Hal ini sangat bergantung kepada ketepatan (akurasi) responden
untuk mengindentifikasi dirinya sebagai pemimpin.
4) Observasi
Metode
dimana penyidik mengidentifikasi dan mencatat perilaku komunikasi dalam suatu
sistem. Satu keuntungan dari observasi adalah bahwa data yang biasanya memiliki
tingkat validitas yang tinggi. Jika link jaringan secara tepat diamati, tidak
ada keraguan tentang apakah mereka ada atau tidak. Pengamatan bekerja lebih
baik di sistem yang sangat kecil, dimana pengamat sebenarnya bisa melihat dan
merekam interaksi interpersonal yang terjadi. Sayangnya, dalam pengamatan
sistem seperti kecil dapat menjadi teknik pengumpulan data sangat menonjol.
Karena anggota dari suatu sistem tahu mereka sedang diamati, mereka mungkin
bertindak berbeda. Selanjutnya, seorang pengamat mungkin harus sangat sabar
jika jaringan difusi perilaku yang dia inginkan untuk mengamati jarang terjadi.
9.6.
Kelompok Opinion Leaders
Opinion
leaders dikelompokkan menjadi dua, yaitu opinion leaders aktif dan opinion
leaders pasif, sbb :
1) Opinion leaders Aktif (Opinion Giving)
Disini para
opinion leaders tersebut sengaja mencari penerima atau followers untuk
mengumumkan atau mensosialisasikan suatu informasi.
2) Opinion leaders Pasif (Opinion Seeking)
Dalam hal
ini followers lebih aktif mencari sumber informasinya kepada opinion leaders.
9.7.
Monomorfik
dan Polimorfik Opinion Leadership
Ada opinion
leader yang all-purpose atau mampu bertindak selaku leader untuk segala macam
topik atau persoalan, dan ada opinion leaders yang lead hanya untuk satu topik
atau persoalan. Lazarfeld dan Merton (1957) menggunakan istilah Polymorphism untuk menunjukkan tingkat
ketika seseorang bertindak selaku opinion leaders bagi berbagai topik. Lawannya
adalah Monomorphism, dipakai untuk
menunjuk kecenderungan seorang individu untuk bertindak selaku opinion leaders
hanya untuk satu topik atau persoalan.
Monomorfik adalah
seorang pemuka pendapat hanya dapat menguasai satu pokok permasalah saja.
Artinya pemimpin ini hanya bisa memecahkan dan menyelesaikan satu pokok
permasalahan yang ada dalam masyarakat. Polimorfik
adalah seorang pemuka pendapat menguasai lebih dari satu pokok permasalahan
yang ada. Artinya pemimpin ini dapat memecahkan serta mengatasi berbagai macam
permasalahan yang ada dalam masyarakat.
Tingkat
pendapat kepemimpinan polimorfik dalam suatu sistem sosial tertentu tampaknya
bervariasi dengan faktor-faktor seperti keragaman topik yang kepemimpinan opini
ukur, apakah norma-norma sistem yang inovatif atau tidak, dan sebagainya.
10. Sistem Sosial
11.1 Pengertian
Sistem Sosial
Pada umumnya masyarakat mengartikan
sistem adalah suatu cara atau rangkaian kegiatan yang menyangkut teknis
melakukan sesuatu. Namun tidak demikian halnya di dalam kajian sosiologis.
Sosiologis melihat sistem merupakan suatu rangkaian berbagai unsur yang satu
sama lain berhubungan secara utuh tanpa dapat dipecah-pecahkan. Menurut Tatang dalam
Abdulsyani (1994) isitilah sistem berasal dari bahasa Yunani yaitu systema yang
mempunyai pengertian sebagai berikut:
·
Suatu
keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian.
·
Hubungan
yang berlangsung di antara satuan-satuan atau komponen secara teratur.
Abdulsyani (1994) mengatakan sistem
adalah himpunan dari bagian – bagian yang saling berkaitan, masing-masing
bagian bekerja sendiri dan bersama-sama saling mendukung; semuanya dimaksudkan
untuk mencapai tujuan bersama, dan terjadi pada lingkungan yang kompleks.
Untuk menelah hubungan antar manusia
dalam kehidupan bermasyarakat maka istilah yang digunakan adalah sistem sosial.
Menurut Abdulsyani (1994), sistem sosial merupakan konsep yang paling umum
dipakai dalam menjelaskan dan mempelajari hubungan manusia di dalam kelompok
atau dalam organisasi sosial. Dalam hal ini manusia sebagai anggota masyarakat
merupakan individu-individu yang saling bergantungan. lnteraksi antar individu
yang berkembang menurut standar penilaian dan kesepakatan bersama yaitu
berpedoman pada norma-norma sosial merupakan dasar dari terbentuknya sistem
sosial.
Hal ini sejalan dengan yang diajukan
Jhonson (1986) sistem sosial hanya salah satu dari sistem-sistem yang termasuk
dalam kenyataan sosial. Sistem-sistem sosial tersebut merupakan bentukan dari
tindakan-tindakan sosial individu.
Pada dasarnya suatu sistem sosial
menurut Nasikun (1993) tidak lain adalah suatu sistem daripada
tindakan-tindakan. la terbentuk dari interaksi sosial yang terjadi di antara
berbagai individu, tumbuh dan berkembang tidak secara kebetulan, melainkan
tumbuh dan berkembang di atas standar penilaiaan umum masyarakat. Sistem Sosial
adalah sistem bermasyarakat itu sendiri. Menurut pandangan ilmu sosial,
struktur sosial merupakan suatu sistem pengharapan-pengharapan yang berpola
dari prilaku individu-individu yang menempati status-status tertentu dalam
sistem sosial. Selama sekelompok peran tersebut penting secara strategi bagi
sistem sosial, kompleks pola-pola yang mendefenisikan perilaku yang diharapkan di
dalam peran-peran itu bisa disebut sebagai suatu lembaga. Struktur-struktur
kelembagaan dalam pengertian ini merupakan unsur fundamental dari stuktur
sistem sosial.
11.2 Fungsi Sistem Sosial di Dalam
Masyarakat
Sistem sosial pada dasarnya memiliki kecenderungan
untuk mencapai stabilitas. Karena sistem sosial menurut Nasikun (1993) memang
sering kali mampu melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap
perubahan-perubahan yang datang dari luar, baik dengan cara tetap memelihara
status quo maupun dengan cara melakukan bersifat reaksioner.
Dengan demikian fungsi dari setiap
sistem sosial menurut Hamilton (1990) ada empat yaitu:
1) Fungsi
Pemeliharaan Pola
Fungsi Pemeliharaan Pola mengacu pada
keharusan mempertahankan stabilitas pola-pola budaya terlembaga yang
mendefenisikan struktur dari sistem tersebut. Dalam hal ini fungsi esensial
adalah pemeliharaan, pada tingkat kultural, dan stabilitas nilai-nilai terlembaga
melalui proses-proses yang mengartikulasikan nilai-nilai dengan sistem
kepercayaan, yaitu keyakinan-keyakinan agama, idiologi, dan semacamnya. Selain
itu adanya fungsi kendali yang menyangkut motivasi komitmen individual.
2)
Fungsi Pencapaian Tujuan
Fokus dari orientasi tujuannya
terletak dalam hubungannya sebagai suatu sistem terhadap
kepribadian-kepribadian dari individu-individu peserta. Karena itu ia
menyangkut bukannya komitmen kepada nilai-nilai masyarakat, tetapi motivasi
untuk menyumbang apa yang perlu bagi berfungsinya sistem :
"Sumbangan-sumbangan" ini berbeda menurut kedaruratannya.
3)
Fungsi Adaptasi
Fungsi Adaptasi ini merupakan suatu
tindakan penyesuaiaan dari sistem terhadap "tuntutan kenyataan" yang
keras yang tidak dapat diubah 'yang datang dari lingkungan'.
4) Fungsi
Integrasi
5) Dari keseluruhan fungsi integrasi
adalah fokus dari sifat-sifat dan proses-proses yang paling menonjol.
Pentingnya integrasi mengisyaratkan bahwa semua sistem, kecuali dalam kasus
tertentu, itu didefenisikan dan dipecah-pecah menjadi unit-unit yang relatif
independen, yaitu harus diperlakukan sebagai sistem- sistem lain, yang dalam
hal ini subsistem-subsistem lain dari sistem sama yang lebih luas. Dalam suatu
masyarakat yang sangat terdeferensial, fokus primer dari fungsi integrasi
didapati dalam sistem norma-norma legalnya dan pelaku-pelaku yang berhubungan
dengan manajemennya, terutama pengadilan dan profesi hukum.
11.3
Persyaratan
Fungsional Suatu Sistem Sosial
Secara umum unsur-unsur dari sistem
sosial adalah terdiri dari status, peranan dan perbedaan sosial; akan tetapi
sesungguhnya secara lebih luas, sesungguhnya banyak sekali komponen yang
terkandung dalam pengertian sistem sosial itu. Menurut Bertrand (1980), ada
sepuluh unsur yang terkandung dalam sistem sosial, sebagai berikut :
1) Keyakinan (pengetahuan)
Keyakinan
mempakan unsur sosial yang dianggap sebagai pedoman dalam melakukan penerimaan
suatu pengetahuan dalam kehidupan kelompok sosial dalam masyarakat. Keyakinan
ini secara praktis biasanya digunakan dalam kelompok masyarakat yang masih
tergolong terbelakang segi pengetahuannya, sehingga dalam menilai suatu
kebenaran dirumuskan melalui keyakinan bersama. Misalnya, dalam menilai
berbahaya atau tidak dalam menerima anggota baru pada suatu kelompok atau
organisasi sosial, dinilai berdasarkan kekuatan keyakinan.
2)
Perasaan
(Sentimen)
Perasaan
menurut Alvin, menunjuk pada bagaimana perasaan pada anggota suatu sistem
sosial (anggota kelompok) tentang hal-hal, peristiwa-peristiwa serta
tempat-tempat tertentu. Unsur perasaan sangat membangun dalam rangka menjelaskan
pola-pola tingkah laku yang tidak dapat dijelaskan melalui cara-cara lain.
Suatu keberhasilan suatu sistem juga tergantung bagaimana perasaan para
anggotannya secara umum. Jika di dalam suatu sistem terdapat banyak anggota
saling menaruh perasaan dendam, benci dan iri antara satu sama lainnnya, maka
bisa diketahui bahwa hubungan kerjasamanya tidak akan berhasil dengan baik.
3)
Tujuan,
sasaran, atau cita-cita
Cita-cita,
tujuan atau sasaran, di dalam suatu sistem sosial merupakan pedoman bertindak
agar program kerja yang telah ditetapkan dan disepakati bersama dapat tercapai
secara efektif
4)
Norma
Norma-norma
sosial, menurut Alvin; dapat dikatakan sebagai patokan tingkah laku yang
diwajibkan atau dibenarkan di dalam situasi-situasi tertentu. Unsur norma ini merupakan
komponen sistem sosial yang dapat dianggap paling kritis untuk memahami serta
meramalkan aksi atau tindakan manusia. Norma-norma menggambarkan tata tertib
atau aturan-aturan permainan yang dapat memberikan petunjuk tentang standar
untuk bertingkah laku dan di dalam menilai tingkah laku. Contohnya, tentang
kejujuran, tata tertib suatu permainan, tata tertib hukum, dan sebagainya.
Alvin kemudian menggambarkan bahwa dengan berpegang pada norma, sebenarnya
dimaksudkan sebagai landasan untuk dapat menilai tingkah laku individu dan juga
kelompok. Apabila tingkah laku seseorang dipandang wajar dan sesuai dengan
norma-norma yang berlaku dalam kelompoknya, maka interaksi dalam kelompok
tersebut akan berlangsung dengan wajar sesuai dengan ketetapan-ketetapan
persama.
5)
Status
dan peranan
Dengan
status, seseorang dapat menentukan sifat dan tingkatan kewajiban serta tanggung
jawab di dalam suatu kelompok masyarakat; di samping juga menentukan hubungan
antara atasan dan bawahan terhadap anggota lain dalam kelompok masyarakat.
Menurut Alvin; status merupakan serangkaian tanggung jawab, kewajiban serta
hak-hak yang sudah ditentukan dalam suatu masyarakat. Sedangkan pola tingkah
laku yang diharapkan dari orang-orang pemangku suatu status; dinamakan peranan.
Peranan-peranan sosial saling berpadu sedemikian rupa, sehingga saling tunjang
menunjang secara timbal balik di dalam hal yang menyangkut tugas, hak dan
kewajiban. Oleh karena itu suatu penampilan peranan status (status-role
performance) adalah proses penunjukan atau dari status dan peranan sebagai
unsur stuktural di dalam sistem sosial.
6)
Tingkatan
atau pangkat (rank)
Tingkatan
atau pangkat merupakan unsur sistem sosial yang berfungsi menilai
perilaku-perilaku anggota kelompok, Sebaliknya suatu proses penilaian terhadap
perilaku-perlaku anggota kelompok, dimaksudkan untuk memberikan kepangkatan
(status) tertentu yang dianggap sesuai dengan prestasi-prestasi yang telah
dicapai. Orang yang dianggap berhasil dalam melaksanakan tugasnya, bisa
dinaikkan pangkatnya (status) ke jenjang yang lebih tinggi. Begitu seterusnya
sehingga berbagai aktivitas nampak saling bergantungan sehingga dengan demikian
dapat dikategorikan sebagai sistem sosial.
7)
Kekuasaan
atau pengaruh (power)
Istilah
kekuasaan menunjuk pada kapasitas penguasaan seseorang terhadap anggota-anggota
kelompok atau organisasi. Kekuasaan seseorang dalam mengawasi anggota kelompok
biasanya dapat dilihat dari status yang dimiliki. Pengaruhnya sangat besar
dalam pengambilan suatu keputusan biasanya pemegang kekuasaan mempunyai
wewenang dan kemampuan untuk mempengaruhi para anggota kelompoknya. Dalam
analisis sistem sosial suatu kekuasaan merupakan patokan bagi para anggota
suatu kelompok atau organisasi dalam menerima berbagai perintah dan tugas.
8)
Sanksi
Sanksi
merupakan ancaman hukum yang biasanya ditetapkan oleh masyarakat terhadap
anggota-anggotanya yang dianggap melanggar norma-norma sosial kemasyarakatan.
Penerapan sanksi oleh masyarakat ditujukan agar pelanggarnya dapat mengubah
perilakunya ke arab yang lebih baik sesuai dengan norma-norma sosial yang
berlaku.
9)
Sarana
atau fasilitas
Secara
umum sarana dirnaksudkan sebagai cara yang digunakan untuk mencapai tujuan dari
sistem sosial. Yang paling penting dari unsur sarana adalah terletak dari
kegunaannya bagi suatu sistern sosial. Dalam analisis sistem sosial pada
prinsipnya mengutamakan fungsi dari suatu sarana agar dapat dimanfaatkan
semaksimal mungkin, betapapun sederhananya sarana tersebut.
10) Tekanan Ketegangan (Stress-strain)
Di
dalam sistem sosial senantiasa terjadi ketegangan, sebab dalam kehidupan
masyarakat tidak ada satupun anggotanya yang mempunyai perasaan dan
interprestasi sama terhadap kegiatan dan masalah yang sedang dihadapi bersama.
ltulah sebabnya, maka suatu ketegangan hubungan antar anggota kelompok
masyarakat pada batas waktu tertentu dapat terjadi. Ketegangan erat kaitannya
dengan taraf kekangan yang diterirna oleh seseorang individu dari individu lain
atau kelompok. Ketegangan itu terjadi oleh karena adanya konflik peranan
sebagai akibat dari proses sosial yang tidak merata. Jika dalam suatu sistem
sosial dapat tumbuh dan berkembang dengan langgeng, itu karena tingkat
toleransi diantara anggotanya relatif.
Fakta sosial menunjukkan adanya
dinamika suatu hubungan sosial mencerminkan orientasi timbal balik antara dua
atau lebih. Hubungan ini dapat bertahan bergantung pada keberhasilan mereka
dalam hal ini dapat dilihat dari sisi perbandingan reward dan cost. Selain
kebutuhan individu yang terpenuhi melalui interaksi, ada juga persyaratan
tambahan yang harus dipenuhi agar hubungan dapat berlangsung lama.
Semua sistem sosial menurut Johnson
(1986) dari hubungan duaan yang paling sederhana sampai masyarakat yang
kompleks harus memenuhi persyaratan minimal tertentu kalau mau tetap bertahan
hidup atau mempertahankan identitasnya serta struktur sebagai sistem yang terus
bergerak. Dalam konteks inilah menurut Parons dalam Johnson, (1986) kerangka
A-G-I-L adalah persyaratan suatu sistem sosial agar fungsional yaitu:
a) A. Adaption
menunjukkan bahwa keharusan bagi sistem-sistem sosial untuk menghadapi
lingkungannya. Ada dua dimensi yang dapat diperhatikan: pertama, harus ada
“suatu penyesuaian dari sistem itu terhadap tuntutan kenyataan yang keras yang
tidak dapat diubah yang datang dari lingkungan. Kedua, ada proses:
“transformasi aktif dari situasi itu” ini meliputi penggunaan segi-segi situasi
itu yang dapat dimanipulasi sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan.
b) G. Goal
Attainment, merupakan persyarataan fungsional bahwa tindakan itu diarahkan
pada tujuan-tujuannya. Dalam hal ini adalah tujuan bersama para anggota dalam
suatu sistem sosial. Dengan demikian tujuan ini harus meliputi pengambilan
keputusan yang berhubungan dengan prioritas dari sekian banyak tujuan.
c) I. Integration,
merupakan persyaratan yang berhubungan dengan interaksi antara para anggota
dalam sistem sosial. Masalah integrasi menunjuk pada kebutuhan untuk menjamin
bahwa ikatan emosional yang cukup menghasilkan solidaritas dan kerelaan untuk
bekerja sama dikembangkan daan dipertahankan.
d) L. Latent
Patern Maintenance, para anggota dalam sistem sosial apa saja bisa letih
dan jenuh serta tunduk pada sistem sosial harus berjaga-jaga bilamana sistem
itu sewaktu-waktu kocar-kacir dan para anggotanya tidak lagi bertindak atau
berinteraksi sebgai anggota sistem. Dalam beberapa hal, mekanisme tertentu
dapat dikembangkan untuk membantu memulihkan dorongan motivasional dan untuk
membaharui atau memperkuat komitmen terhadap pola-pola budayanya.
11.4 Masyarakat Sebagai Suatu Sistem Sosial
Pada umumnya pemakaian istilah sistem
didalam kehidupan bermasyarakat merupakan suatu pengertian adanya suatu
rangkain atau saling ketergantungan baik sebagai kegiatan maupun sarana
kegiatan. Sebagai contoh sistem transportasi atau sistem pengajaran. Pemakaian
istilah ini dapat kita lihat hampir melanda semua kehidupan baik di tingkat
masyarakat awam maupun didalam semua kehidupan akademis. Hal ini dapat terjadi
karena istilah sistem dipahami sebagai suatu rangkaian yang saling berhubungan,
sehingga semua bentuk yang menyerupai rangkaian disamaratakan untuk semua
kepentingan.
Menurut Singgih (1999) secara
teoritis, ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan istilah sistem.
Pertama: menggunakan sistem untuk menunjuk suatu kesatuan
dari berbagai bagian yang terpisah.
Kedua : menggunakan istilah sistem untuk menunjuk suatu
metode untuk menganalisis suatu persoalan tertentu.
Bila ditinjau dari sudut sosiologi,
maka menurut Alex Inkeles (Sunarto: 1985) sistem sosial, adalah masyarakat
yaitu kelompok yang merupakan satuan terbesar. Bagi sosiologi, sistem sosial
inilah yang selalu menarik untuk diteliti. Namun demikian kelompok yang disebut
dengan masyarakat harus memenuhi 4 kriteria yaitu :
Kelompok tersebut harus mampu berada lebih lama daripada
masa hidup seorang individu, kelompok tersebut harus merekrut anggota-anggota
barunya, kelompok tersebut harus bersatu dalam memberikan kesetiaannya,
kriteria yang terakhir adalah "sistem tindakan yang biasanya diwujudkan
oleh suatu kelompok yang mempunyai hubungan sosial timbal balik yang relatif
langgeng.
Simmel dalam Soekanto (1983) berpendapat,
bahwa masyarakat dapat ditafsirkan dari pelbagai sudut, dalam hal ini Comte
melihat suatu masyarakat merupakan hubungan sistematis antara lembaga-lembaga, kesopanan
sosial dengan cita-cita, yang kesemuanya merupakan kesatuan dari proses fisik,
moral dan intelektual.
Lauer (1989) melihat sistem sosial
dalam adalah dua unit atau lebih yang berinteraksi. Unit-unit itu mungkin
berupa aspek psikologis manusia, para individu selaku keseluruhan atau aspek
psikologis kelompok. Dalam hal ini pengertian Lauer (1986) unit terkecil sistem
sosial tersebut adalah "peranan" sedangkan berbagai pengelompokkan
individu dapat membentuk unit-unit "bertaraf lebih tinggi" lagi. Masyarakat
ini tersusun berdasarkan hakekat manusia. Sehingga bilamana manusia berubah
maka masyarakat juga berubah.
Pareto dalam Soekanto (1983), melihat
masyarakat merupakan suatu sistem yang rumit yang menyangkut perkembangan
perilaku secara berurut. Dimana pusat dari unsur-unsur tersebut adalah manusia
pribadi yang dapat mendorong terjadinya perkembangan perilaku secara berurut.
Dalam hal ini, masyarakat menurut Soerjono Soekanto (1983), tidak dapat berbuat
banyak untuk merubah atau membatasi perasaan pribadi setiap manusia tetapi
hanya dapat mengubah perhatiannya seperti melalui ajaran agama, ideologi.
Perasaan yang ada di dalam setiap
individu ini merupakan suatu dasar bagi terbentuknya kelompok. Dimana manusia
ingin menunjukkan eksisitensi dirinya dapat diaplikasikan di dalam kelompoknya.
Perasaan ini juga dapat menjadi satu karakter nasional, atau karakter suatu
bangsa.
Namun dengan adanya pola interaksi
dalam sistem sosial bersifat nonnatif. Artinya, pola interaksi itu secara
kultural ditetapkan sebagai pola yang tepat dan benar (atau tidak tepat dan
keliru), batas-batas sebuah sistem dipertahankan sejauh sistem itu tetap
terintegrasi melalui nilai-nilai bersama. Oleh karena itu individu di dalam
kehidupan sehari-hari akhirnya tidak dapat melepaskan dirinya dari norma-nonna
yang ada di masyarakat. Dimana individu sejak lahir harus belajar aturan yang
ada di dalam masyarakat.
Namun demikian melalui sejenis sistem
sosial yang khusus dimana sekelompok individu yang berinteraksi, masing-masing
individu mencoba mendapat kepuasan dirinya secara maksimum dalam suasana budaya
tertentu. Sebab tidak dapat diingkari bahwa setiap individu selalu ingin
mencari kesenangan maupun kepuasan dirinya. Seringkali di dalam kehidupannya
individu sebagai anggota masyarakat selalu menghindari hal-hal yang tidak menyenangkan.
Pada dasarnya, setiap individu di
dalam sistem sosial tertentu, berusaha mengejar kebahagiaan dengan alat yang
tersedia untuk mencapainya, serta berbeda anara budaya yang satu dan budaya
lain. Hal ini sejalan dengan yang diutarakan oleh Parsons sendiri sistem sosial
antara lain :
Para aktor individual yang saling berinteraksi didalam
suatu situasi yang sekurang-kurangnya mempunyai aspek lingkungan fisik atau
lingkungan psikis, yang terdorong ke arah kecenderungan untuk mengoptimalkan kebahagiaan,
dan antar hubungan mereka diterap dan diatur menurut sistem yang teratur secara
kultural serta mempunyai simbol-simbol bersama.
Dengan demikian sistem dapat
didefenisikan menurut unit-unitnya, pola-polanya dan batas-batasnya Menurut
Pareto dalam Veeger (1985), Sistem Sosial atau masyrakat yang ditegakkan oleh
individu-individu senantiasa mengarah kepada keseimbangan, yaitu pemeliharaan
keseimbangan atau pernulihan keseimbangan setelah terjadi pergolakan. lndividu
-individu saling mempengaruhi agar suatu ekuilibrium (keseimbangan) tercapai.
Dalam diri mereka ada perasaan-perasaan otomatis yang mengikuti pola interaksi
dalam sistem sosial bersifat normatif. Artinya, pola interaksi itu secara
kultural ditetapkan sebagai pola yang tepat dan benar (atau tidak tepat dan
keliru). Batas -batas sebuah sistem dipertahankan sejauh sistem itu tetap
terintegrasi melalui nilai-nilai bersama. aktif menentang setiap hal yang mengancam
atau mengganggu kestabilan.
Parson (Veeger : 1985) melihat invidu
yang berinteraksi sebetulnya tidak memutuskan alternatif yang dipakainya.
Masyarakatlah atau kebudayaan setempat telah memilih untuk dia dan telah
melembagakan salah satu alternatif yang menentukan corak interaksi.
Kategori tersebut menurut Parsons (Veeger
: 1985) adalah sebagai berikut:
a) Perasaan (affectivity) atau
netral perasaan (affective neutrality).
Tiap-tiap pelaku dalam proses
interaksi harus menentukan apakah ia harus bertindak atas cara impulsif yang
langsung menyenangkan, atau atas cara menahan diri dan menurut prinsip dengan
tidak mengindahkan soal senang tidaknya, gampang tidaknya, dan sebagainya.
Tiap-tiap situasi memberi kesempatan kepada orang untuk berkompromi dengan
kewajibannya agar dapat menambah kenikmatan dan mengurangi bebannya. Namun
demikian sistem sosial menentukan kapan dan dalam situasi manakah orang
diperbolehkan mengikuti perasaan spontan mereka, dan kapan serta dalam situasi
manakan perasaan itu perlu ditekan.
b) Arab diri atau arab kolektivitas.
Dengan adanya arab diri atau arab
kelompok ini si pelaku harus memilih antara bertindak demi kepentingan pribadi
diri atau demi kepentingan umum.
c) Partikularisme
Versus Universalisme.
Hal ini menyangkut soal apakah
seseorang hams bertindak atas dasar prinsip-prinsip umum yang berlaku tanpa
pilih kasih, atau atas dasar relasi-relasi khusus (partikuler) dengan beberapa
orang tertentu. Kedua variabel ini mempertentangkan dua macam kesusilaan
(moral), yaitu kesusilaan yang berpegang pada prinsip dan kesusilaan yang
berpegang pada kesetiakawanan.
d) Status bawaan atau status perolehan
sendiri.
Kedua variabel ini penting dan perlu
juga dalam menentukan corak relasi antara Ego dan Alter. Kebudayaan setempat
menetapkan aspek. Aspek manakah dalam diri orang lain, yang perlu
dipertimbangkan oleh Ego sebelum bertindak.
e) Campur Baur atau tertentu.
Pada akhirnya sipelaku dalam proses
interaksi menghadapi dilema apakah ia harus menghubungi alter dalam fungsinya
atau peranannya yang khusus.
11. Struktur Sosial
11.1 Pengertian
Struktur Sosial
Struktur
sosial berasal dari kata structum yang berarti menyusun, membangun untuk sebuah
gedung dan lebih umum dipakai istilah konstruksi yang berari kerangka. Kata
konstruksi memang tidak lazim untuk bangunan masyarakat, sebagai istilah ilmiah
dipakai kata struktur sosial.
Pengertian
struktur sosial menurut pendapat para ahli.
-
Soerjono
Soekanto (1983) : struktur sosial diartikan sebagai hubungan timbal balik
antara posisi-posisi sosial dan peranan-peranan sosial.
-
Raymond
Flirth (1966): pergaulan hidup manusia meliputi berbagai tipe kelompok yang
terjadi dari banyak orang dan meliputi pula lembaga-lembaga di mana orang
banyak tersebut ambil bagian.
-
Peter
M Blau (1977) : struktur sosial adalah penyebaran secara kuantatif warga
komunitas di dalam berbagai posisi sosial yang berbeda yang mempengaruhi
hubungan diantara mereka. Karakteristik dari struktur sosial adalah adanya
ketidak kesamaan atau keragaman antar bagian atau konsulidasi yang timbul dalam
kehidupan bersama sehingga mempengaruhi derajad hubungan antar bagian tersebut
yang berupa dominasi, ekslpoitasi,konflik,persaingan dan kerjasama. Basis
parameter struktur sosial ada dua yaitu : a. Nominal dimana pembagian komunitas
dalam sub-sub bagian yang cukup jelas seperti agama, ras, jenis kelamin, marga,
tempat tinggal, afiliasi politik, bahasa, nasionalitas dan sebagainya. Kalau dicermati
pembagian ini bersifat horisontal dalam berbagai golongan. b. Gradual ,
parameter ini mempunyai kecenderungan membagi komunitas atas dasar peringkat
status yang menciptakan perbedaan kelas seperti pendidikan, pekerjaan,
pendapatan, kekayaan, prestise, kekuasaan, intelegensia, kewibawaan dan sebagainya.
Sehingga pembagianya secara vertikal, yang akan melahirkan berbagai lapisan.
Interaksi antar bagian dalam kehidupan bersama dapat erjadi antar kelompok ,
baik atas dasar parameter nominal maupun gradual, bahkan tidak hanya internal
tetapi eksternal.
-
Bronislow
Malinowski (1944) menerapkan teori fungsional yang salah satu hasilnya adalah
manusia pada hakekatnya untuk memenuhi kebutuhan itu secara individual, tetapi
melalui kehidupan bersama (sosial) yang terorganisir atau tertata dalam
hukum-hukum atau nilai-nilai tertentu.sehingga tujuan akhir dari kehidupan
bersama adalah kesepakatan . Kesepakatan bersama tercapai atas dasar nilai-nilai
umum yang berlaku yang disebut charter
yang diartikan sebagai suatu sistem yang terorganisir tentang aktivitas
sosial yang penuh tujuan (didasarkan nilai umum dan tujuan bersama). Sistem nilai
dan tujuan bersama ini dapat diartikulasikan sebagai norma Prinsip-prinsip
integrasi akan tercermin dalam institusi bersama dan inilah basic needs manusia.
Prinsip-prinsip integrasi merupakan bagian dari basic needs itu sendiri.
Sementara itu responnya adalah kebudayaan yang diwujudkan dalam institusi sosial.
Kebudayaan sebagai respon dari basic needs dapat diindikasikan sebagai
instrumen untuk mencapai tujuan, sehingga memuaskan basic needs tersebut.
-
Radcliffe
Brown (1968) dengan pendekatan komparasi untuk memperoleh pemahaman tentang
keseluruhan komunitas.Dan yang dikompromikan adalah struktur keseluruhan
komunitas dan bukan bagian-bagian.Brown mengadopsi apa yang telah dikerjakan
Emil Durkheim sebelum berubah ke pendekatan analisis struktural Fungsionalisme
bagi Brown untuk membentuk suatu struktur sosial dalam konteks masa kini (tanpa
menggunakan fakta historis karena dianggap tidak terlalu berguna). Hal yang
ditekankan adalah proses adaptasi yang terjadi dalam masyarakat yang diteliti
itu sendiri. Hal ini berarti berbeda dengan Malinowski.
-
Anthony
Gidden dalam Bagong Suyanto dan Dwi Narwoko (2004) membahas strukturasi adalah proses
dialektika dimana apa yang dilakukan individu adalah juga yang mereka bangun.
Sehingga struktur adalah sumber daya yang bisa memberdayakan sekaligus
membatasi masyarakat.
-
Menurut
Sofa (2008), Struktur sosial budaya dalam ruang lingkup sebagai berikut :
a) Struktur sosial: pola perilaku dari
setiap individu masyarakat yang tersusun sebagai suatu sistem
b) Masyarakat merupakan suatu sistem
sosial budaya terdiri dari sejumlah orang yang berhubungan secara timbal balik
melalui budaya tertentu.
c) Setiap individu mempunyai ciri dan
kemampuan sendiri, perbedaan ini yang menyebabkan timbulnya perbedaan sosial.
d) Perbedaan sosial bersifat universal,
ini berarti perbedaan sosial dimiliki setiap masyarakat dimanapun.
e) Perbedaan dalam masyarakat seringkali
menunjukkan lapisan-lapisan yang bertingkat.
f) Lapisan yang bertingkat dalam
masyarakat disebut Stratifikasi sosial
g) Ukuran yang digunakan untuk
menggolongkan penduduk dalam lapisan-lapisan tertentu yaitu:
a.
Ukuran
kekayaan (kaya miskin, tuan tanah penyewa)
b.
Ukuran
kekuasaan (penguasa/ dikuasai) penguasa punya wewenang lebih tinggi
c.
Ukuran
kehormatan (berpengaruh/terpengaruh) ukuran ini ada di masyarakat
tradisional(pemimpin informal)
d.
Prinsip-prinsip
integrasi ukuran ilmu pengetahuan (golongan cendekiawan/ rakyat awam).
Dari
definisi tersebut diatas disimpulkan bahwa struktur sosial merupakan tatanan
sosial dalam kehidupan masyarakat, yang di dalamnya terkandung hubungan timbal
balik antara status dan peranan yang mengacu pada suatu keteraturan perilaku di
dalam masyarakat
Dalam hal ini
struktur sosial dapat horizontal maupun vertikal susunannnya. Contoh struktur
sosial yang Horizontal adalah kelompok pria dan kelompok wanita, atau kelompok
orang beragama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Konghucu. Cirinya
masing-masing dalam kelompok tersebut tidak bertingkat, artinya di masyarakat
kedudukannya sama. Sedangkan contoh Struktur sosial yang vertikal adalah
kelompok orang kaya dan kelompok orang miskin, hal ini jelas menunjukkan
kedudukan yang berbeda dalam masyarakat. Orang kaya berada di tempat yang lebih
tinggi daripada orang miskin.
11.2 Unsur,
Ciri dan Fungsi Struktur
Sosial
Struktur sosial muncul karena adanya dua unsur berikut
yaitu :
a) Individu, dalam hal ini individu adalah sebagai
pembentuk masyarakat sekaligus pembentuk struktur sosial, Jika tidak ada
individu-individu maka tidak mungkin ada masyarakat
b) Interaksi, interaksi antar individu dalam masyarakat
akan membentuk struktur sosial, tanpa adanya interaksi maka struktur sosial
tidak mungkin terbentuk
Ciri-ciri struktur sosial secara umum:
a) Bersifat
abstrak, artinya tidak dapat dilihat dan tidak dapat diraba. Struktur sosial
disini merupakan hierarki kedudukan dari tingkatan yang tertinggi sampai yang
terendah, berfungsi sebagai saluran kekuasaan dan pengaturan pemenuhan
kebutuhan masyarakat secara menyeluruh.
b) Terdapat
dimensi vertikal dan horizontal, struktur sosial pada dimensi vertikal adalah
hierarki status-status sosial dengan segala peranannya sehingga menjadi satu
sistem yang tidak dapat dipisahkan dari struktur status yang tertinggi hingga
struktur status yang terendah. Sedangkan pada struktur sosial yang memiliki
dimensi harizontal, seluruh masyarakat berdasarkan karakteristiknya
terbagi-bagi dalam kelompok-kelompok sosial yang memiliki karakter sama.
c) Sebagai
landasan sebuah proses sosial suatu masyarakat, artinya proses sosial yang
terjadi dalam suatu struktur sosial termasuk cepat lambatnya proses itu sendiri
sangat dipengaruhi oleh bagaimana bentuk struktur sosialnya.
d) Merupakan
bagian dari sistem pengaturan tata kelakuan dan pola hubungan masyarakat,
artinya struktur sosial yang dimiliki suatu masyarakat berfungsi untuk mengatur
berbagai bentuk hubungan antarindividu di dalam masyarakat tersebut.
e) Struktur
sosial selalu berkembang dan dapat berubah, struktur sosial merupakan tahapan
perubahan dan perkembangan masyarakat yang mengandung dua pengertian, yaitu
dalam struktur sosial terdapat peranan yang bersifat empiris dalam proses
perubahan dan perkembangan, serta dalam setiap perubahan dan perkembangan
tersebut terdapat tahap perhentian stabilitas, keteraturan, dan integrasi
sosial yang berkesinambungan, sebelum terancam proses ketidakpuasan dalam tubuh
masyarakat. Pada ciri yang kelima ini dalam sosiologi sering digunakan untuk
melukiskan keteraturan sosial atau keteraturan elemen-elemen dalam kehidupan
masyarakat.
Fungsi
Struktur Sosial ada 3 yaitu :
a) Fungsi identitas, yaitu sebagai penegas identitas yang
dimiliki suatu kelompok
b) Fungsi kontrol yaitu untuk mengontrol individu yang
berada dalam struktur sosial tertentu
c) Fungsi pembelajaran, yaitu dengan adanya struktur
sosial individu dapat belajar melalui interaksi yang terjadi di dalamnya
11.3Bentuk Masyarakat berdasarkan
ciri-ciri struktur sosial
Berikut
ini adalah tiga bentuk masyarakat berdasarkan ciri-ciri struktur sosial dan
budayanya seperti yang dikemukukan oleh Selo Soermardjan
a. Masyarakat
sederhana, ciri-ciri struktur sosial dan budaya pada masyarakat sederhana
adalah sebagai berikut:
1) Ikatan
keluarga dan masyarakatnya sangat kuat.
2) Organisasi
sosial berdasarkan tradisi turun-temurun.
3) Memiliki
kepercayaan yang kuat terhadap kekuatan gaib.
4) Tidak
memiliki lembaga-lembaga khusus, seperti lembaga pendidikan.
5) Hukum
yang berlaku tidak tertulis.
6) Sebagain
besar produksi hanya untuk keperluan keluarga sendiri atau untuk pasaran dalam
skala kecil.
7) Kegiatan
ekonomi dan sosial dilakukan secara gotong royong.
b. Masyarakata
madya, ciri-ciri struktur sosial dan budaya pada masyarakat madya adalah sebagai
berikut:
1) Ikatan
keluarga masih kuat, tetapi hubungan dengan masyarakat setempat sudah
mengendor.
2) Adat
istiadat masih dihormati, tetapi mulai terbuka dengan pengaruh luar.
3) Timbulnya
rasionalitas dalam cara berpikir sehingga kepercayaan-kepercayaan pada
kekuasaan kekuatan gaib baru timbul apabila orang mulai kehabisan akal untuk
menanggulangi suatu masalah.
4) Timbulnya
lembaga-lembaga pendidikan formal sampai tingkat lanjutan.
5) Hukum
tertulis mulai mendampingi hukum tidak tertulis.
6) Memberi
kesempatan pada produksi pasar sehingga muncul diferensiasi dalam struktur
masyarakat.
7) Gotong
royong hanya untuk keperluan di kalangan tetangga dan kerabat, sedangkan
kegiatam ekonomi dilakukan atas dasar uang.
c. Masyarakat
modern, ciri-ciri struktur sosial dan budaya masyarakat modern adalah sbegaia
berikut ini:
1) Hubungan
sosial didasarkan atas kepentingan pribadi.
2) Hubungan
dengan masyarakat lainnya sudah terbuka dan saling mempengaruhi.
3) Kepercayaan
terhadap ilmu kengatahuan dan teknologi sangat kuat.
4) Terdapat
stratifikasi sosial atas dasar keahlian.
5) Tingkat
pendidikan formal tinggi.
6) Hukum
yang berlaku sudah hukum tertulis.
7) Ekonomi
hampir seluruhnya merupakan ekonomi pasar yang didasarkan atas penggunaan uang
dan alat pembayaran lain.
11.4Stratifikasi Sosial
Pelapisan sosial atau stratifikasi
sosial (social stratification) adalah pembedaan atau pengelompokan para
anggota masyarakat secara vertikal (bertingkat). Definisi sistematik antara
lain dikemukakan oleh Pitirim (1928) bahwa pelapisan sosial merupakan pembedaan
penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis).
Perwujudannya adalah adanya lapisan-lapisan di dalam masyarakat, ada lapisan
yang tinggi dan ada lapisan-lapisan di bawahnya. Setiap lapisan tersebut
disebut strata sosial. P.J. Bouman menggunakan istilah tingkatan atau dalam
bahasa belanda disebut stand, yaitu golongan manusia yang ditandai
dengan suatu cara hidup dalam kesadaran akan beberapa hak istimewa tertentu dan
menurut gengsi kemasyarakatan. Istilah stand juga dipakai oleh Max
Weber.
Pengertian Stratifikasi Sosial menurut
Sofa (2008) adalah sebagai berikut : Stratifikasi sosial merupakan suatu konsep
dalam sosiologi yang melihat bagaimana anggota masyarakat dibedakan berdasarkan
status yang dimilikinya. Status yang dimiliki oleh setiap anggota masyarakat
ada yang didapat dengan suatu usaha (achievement
status) dan ada yang didapat tanpa suatu usaha (ascribed status). Stratifikasi berasal dari kata stratum yang
berarti strata atau lapisan dalam bentuk jamak.Stratifikasi dapat terjadi
dengan sendirinya sebagai bagian dari proses pertumbuhan masyarakat, juga dapat
dibentuk untuk tercapainya tujuan bersama. Faktor yang menyebabkan stratifikasi
sosial dapat tumbuh dengan sendirinya adalah kepandaian, usia, sistem
kekerabatan, dan harta dalam batas-batas tertentu.
Ukuran atau kriteria yang menonjol
atau dominan sebagai dasar pembentukan pelapisan sosial adalah sebagai berikut:
1) Ukuran kekuasaan dan wewenang
Seseorang yang mempunyai kekuasaan atau wewenang paling besar akan menempati
lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial dalam masyarakat yang
bersangkutan. Ukuran kekuasaan sering tidak lepas dari ukuran kekayaan, sebab orang
yang kaya dalam masyarakat biasanya dapat menguasai orang-orang lain yang tidak
kaya, atau sebaliknya, kekuasaan dan wewenang dapat mendatangkan kekayaan.
2) Ukuran kekayaan (materi atau
kebendaan) dapat dijadikan ukuran penempatan anggota masyarakat ke dalam
lapisan-lapisan sosial yang ada, barang siapa memiliki kekayaan paling banyak
mana ia akan termasuk lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial, demikian
pula sebaliknya, barang siapa tidak mempunyai kekayaan akan digolongkan ke
dalam lapisan yang rendah. Kekayaan tersebut dapat dilihat antara lain pada
bentuk tempat tinggal, benda-benda tersier yang dimilikinya, cara
berpakaiannya, maupun kebiasaannya dalam berbelanja.
3) Kehormatan. Ukuran kehormatan dapat
terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan atau kekuasaan. Orang-orang yang disegani
atau dihormati akan menempati lapisan atas dari sistem pelapisan sosial
masyarakatnya.Ukuran kehormatan ini sangat terasa pada masyarakat tradisional,
biasanya mereka sangat menghormati orang-orang yang banyak jasanya kepada
masyarakat, para orang tua ataupun orang-orang yang berprilaku dan berbudi
luhur.
4) Ukuran ilmu pengetahuan. Ukuran ilmu
pengetahuan sering dipakai oleh anggota-anggota masyarakat yang menghargai ilmu
pengetahuan. Seseorang yang paling menguasai ilmu pengetahuan akan menempati
lapisan tinggi dalam sistem pelapisan sosial masyarakat yang bersangkutan.
Penguasaan ilmu pengetahuan ini biasanya terdapat dalam gelar-gelar akademik
(kesarjanaan), atau profesi yang disandang oleh seseorang, misalnya dokter, insinyur,
doktorandus, doktor ataupun gelar profesional seperti profesor. Namun sering
timbul akibat-akibat negatif dari kondisi ini jika gelar-gelar yang disandang
tersebut lebih dinilai tinggi daripada ilmu yang dikuasainya, sehingga banyak
orang yang berusaha dengan cara-cara yang tidak benar untuk memperoleh gelar
kesarjanaan, misalnya dengan membeli skripsi, menyuap, ijazah palsu dan
seterusnya.
Berkaitan dengan stratifikasi sosial
adalah adanya mobilitas sosial merupakan perubahan status individu atau kelompok
dalam stratifikasi sosial. Mobilitas dapat terbagi atas mobilitas vertikal dan
mobilitas horizontal. Mobilitas vertikal juga dapat terbagi dua, mobilitas vertikal intragenerasi, dan mobilitas antargenerasi.Berkaitan
dengan mobilitas ini maka stratifikasi sosial memiliki dua sifat, yaitu
stratifikasi terbuka dan stratifikasi tertutup.
Pada stratifikasi terbuka kemungkinan
terjadinya mobilitas sosial cukup besar, sedangkan pada stratifikasi tertutup
kemungkinan terjadinya mobilitas sosial sangat kecil.
Dimensi Stratifikasi Sosial
Untuk menjelaskan stratifikasi sosial
ada tiga dimensi yang dapat dipergunakan yaitu: privilege, prestise, dan power.
Ketiga dimensi ini dapat dipergunakan sendiri-sendiri, namun juga dapat
didigunakan secara bersama.Karl Marx menggunakan satu dimensi, yaitu privilege
atau ekonomi untuk membagi masyarakat industri menjadi dua kelas, yaitu kelas
Borjuis dan Proletar.
Sedangkan Max Weber, Peter Berger,
Jeffries dan Ransford mempergunakan ketiga dimensi tersebut. Dari penggunaan ketiga
dimensi tersebut Max Weber memperkenalkan konsep : kelas, kelompok status, dan
partai.Menurut Horton and Hunt keberadaan kelas sosial dalam masyarakat
berpengaruh terhadap beberapa hal, diantaranya adalah identifikasi diri dan
kesadaran kelas sosial, pola-pola keluarga, dan munculnya simbol status dalam
masyarakat. Bentuk stratifikasi dapat dibedakan menjadi bentuk lapisan bersusun
yang diantaranya dapat berbentuk piramida, piramida terbalik, dan intan. Selain
lapisan bersusun bentuk stratifikasi dapat juga diperlihatkan dalam bentuk melingkar.
Bentuk stratifikasi melingkar ini terutama berkaitan dengan dimensi kekuasaan.Ada
tiga cara yang dapat kita lakukan untuk bisa mengetahui bentuk dari
stratifikasi sosial. Ketiga cara tersebut adalah dengan pendekatan objektif, pendekatan
subyektif, dan pendekatan reputasional.
1) Ascribed
Status
Ascribed status adalah tipe status yang didapat sejak
lahir seperti jenis kelamin, ras, kasta, golongan, keturunan, suku, usia, dan
lain sebagainya.
2)
Achieved Status
Achieved status adalah status sosial yang didapat
sesorang karena kerja keras dan usaha yang dilakukannya. Contoh achieved status yaitu seperti harta
kekayaan, tingkat pendidikan, pekerjaan, dll.
3) Assigned
Status
Assigned
status adalah status
sosial yang diperoleh seseorang di dalam lingkungan masyarakat yang bukan
didapat sejak lahir tetapi diberikan karena usaha dan kepercayaan masyarakat. Contohnya seperti
seseorang yang dijadikan kepala suku, ketua adat, sesepuh, dan sebagainya.
Macam-Macam / Jenis-Jenis Stratifikasi
Sosial
1) Stratifikasi Sosial Tertutup
Stratifikasi tertutup adalah
stratifikasi di mana tiap-tiap anggota masyarakat tersebut tidak dapat pindah
ke strata atau tingkatan sosial yang lebih tinggi atau lebih rendah. Contoh
stratifikasi sosial tertutup yaitu seperti sistem kasta di India dan Bali serta
di Jawa ada golongan darah biru dan golongan rakyat biasa. Tidak mungkin anak
keturunan orang biasa seperti petani miskin bisa menjadi keturunan ningrat /
bangsawan darah biru.
2) Stratifikasi Sosial Terbuka
3) Stratifikasi sosial terbuka adalah
sistem stratifikasi di mana setiap anggota masyarakatnya dapat berpindah-pindah
dari satu strata / tingkatan yang satu ke tingkatan yang lain. Misalnya seperti
tingkat pendidikan, kekayaan, jabatan, kekuasaan dan sebagainya. Seseorang yang
tadinya miskin dan bodoh bisa merubah penampilan serta strata sosialnya menjadi
lebih tinggi karena berupaya sekuat tenaga untuk mengubah diri menjadi lebih
baik dengan sekolah, kuliah, kursus dan menguasai banyak keterampilan sehingga
dia mendapatkan pekerjaan tingkat tinggi dengan bayaran / penghasilan yang
tinggi.
11.5Diferensiasi
Sosial
Diferensiasi
Sosial adalah pengkelasan / penggolongan / pembagian
masyarakat secara horisontal atau sejajar. Contohnya seperti pembedaan agama di
mana orang yang beragama islam tingkatannya sama dengan pemeluk agama lain
seperti agama konghucu, budha, hindu, katolik dan kristen protestan. Diferensiasi
sosial merupakan perbedaan seseorang dilihat dari suku bangsa, ras, agama,
klan, dsb. Pada intinya hal-hal yang terdapat dalam diferensiasi itu tidak
terdapat tingkatan-tingkatan, namun yang membedakan satu individu dengan
individu yang lainnya adalah sesuatu yang biasanya telah ia bawa sejak lahir.
contohnya saja, suku sunda dan suku batak memiliki kelebihan masing-masing. Jadi
seseorang tidak bisa menganggap suku bangsanya lebih baik, karena itu akan
menimbulkan etnosentrisme dalam masyarakat.
Diferensiasi merupakan perbedaan yang dapat kita
lihat dan kita rasakan dalam masyarakat, bukan untuk menjadikan kita berbeda
tingkat sosialnya seperti yang terjadi di Afrika Selatan.
Wahidin (2008) menjelaskan pengelompokan
masyarakat membentuk delapan kriteria diferensiasi sosial, antara lain:
1) Diferensiasi Ras
Ras adalah suatu kelompok manusia yang
memiliki cirri-ciri fisik bawaan yang sama. Diperensiasi ras adalah
pengelompokan masyarakat berdasarkan ciri-ciri fisiknya.
2) Diferensiasi Suku Bangsa (Etnis)
Menurut Shadily (1983), suku bangsa
atau etnis adalah segolongan rakyat yang masih dianggap mempunyai hubungan
biologis. Diferensiasi suku bangsa merupakan penggolongan manusia berdasarkan ciri-ciri
biologis yang sama, seperti ras, namun suku bangsa memiliki kesamaan budaya
sebagai berikut:
- Ciri fisik
- Bahasa daerah
- Kesenian
- Adat-istiadat
3) Diferensiasi Klen (Clan)
Klen / kerabat luas / keluarga besar.
Klen merupakan kesatuan keturunan (genealogis), kesatuan kepercayaan
(religiomagis) dan kesatuan adapt (tradisi). Klen adalah system social
berdasarkan ikatan darah atau keturunan yang sama umumnya terjadi di masyarakat
unilateral baik melalui garis ayah (patrilineal) atau ibu (matrilineal).
4) Diferensiasi Agama
Diferensiasi agama adalah
pengelompokan masyarakat berdasarkan agama/kepercayaannya.
5) Diferensiasi Profesi (pekerjaan)
Diferensiasi profesi adalah
pengelompokan masyarakat atas dasar jenis pekerjaan atau profesinya. Profesi
biasanya berkaitan dengan keterampilan khusus. Misal profesi guru memerlukan
keterampilan khusus, seperti: pandai berbicara, bisa membimbing, sabar dan
sebagainya. Berdasarkan perbedaan profesi orang dimasyarakat berprofesi: guru,
dokter, pedagang, buruh, pegawai negeri, tentara dan sebagainya.
6) Diferensiasi Jenis Kelamin
Jenis kelamin merupakan kategori dalam
masyarakat yang didasarkan pada perbedaan seks atau jenis kelamin (perbedaan
biologis). Perbedaan biologis ini dapat kita lihat dari struktur organ
reproduksi, bentuk tubuh, suara, dan sebagainya. Atas dasar itu maka ada
kelompok laki-laki/pria dan kelompok wanita/perempuan.
7) Diferensiasi Asal Daerah
Diferensiasi ini merupakan
pengelompokan manusia berdasarkan asal daerah atau tempat tinggalnya, desa atau
kota. Terbagi menjadi :
- masyarakat desa : kelompok orang yang
tinggal di pedesaan atau berasal dari desa.
- Masyarakat kota : kelompok orang yang
tinggal di perkotaan atau berasal dari kota.
Perbedaan orang desa dengan orang kota
dapat ditemukan dalam perilaku, tutur kata, cara berpakaian dan cara menghias
rumah dan sebagainya.
8) Diferensiasi Partai
Diferensiasi partai adalah perbedaan
masyarakat dalam kegiatannya mengatur kekuasaan negara, yang berupa
kesatuan-kesatuan social, seazas, seideologi dan sealiran.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulsyani, 1994. Sosiologi
(skematika, teori dan terapan), Penerbit: Bumi Aksara, Jakarta.
Bagong, Suyanto J. Dwi Narwoko. 2004. Sosiologi
Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana Media Group
Bertrand, L. 1980. Sosiologi. Alih
Bahasa Sanafiah S Faisal. Bina Ilmu. Surabaya.
Blau. Peter M. 1977. Inequality and
Heterogenity : A Primitive Theory of Social Structure. Free Press. New York.
Bronislaw, Malinowski. 1944. A
Scientific Theory of Culture and Other Essay. The University of North Carolina
Press. Chapel Hill.
Brown, A Lawrence. 1981. Innovation
Diffusion: A New Perpective
Burgoon, M., Heston, J. K., &
McCroskey, J. C. (1974). Small Group Communication: A Functional
Approach. New York: Holt, Rinehart, and Winston.
Depari, Eduard dan Mc Andrew, Collin,
1991. Peranan Komunikasi Massa DalamPembangunan, Gadjah Mada University :
Yogyakarta.
Dixon, G., 1982.A Course manual in Aghriclutural and
Live-stock Extension Vol. 1. Rural Sociology.Canberra: AUIDP.
Giles, H. and Wiemann, J. M. (1987).
Language, social comparison and power. In C. R. Berger and S. H. Chaffee
(eds.), The handbook of communication science (pp. 350-384). Newbury
Park, CA: Sage.
Hamilton, Peter Ed. (1990). Talcott
Parsons dan Pemikirannya, Sebuah Pengantar, Jogya. P.T.Tiara Wacana Jogya.
Homans,
G. C. 1961. Social Behavior, New York: Harcourt Brace and World
Ibrahim, J.T, dkk. 2003.
Komunikasi & Penyuluhan Pertanian. UMM Press & Bayumedia Publishing.
Malang
Jhonson, Paul,
Doyli,1986.Teori Sosiologi
Klasik Dan Modern. PT
Gramedia. Jakarta
Lazarfeld, Paul K.; Merton, Robert K.,
(1957) "Mass Communication Popular Taste andOrganized Social Action",
dalam Rosenberg dan Manning, ed., Mass Culture the Popular Arts in America, A
Free Press, New York
Lauer, Robert H. (1989), Perspektif
tentang Perubahan Sosial, Edisi Kedua, penerjemah Alimandan, S.U,. Penerbti
Bina Aksara, Jakarta.
Lionberger, H.F. 1960.Adoption of New
Ideas and Practices. Iowa: The Iowa State University Press.
Lionberger, H.F. and P.H. Gwin, 1982.
Communication Strategies: A Guide for Agricultural Change Agents. The
Interstate Printers & Publisher, Inc. Denville, Illinois
Lippit, R (1958).
The Dynamic Planned Change. Hartcourt Brace Jovanovich. New York
Mardikanto, T. 1987. Komunikasi
Pembangunan. Surakarta : Sebelas Maret University Press.
Mardikanto, T. 1988. Komunikasi
Pembangunan. UNS Press. Surakarta.
Mardikanto, T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian.
Sebelas Maret University Press. Surakarta.
Margono Slamet. 1978 (ed) Kumpulan
Bahan Bacaan Penyuluhan Pertanian. IPB. Bogor
Nasikun, 1993, Sistem Sosial
Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Pertiwi PR, Noviyanti R, Farida
I.2007. Karakteristik Kategori Adopter dan Tingkat Keinovatifan Masyarakat
Nelayan. Jakarta: Universitas Terbuka.
Pitirim, A Sorokim. 1928. Contemporary
Sociological Theories. Harper and Brother. New York.
Radcliffe Brown.1968. Structure and
Function in Primitive Society. Coher and West Ltd. London
Raymond Firth, 1966. Malay Fisherman:
Their Peasant Economy. New York: WW Norton Library.
Rogers, E.M. 1961. Diffusion of
innovations, 1st Edition. The Free Press, New York.
Rogers, Everett M. dan F. Floyd Shoemaker. 1971. Communication
of Innovations. Terjemahan Abdillah Hanafi Memasyarakatkan Ide-Ide Baru.
Usaha Nasional. Surabaya.
Roger, Everett,M.,1969. Modernization
Among Peasants: The Impact of Communication; New York- Sydney: Holt,Rinehart
and Winston,Inc.
Roger, Everett,M.,1969. Diffusion of
Innovations. New York, The Free Press, Collier MacMillan, Ltd.
Rogers, E.M. 1983. Diffusion of
innovations, 3rd Edition. The Free Press, New York.
Rogers, E.M. 1995, Diffusions of Innovations,
Fourth Edition. New York: Tree Press.
Rogers, E. M. 2003, Diffusion of Innovations: Fifth
Edition. Free Press. New York.
Santoso, Singgih.1999. SPSS: Buka Latihan
SPSS Statistik Parametrik. Elex Media Komputindo. Jakarta.
Santoso, S. Hamijoyo. 1992. Pendidikan
Luar Sekolah Dalam Kaitannya Dengan Masyarakat Industri. Makalah Seminar
Jurusan PLS FIP IKIP Bandung. Bandung.
Shadily,
Hasan. 1983.Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia. Penerbit: PT.Bina
Aksara, Jakarta
Soekanto, Soerjono.1983. Kamus Sosiology. Jakarta:Raja Grafindo
Persada.
Soewardi, Idris, 1987. Jurnalistik
Televisi, Remadja Karya CV. Bandung.
Soewardi, Herman, 1976. Sikap
Masyarakat Desa Terhadap Modernisasi Produksi Pertanian, Terutama Padi. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta.
Sofa, Muhaddar. 2008. Pengertian, Tujuan dan Ruang Lingkup
Ilmu Budaya Dasar. Sumber : http://massofa.wordpress.com/2008/10/21/pengertian-tujuan-dan-ruang-lingkup-ilmu-budaya-dasar.html
Sofa, Muhaddar.2008. Kajian Sosiologi dan Interaksi Sosial.
Sumber : http://massofa.wordpress.com/2008/02/06/bidang-kajian-sosiologi-dan-interaksi-sosial.htmlSubagiyo. 2005. Kajian Faktor-faktor
yang Berpengaruh Terhadap Inovasi Usaha Perikanan Laut Desa Pantai Selatan
Kabupaten Bantul, DIY. http://pse.litbang.deptan.go.id/publikasi.php.
Sunarto, Kamanto. 1985. Pengantar
Sosiologi Sebuah Bunga Rampai. Midas Surya Grafindo.
Veeger, K.J. 1985. Realitas Sosial.
Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.
Wahidin, 2008. Bentuk-Bentuk
Diferensiasi Sosial. Sumber : http://emakalah.wordpress.com/2008/10/29/bentuk-bentuk-diferensiasi-sosial/