Selasa, 29 Mei 2018

DAMPAK MODERNISASI TERHADAP PERUBAHAN SOSIAL PETANI DI PEDESAAN



1.  PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perubahan sosial merupakan hal yang tidak bisa terhindarkan. Perubahan sudah, sedang, dan akan terus terjadi, baik dalam kehidupan individu maupun kehidupan masyarakat. Sesuai dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat saat ini, perubahan  sosial sudah berlangsung sangat pesat, baik itu perubahan yang sengaja direncanakan oleh para Agent of change maupun perubahan yang tidak direncanakan. Terjadinya perubahan social di kalangan masyarakat adalah hal yang wajar yang dialami oleh seluruh masyarakat di dunia. Akan tetapi tidak semua orang mempunyai kesepakatan sama dalam mengartikan proses perubahan sosial. Dalam perkembangannya pun para ahli memperlihatkan perbedaan dalam memahami perubahan sosial. Menurut Thorsten Veblen, perubahan sosial yang terjadi di masyarakat sangat ditentukan oleh teknologi. Namun demikian, sulit untuk dibantahkan bahwa teknologi sangat memengaruhi sikap dan perilaku manusia. Namun tidak semua perubahan sosial yang terjadi di masyarakat selalu berdampak positif, akan tetapi disisi lain pasti memiliki dampak negatif. Hal ini dapat kita lihat dalam realitas kehidupan masyarakat disekitar kita.
Setiap masyarakat manusia selama hidup pasti mengalami perubahan-perubahan, yang dapat berupa perubahan yang tidak menarik dalam arti kurang mencolok. Ada pula perubahan-perubahan yang pengaruhnya terbatas maupun yang luas, serta ada pula perubahan-perubahan yang lambat sekali, tetapi ada juga yang berjalan dengan cepat. Perubahan-perubahan hanya akan dapat ditemukan oleh seseorang yang sempat meneliti susunan dan kehidupan suatu masyarakat pada suatu waktu dan membandingkannya dengan susunan dan kehidupan masyarakat pada waktu yang lampau. Seseorang yang tidak sempat menelaah susunan dan kehidupan masyarakat desa khususnya petani di Indonesia misalnya akan berpendapat bahwa masyarakat tersebut statis, tidak maju, dan tidak berubah. Pernyataan demikian didasarkan pada pandangan sepintas yang tentu saja kurang mendalam dan kurang teliti karena tidak ada suatu masyarakat pun yang berhenti pada suatu titik tertentu sepanjang masa. Orang-orang desa sudah mengenal perdagangan, alat transportasi modern, bahkan dapat mengikuti berita-berita mengenai daerah lain melalui radio, televisi, dan sebagainya yang kesemuanya belum dikenal sebelumnya.
Perubahan-perubahan masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola perilaku organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan lain sebagainya.
Perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat dunia dewasa ini merupakan gejala yang normal. Pengaruhnya bisa menjalar dengan cepat ke bagian-bagian dunia lain berkat adanya komunikasi modern. Penemuan-penemuan baru di bidang teknologi yang terjadi di suatu tempat dengan cepat dapat diketahui oleh masyarakat lain yang berada jauh dari tempat tersebut.
Perubahan dalam masyarakat memang telah ada sejak zaman dahulu. Namun, dewasa ini perubahan-perubahan tersebut berjalan dengan sangat cepatnya sehingga membingungkan manusia yang menghadapinya, yang sering berjalan konstan. Perubahan memang terikat oleh waktu dan tempat. Akan tetapi, karena sifatnya yang berantai, perubahan terlihat berlangsung terus, walau diselingi keadaan di mana masyarakat mengadakan reorganisasi unsur-unsur struktur masyarakat yang terkena perubahan.
.
1.2. Tujuan Penulisan
Tulisan dari paper ini adalah untuk membahas mengenai dampak yang diberikan modernisasi terhadap kehidupan petani di pedesaan. Sebagai langkah-langkah dalam proses menjawab pertanyaan kunci tersebut, serentetan pertanyaan berikut perlu dijawab: Sampai berapa jauhkah modernisasi melanda kehidupan petani di daerah pedesaan? Seberapa jauh modernisasi yang terjadi mengubah pola pikir dan orientasi masa depan petani di pedesaan? Siapa sajakah yang terlibat dalam proses modernisasi ini dan siapa pula yang dirugikan dengan adanya modernisasi di pertanian?
 
2. Tinjauan Pustaka
2.1 Konsep Modernisasi
Modernisasi menurut Mutakin dan Pasya (2003), menunjukkan sifat masyarakat secara umum yang dilandasi oleh sifat modern individu, karena dari individulah tumbuh modernisasi. Sementara itu Schoorl (1980), menyatakan bahwa pengertian modern dan modernisasi mengandung kaitan tertentu. Di dalamnya dapat dilihat suatu penghargaan yang positif, yaitu bahwa modern, termasuk juga modernisasi adalah baik. Di dalam kebudayaan-kebudayaan Barat biasanya terdapat penghargaan yang demikian itu, akan tetapi hal tersebut tidak harus demikian. Di dalam kebudayaan-kebudayaan lain asosiasi itu tidak harus ada. Bagaimana orang menilai pengertian-pengertian itu, sangat tergantung pada pandangan hidup dan pandangan dunianya.
Secara sangat ekstrem dapat dinyatakan bahwa suatu masyarakat dapat mengadakan modernisasi, akan tetapi bersamaan dengan itu diukur dengan nilai-nilai tertentu berkembang ke jurusan yang tidak dikehendaki; atau bersamaan dengan itu berkembang ke jurusan yang sangat kapitalistik, yang tidak dapat diterima atas dasar nilai-nilai marxis; atau bersamaan dengan itu masyarakat dapat menjadi begitu terkekang, sehingga atas dasar nilai-nilai kemanusiaan perkembangan itu harus ditolak. Penilaian terakhir atas proses modernisasi tergantung kepada pandangan dunia orang-orang yang menilainya.
Menurut Suwarsono dan Alvin Y. So (2000), teori modernisasi klasik lahir sebagai akibat munculnya Amerika Serikat sebagai kekuatan dominan dunia setelah Perang Dunia II, terjadinya perluasan gerakan komunis dunia, dan lahirnya negara-negara merdeka baru di Asia, Afrika, dan Amerika Latin.
Beberapa teori mengenai modernisasi di antaranya adalah Teori Evolusi yang lahir pada awal abad ke-19 setelah Revolusi Industri dan Revolusi Perancis. Menurut Suwarsono dan So (2000), teori ini menganggap bahwa perubahan sosial merupakan gerakan searah seperti garis lurus, yaitu dari masyarakat primitif menuju masyarakat maju, dan membaurkan antara pandangan subjektifnya tentang nilai dan tujuan akhir perubahan sosial menuju masyarakat modern. Perubahan sosial berjalan secara perlahan dan bertahap selama berabad-abad.
Tradisi pemikiran lain yang banyak mempengaruhi perumusan acuan-acuan pokok teori modernisasi ialah teori fungsionalisme dari Talcott Parsons yang menyatakan bahwa, masyarakat mempunyai berbagai kelembagaan yang saling terkait dan tergantung satu sama lain dan setiap lembaga yang ada dalam masyarakat melaksanakan tugas tertentu untuk stabilitas dan pertumbuhan masyarakat tersebut.
Ahli lain, Dube (1988), menyatakan bahwa modernisasi lebih banyak dihubungkan dengan kota, industri, dan masyarakat terpelajar, seperti masyarakat Eropa dan Amerika Utara. Konsep modernisasi yang dikemukakan oleh Dube didasarkan pada tiga asumsi, yaitu (i) sumber kekuasaan yang mati harus selalu meningkat dibuka dengan maksud untuk memecahkan permasalahan manusia dan secara minimum diterima untuk memastikan standar hidup,yang semakin meningkat. (ii) Untuk mencapai tujuan ini dapat dicapai dengan usaha individu dan kerjasama. Dimensi kerjasama dianggap penting karena kemampuan hubungan untuk mengoperasikan organisasi yang kompleks adalah suatu prasyarat sedikitnya pertengahan dan jangkauan modernisasi yang lebih tinggi. (iii) Untuk menciptakan dan menjalankan organisasi yang kompleks perubahan kepribadian yang radikal dan perubahan yang menyertainya dalam struktur sosial dan nilai-nilai dianggap perlu.
Dari beberapa teori yang dikemukakan oleh ahli-ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa, (i) modernisasi merupakan proses bertahap, (ii) modernisasi dapat juga dikatakan sebagai proses homogenisasi, (iii) modernisasi terkadang mewujud dalam bentuk lahirnya sebagai proses Eropanisasi atau Amerikanisasi, (iv) modernisasi juga dilihat sebagai proses yang tidak bergerak mundur, (v) modernisasi merupakan perubahan progresif, dan (vi) modernisasi memerlukan waktu panjang.

2.2 Pengertian dan Konsep mengenai Petani
Petani adalah orang yang menggantungkan hidupnya pada lahan pertanian sebagai mata pencaharian utamanya. Secara garis besar terdapat tiga jenis petani, yaitu petani pemilik lahan, petani pemilik yang sekaligus juga menggarap lahan, dan buruh tani. Secara umum, petani bertempat tinggal di pedesaan dan sebagian besar di antaranya, terutama yang tinggal di daerah-daerah yang padat penduduk di Asia Tenggara, hidup di bawah garis kemiskinan. Kehidupan petani identik dengan kehidupan pedesaan.
Amri Marzali (1997) membedakannya menjadi peladang atau pekebun, peisan (dari bahasa Inggris Peasant), dan petani pengusaha atau farmer. Sebagian besar petani yang ada di Indonesia merupakan peisan atau petani pemilik yang sekaligus juga menggarap lahan pertanian yang mereka miliki.
Petani peladang atau pekebun menurut Dobby (1954) dalam Marzali, merupakan tahap yang istimewa dalam evolusi dari berburu dan meramu sampai pada bercocok tanam yang menetap. Keistimewaan itu kelihatannya terdiri dari ciri-ciri hampa seperti tidak adanya hubungan dengan usaha pedesaan dan sangat sedikitnya produksi yang mempunyai arti penting bagi perdagangan. Gourou (1956), (Ibid.), secara garis besar menguraikan empat ciri perladangan: (1) dijalankan di tanah tropis yang kurang subur; (2) berupa teknik pertanian yang elementer tanpa menggunakan alat-alat kecuali kampak; (3) kepadatan penduduk rendah; dan (4) menyangkut tingkat konsumsi yang rendah. Pelzer (1957), (Ibid.) menyatakan bahwa petani peladang ini ciri-cirinya juga ditandai dengan tidak adanya pembajakan, sedikitnya masukan tenaga kerja dibandingkan dengan cara bercocok tanam yang lain, tidak menggunakan tenaga hewan ataupun pemupukan, dan tidak adanya konsep pemilikan tanah pribadi.
Konsep mengenai peasant sekurang-kurangnya mengacu pada tiga pengertian yang berbeda. Konsep pertama mengacu pada pandangan Gillian Hart (1986), Robert Hefner (1990), dan Paul Alexander dkk (1991), (Ibid.), yang menyatakan bahwa istilah peasant ditujukan kepada semua penduduk pedesaan secara umum, tidak peduli apapun pekerjaan mereka. Konsep kedua mengacu pada pandangan James C. Scott (1976) dan Wan Hashim (1984), (Ibid.) yang menyatakan bahwa peasant tidak mencakup seluruh pedesaan, tetapi hanya terbatas kepada penduduk pedesaan yang bekerja sebagai petani saja. Konsep ketiga atau terakhir mengacu pada pandangan Eric Wolf yang kemudian diikuti oleh Frank Ellis (1988), (Ibid.), yang menyatakan bahwa peasant ditujukan untuk menunjukkan golongan yang lebih terbatas lagi, yaitu hanya kepada petani yang memiliki lahan pertanian, yang menggarap sendiri lahan tersebut untuk mendapatkan hasil yang digunakan untuk memenuhi keperluan hidupnya, bukan untuk dijual, atau yang di Indonesia biasa disebut sebagai petani pemilik penggarap.
Konsep mengenai farmer atau petani pengusaha adalah petani kaya yang memiliki tanah luas dan memiliki banyak buruh atau tenaga kerja yang bekerja untuk mendapatkan upah darinya. Hasil lahan pertaniannya terutama adalah untuk dijual. Pengolahan lahan sudah menggunakan peralatan teknologi modern, seperti mesin bajak, traktor, rice milling, sprayer, dan lain-lain.

2.3 Dinamika Kehidupan Petani
Karakteristik budaya masyarakat pedesaan di Indonesia sangat beragam, bahkan dalam satu provinsi sekalipun. Perbedaan tersebut terutama dipengaruhi oleh letak desa dan yang pada akhirnya juga matapencaharian penduduknya. Tipologi desa berdasarkan matapencaharian penduduknya adalah desa persawahan, desa perkebunan, desa peternakan, desa nelayan, desa jasa dan perdagangan, desa industri, serta desa perladangan (Mubyarto, 1994).
Koentjaraningrat (1984), membagi komunitas desa di Indonesia menjadi dua golongan berdasarkan usaha taninya, yaitu (1) desa-desa yang berdasarkan cocok-tanam di ladang, dan (2) desa-desa yang berdasarkan cocok-tanam di sawah. Desa-desa golongan pertama terletak di sebagaian besar Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, Irian, dan Timor, dengan perkecualian beberapa daerah di Sumatera Utara dan Barat, daerah pantai Kalimantan, daerah Sulawesi Selatan serta Minahasa, dan beberapa daerah terbatas yang terpencar di Nusa Tenggara dan Maluku. Desa-desa golongan kedua terutama terletak di Jawa, Madura, Bali, Lombok, dan merupakan tempat bermukim hampir 65% penduduk Indonesia, sedangkan areal tempat desa-desa itu hanya meliputi 7% dari seluruh wilayah Indonesia.
Berikut adalah gambaran menggenai pola kehidupan petani desa yang bercocok tanam di ladang dan di sawah.
A. Bercocok Tanam di Ladang
Teknologi bercocok tanam di ladang menyebabkan suatu komunitas desa berpindah-pindah yang sangat berbeda dengan komunitas desa menetap yang didasarkan pada teknologi bercocok tanam di sawah. Teknologi bercocok tanam di ladang memerlukan tanah yang luas, di suatu daerah yang masih merupakan hutan rimba yang sedapat mungkin masih perawan. Para petani mulai membuka suatu ladang dengan membersihkan belukar bawah di suatu bagian tertentu dari hutan, kemudian menebang pohon-pohon besar. Batang-batang, cabang-cabang, dahan-dahan, serta daun-daun dibakar, dan dengan demikian terbukalah suatu ladang yang kemudian ditanami dengan berbagai tanaman tanpa pengolahan tanah yang berarti, yaitu tanpa dicangkul, diberi air atau pupuk secara khusus. Abu yang berasal dari pembakaran pohon dianggap cukup untuk memberi kesuburan pada tanaman. Air pun hanya yang berasal dari hujan saja, tanpa suatu sistem irigasi yang mengaturnya. Metode penanaman biji juga sangatlah sederhana, yaitu hanya dengan menggunakan tongkat tugal. Dengan tongkat itulah para petani laki-laki menusuk lubang ke dalam tanah tempat biji-biji tanaman dimasukkan oleh para perempuan yang berjalan di belakang mereka. Pekerjaan selanjutnya adalah membersihkan ladang dari tanaman liar dan menjaganya terhadap serangan babi hutan, tikus, dan hama lainnya.
Petani ladang meninggalkan ladangnya setiap dua-tiga kali panen, dan dalam waktu sepuluh tahun mereka sudah berpindah tempat sebanyak lima-enam kali. Selama waktu itu ladang yang pertama sudah kembali menjadi hutan, yang kemudian ditempati lagi. Serangkaian ladang baru yang dibuka oleh para petani ladang itu, seringkali makin jauh letaknya dari komunitas desa pemukimannya. Oleh karena itu, para petani biasanya mendirikan gubuk-gubuk sementara dekat ladang yang mereka kerjakan, agar pada musim-musim yang sibuk mereka dapat tinggal dekat pada lingkaran usaha tani mereka. Hanya dalam musim-musim ketika kesibukan bercocok-tanam berkurang mereka pulang ke desa induk mereka untuk melakukan pesta-pesta dan upacara bersama warga komunitas yang lain.
Cara bercocok-tanam di ladang hanya dapat dilakukan pada daerah-daerah yang kepadatan penduduknya masih rendah. Daerah-daerah lain yang memiliki kepadatan penduduk yang lebih tinggi, sebagian besar dilakukan dengan irigasi di tanah basah, atau sawah.

B. Bercocok Tanam di Sawah
Seorang petani di desa yang tergolong tipologi desa persawahan, dalam kenyataan menggarap tiga macam tanah pertanian, yaitu (1) kebun kecil di sekitar rumahnya; (2) tanah pertanian kering yang digarap dengan menetap, tetapi tanpa irigasi, dan (3) tanah pertanian basah yang menggunakan irigasi.
Di tanah kebun kecil sekitar rumah atau yang biasa disebut pekarangan, petani menanam kelapa, buah-buahan, sayur-mayur, bumbu-bumbu, umbi-umbian dan akar-akaran seperti berbagai jenis ubi dan singkong yang diperlukan dalam kehidupan rumahtangganya sehari-hari. Di pekarangan sering pula ada kolam ikan yang selain tempat pemeliharaan berbagai jenis ikan, tidak jarang pula dipakai sebagai tempat buang air. Hasil pekarangan sebagian besar dipergunakan untuk konsumsi sendiri, walaupun tidak sedikit pula yang dijual di pasar desa atau pada pedagang yang menawarnya.
Di tanah pertanian kering, petani menanam serangkaian tanaman yang kebanyakan dijual di pasar atau kepada pedagang. Tanaman itu antara lain jagung, kacang kedelai, berbagai jenis kacang tanah, tembakau, singkong, umbi-umbian, termasuk juga padi yang dapat tumbuh secara irigasi. Walaupun tidak diirigasi, tanah kering biasanya digarap secara intensif, dan tanaman-tanamannya dipupuk dan disiram secara teratur.


3. PEMBAHASAN
3.1 Munculnya Modernisasi Pertanian di Pedesaan
Berkaitan dengan modernisasi dalam bidang pertanian yang terjadi di Indonesia, Sajogyo (1982) menyatakan bahwa usaha yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam memodernisasikan petani di daerah pedesaan Jawa, untuk mencukupi kebutuhan beras sebagai makanan pokok, telah menetapkan kebijakan nasional untuk mendorong usaha peningkatan hasil padi. Yang pertama: melalui Program” Pusat Padi” (1959-1962). Suatu otoritas khusus, ” PERTANI” yang diciptakan untuk menerapkan suatu program yang terintegrasi untuk memberikan suatu alat-alat teknologi pertanian kepada petani padi untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dengan kredit dan jasa perluasan intensif, berupa pupuk, peningkatan benih lokal, pestisida, yang dibayar kembali oleh para petani secara kredit setelah panen.
Gelombang kedua adalah Bimas program intensifikasi tanaman padi (1964-1967). Yang mencakup “bimbingan massal, atau pendidikan, tentang petani” yang didasari pada suatu proyek kecil yang dilakukan oleh dosen dan mahasiswa Institut Pertanian Bogor di tiga desa di Jawa Barat dalam satu musim (1963/1964).
Program yang ketiga kemudian menyusul pada tahun 1965-1967 perjuangan politis, yang ditandai dengan usaha perebutan kekuasaan yang gagal pada tahun 1965, yang telah mendorong lahirnya Pemerintah Orde Baru dengan presiden baru. Program yang baru datang dengan beberapa unsur-unsur dari pengaruh hubungan asing yang baru. Dalam pengembangan tahun pertama yang direncanakan (1968/69-1973/74), tersedianya beras yang cukup merupakan prioritas utama dengan melakukan infrastruktur pekerjaan irigasi, yang kebanyakan berada di Pulau Jawa.
Gelombang keempat tentang Bimas program beras dimulai pada musim hujan 1970/1971, suatu program pemerataan yang kemudian diberi nama Bimas Peningkatan Nasional. Suatu proyek percobaan yang dilakukan oleh Bank Rakyat Indonesia di Yogyakarta untuk mengetahui bagaimana cara memperhebat seperti itu jasa kredit pada tingkat desa telah memberikan masukan yang berharga kepada perencana ekonomi tingkat nasional. Program ini kemudian juga diterapkan di luar Jawa..

3.2 Perubahan Sosial Dalam Kehidupan Petani Pedesaan
Dalam masyarakat pra-industri, secara tipikal produksi terdapat dalam unit-unit kekerabatan. Pertanian sederhana adalah yang paling utama; industri-industri lainnya, seperti kerajinan tangan, bersifat melengkapi pertanian, tetapi masih terikat pada kekerabatan dan desa. Dalam beberapa masyarakat tertentu, kedudukan pekerjaan ditentukan oleh suatu kelompok yang luas, seperti kasta umpamanya. Hubungan pertukaran barang juga digariskan oleh sistem-sistem kekerabatan yang tradisional dan oleh kewajiban-kewajiban komunitas. Pendeknya, kegiatan ekonomi relatif tidak didiferensiasikan dari lingkungan kekeluargaan-komunitas tradisional.
Perkembangan ekonomi terutama berarti, pemisahan kegiatan-kegiatan ekonomi dari lingkungan tradisional ini. Dalam sektor pertanian, perkenalan dengan barang-barang yang bernilai uang berarti bahwa, sebagai suatu contoh perubahan dasar dari sistem pertanian sederhana, barang-barang hasil produksi suatu keluarga dipakai oleh keluarga-keluarga lain yang tidak menghasilkannya. Kerja upah dalam sektor pertanian, di mana orang-peroranganlah yang disewa dan bukan keluarga-keluarga, sering merusak unit-unit produksi keluarga. Dalam sektor industri, kerajinan tangan serta industri rumah, seperti halnya dengan pertanian untuk perdagangan, berarti bahwa masing-masing keluarga tidak lagi memproduksi untuk mereka sendiri tetapi untuk keluarga-keluarga lainnya entah di mana dalam pasaran. Apabila manufaktur dan pabrik-pabrik muncul, maka seorang pekerja tidak saja dipisahkan dari pengendalian modalnya tetapi juga dari anggota-anggota keluarganya yang lain, karena ia ditempatkan bersama-sama dengan pekerja-pekerja lainnya yang diperoleh dalam pasaran tenaga kerja. Dengan cara demikianlah modernisasi memisahkan kegiatan-kegiatan ekonomi dari kegiatan-kegiatan kekeluargaan dan komunitas.
Sebagai akibat dari perubahan-perubahan ini, dalam masyarakat petani, hubungan antara seorang petani dalam kehidupan ekonomi sangat berubah. Ia sekarang menerima uang tunai sebagai imbalan kerjanya dan memakainya untuk memperoleh barang-barang dan jasa-jasa di pasaran. Penghasilan dan kesejahteraannya makin lama makin bergantung pada hasil taninya dan makin berkurang pada hak-hak dan kewajiban-kewajiban tradisional yang bersumber pada sanak keluarganya dan tetangganya. Hal ini berarti bahwa petani dalam pasaran yang sedang mengalami proses modernisasi berhadapan dengan persoalan-persoalan penyesuaian diri.
Pertama, ia menyadari bahwa ia dihadapkan pada suatu cara membuat perhitungan yang baru. Dalam hal membagi waktu-waktu kerjanya ia tidak lagi dapat bekerja menurut waktu-waktu yang dikehendakinya sendiri; ia harus menyesuaikan diri dengan tanggapan-tanggapan tertentu mengenai hari kerja dan jam kerja, dan sewaktu bekerja ia harus menyesuaikan diri dengan gerak-gerik mesin atau benda-benda modern lainnya yang ia gunakan, bukan dengan gerak-gerik pikiran dan badannya sendiri. Dalam hal menggunakan kekayaannya, ia harus berpikir dalam rangka sejumlah uang mingguan; sepintas lalu perubahan ini tidak nampak sebagai suatu penyesuaian tetapi apabila kita bandingkan tingkat perhitungan yang diperlukan dengan kegiatan ekonomi sehari-hari dalam lingkungan tradisional, di mana pembayaran dengan uang hampir-hampir tidak terdapat, maka dapatlah kita hargai perubahan-perubahan berarti dalam kehidupan petani tersebut.
Kedua, ia menyadari bahwa pengertian mengenai jaminan hidup ekonominya telah sangat berubah. Dalam suatu sistem pertanian dan kerajinan rumah yang tradisional, seorang pekerja mungkin hanya kekurangan pekerjaan dan bukannya jadi penganggur samasekali karena turun naiknya pasaran. Dalam keadaan seperti ini ia lebih sedikit bekerja dan mencari keluarganya atau sukunya atau tetangganya untuk mendapatkan bantuan. Sebaliknya dalam keadaan sistem pertanian yang sudah bersifat komersial, seorang pekerja (buruh tani) punya kemungkinan tidak memiliki pekerjaan sama sekali apabila musim tanam atau musim menuai sudah selesai. Dalam keadaan yang baru ini, petani akan sangat terpengaruh oleh turun-naiknya kesejahteraan dan ketenteraman ekonomi, sekalipun penghasilan rata-ratanya bisa saja lebih tinggi bila dibandingkan dengan penghasilannya dalam lingkungan tradisional.
Ketiga, dalam hal konsumsi, seorang petani dalam kehidupan yang sedang menjadi modern dihadapkan pada patokan-patokan yang selalu berubah. Pasar di kota menyediakan pelbagai barang baru dalam jumlah yang sangat besar: televisi, kulkas, sepeda, sepeda motor, mobil, radio, VCD, komputer, dan lain-lain. Oleh karena para petani tersebut sebenarnya masih hidup dalam lingkungan budaya agraris yang kemudian dihadapkan pada bentuk-bentuk kesenangan yang baru, maka ia mungkin akan menjadi bingung dan kacau. Sudah barang tentu timbul banyak kesempatan bagi para pedagang untuk menjual barang-barang yang tidak baik dan untuk menipu pembeli yang belum berpengalaman.

3.3. Implikasi Modernisasi terhadap Kehidupan Sosial Petani Pedesaaan
Salah satu akibat dipisahkannya kegiatan-kegiatan ekonomi dari lingkungan keluarga-komunitas adalah bahwa suatu keluarga kehilangan beberapa fungsi dan memperoleh suatu peranan yang khusus. Oleh karena keluarga tidak lagi merupakan suatu unit produksi, maka satu atau lebih dari anggotanya meninggalkannya untuk mencapai pekerjaan dalam pasaran tenaga kerja. Kegiatan-kegiatan keluarga makin lebih terpusat pada kesenangan-kesenangan emosional dan sosialisasi.
Implikasi sosial dari perubahan struktur tersebut sangat besar. Implikasi yang fundamental, yang terutama dipaksakan oleh tuntutan-tuntutan mobilitas keluarga, adalah terjadinya proses individualisasi dan isolasi keluarga batih (nuclear family). Bila keluarga harus mondar-mandir dalam pasaran tenaga kerja, maka tidaklah mungkin untuk membawa seluruh anggota keluarga, malah tidak mungkin untuk mempertahankan hubungan-hubungan yang erat dan yang bercabang-cabang itu dengan para sepupu. Hubungan dengan anggota-anggota keluarga yang seketurunan mulai pecah; hanya beberapa generasi yang menetap dalam satu rumahtangga yang sama; pasangan-pasangan yang baru menikah membentuk rumahtangga sendiri dan meninggalkan para orangtua. Suatu persoalan sosial yang timbul akibat perubahan dalam keluarga ini adalah tempat dari orang-orang yang telah tua sekali. Oleh karena tidak lagi ditampung oleh unit kekerabatan yang melindungi mereka, maka orang-orang yang sangat tua ini jatuh ke dalam pengawasan komunitas atau negara sebagai titipan yang jumlahnya makin lama makin besar.
Perubahan-perubahan sosial-budaya akibat modernisasi, tampaknya juga ditunjang oleh Revolusi Pendidikan, Revolusi Kesehatan, dan Revolusi Transportasi. Semua itu menurut Sajogyo (1982) merupakan keberhasilan-keberhasilan yang mencirikan modernisasi di daerah pedesaan. Akan tetapi, perubahan tersebut belum tentu dapat diartikan sebagai pembangunan, karena pada hakekatnya desa-desa tersebut belum mempunyai kelembagaan dan organisasi yang mampu menggerakkan masyarakat secara mandiri.
Revolusi Pendidikan yang terjadi pada masyarakat desa menyebabkan pendidikan masyarakat desa menjadi semakin tinggi. Hal ini ditandai dengan semakin banyaknya sarana pendidikan yang tersedia di daerah pedesaan. Saat ini, jika ada masyarakat desa yang kuliah di perguruan tinggi dan menjadi sarjana adalah hal yang biasa. Meningkatnya taraf pendidikan masyarakat tentunya juga ditunjang oleh meningkatnya pendapatan masyarakat dari hasil pertanian, karena pendidikan butuh biaya. Dampak dari Revolusi Pendidikan ini ialah semakin berkurangnya minat generasi muda untuk menjalani pekerjaan sebagai petani, terutama mereka yang berpendidikan tinggi. Orangtua yang menyekolahkan anaknya sampai perguruan tinggi, pada umumnya juga berharap agar anaknya kelak tidak lagi menjadi petani seperti dirinya, karena pekerjaan sebagai petani adalah pekerjaan yang berat dan melelahkan, sementara hasil yang diperoleh kadang-kadang tidak seimbang dengan tenaga yang telah dikeluarkan.
Revolusi Kesehatan yang terjadi menyebabkan semakin tingginya tingkat kesehatan penduduk. Dengan adanya puskesmas dan tenaga dokter atau paramedis lainnya, menyebabkan masyarakat semakin menyadari pentingnya arti kesehatan. Semakin baiknya tingkat kesehatan masyarakat desa, di antaranya dapat dilihat dengan semakin rendahnya angka kematian bayi dan angka kematian ibu yang melahirkan. Dengan semakin tingginya pendapatan masyarakat dari hasil pertanian, menyebabkan masyarakat mampu berobat ke dokter atau puskesmas. Jika sebelumnya masyarakat lebih banyak yang berobat ke dukun, termasuk melahirkan, maka sekarang pada umumnya berobat ke rumahsakit, puskesmas atau ke dokter. Sedangkan untuk melahirkan saat ini sebagian besar sudah menggunakan tenaga bidan atau langsung ke rumahsakit atau klinik bersalin. Saat ini juga sudah banyak masyarakat yang memiliki kamar mandi dan WC sendiri di rumah. Sebelumnya masyarakat biasanya menggunakan pancuran atau sungai untuk mandi, sedangkan untuk buang hajat mereka menggunakan kakus di kolam ikan atau di sungai.
Revolusi Transportasi yang terjadi menyebabkan semakin tingginya mobilitas penduduk desa. Dengan adanya jalan raya yang menghubungkan kota dan desa merupakan keuntungan tersendiri bagi petani di pedesaan, sehingga mobilitas penduduknya relatif lebih tinggi. Letak geografis ini menyebabkan desa ramai dilalui oleh berbagai kendaraan dari yang mengangkut hasil tani ke kota. Bila sebelumnya petani harus berjalan kaki atau naik pedati sambil membawa hasil pertaniannya, dengan adanya jalan raya hampir tidak ada lagi orang yang berjalan kaki pergi ke pasar, tetapi naik kendaraan bermotor baik sepeda motor maupun mobil. Petani juga sudah mulai jarang membawa sendiri hasil pertaniannya ke pasar, dikarenakan mereka bisa langsung menjualnya di sawah atau di ladang kepada pedagang yang datang membelinya langsung di sana. Meningkatnya pendapatan masyarakat dari hasil pertanian secara tidak langsung juga ikut menyebabkan tingginya mobilitas penduduk. Dengan memiliki uang yang sedikit berlebih, seorang petani pada saat-saat tertentu, seperti setelah panen atau momen-momen tertentu melakukan rekreasi ke tempat-tempat wisata atau sekedar jalan-jalan untuk melihat-lihat tempat lain.
Perkembangan pertanian di Indonesia ke arah pertanian komersial yang sejak akhir tahun 1960-an, menurut beberapa pengamat, seperti Gordon (1978), Robison (1981), dan Mortimer (1984), sebagaimana dikutip oleh Frans Hsken (1998), merupakan terobosan terhadap hubungan kapitalis dalam ekonomi pertanian padi. Kenyataan di sebagian besar desa di Indonesia, sekelompok kecil penduduk menguasai sebagian besar tanah-tanah pertanian di desa itu menunjukkan terjadinya suatu konsolidasi dalam penguasaan tanah.
Perkembangan ke arah semakin terkonsentrasinya alat produksi terpenting di tangan sekelompok kecil tuan tanah tidak sampai menyebabkan terbentuknya suatu lapisan proletariat tunakisma yang seragam yang dapat memenuhi kebutuhan hidup tergantung seluruhnya dari upah kerja. Rasionalisasi pada panen padi yang terutama disebabkan oleh penggunaan arit dan dipakainya mesin perontok padi telah mengakibatkan penurunan drastis dalam jumlah perempuan pekerja panen. Pengurangan jumlah tenaga kerja upahan seperti ini adalah berlawanan dengan kecenderungan ke arah proletarisasi yang sering dikaitkan orang dengan penetrasi kapitalisme dalam pertanian.
Berkurangnya kebutuhan terhadap tenaga kerja di bidang pertanian, menyebabkan banyak buruh tani yang tidak mendapat pekerjaan setiap hari. Sementara itu, munculnya pusat-pusat industri di kota-kota besar, membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah yang cukup besar. Buruh tani yang tenaganya tidak lagi banyak dibutuhkan, termasuk juga petani-petani yang memiliki lahan sedikit, mulai meninggalkan lahan-lahan pertanian mereka. Terjadinya revolusi hijau yang mengharuskan lahan pertanian untuk berproduksi secara terus-menerus telah menyebabkan turunnya kesuburan tanah. Untuk mengatasinya kemudian dibutuhkan pupuk buatan, alat-alat pertanian modern, dan bibit unggul. Petani yang tidak punya modal cukup, tidak bisa mengikuti sistem ini. Akibatnya, mereka kemudian menjual tanahnya yang hanya sedikit itu, dan selanjutnya menjadi pekerja di lahan orang lain, atau menjadi buruh. Sebagian lainnya kemudian pergi ke kota untuk mencari pekerjaan.
Seiring dengan semakin tingginya mobilitas penduduk dari desa ke kota dan semakin tingginya pendidikan yang diperoleh, banyak anak-anak petani saat ini yang kemudian tidak lagi melanjutkan usaha orangtuanya. Mereka lebih tertarik untuk bekerja di kantor menjadi pegawai, atau berusaha di bidang perdagangan yang dianggap lebih menguntungkan dan tidak terlalu menguras tenaga. Pekerjaan sebagai pegawai negeri, pedagang, atau bergerak di bidang jasa mereka anggap memiliki prestise yang lebih baik daripada menjadi petani.

3.4 Perubahan Sosial Akibat Penerapan Teknologi Pertanian Berkelanjutan
Konsep pertanian yang berkelanjutan saat ini terus berkembang, diperkaya dan dipertajam dengan kajian pemikiran, model, metode, dan teori-teori dari berbagai disiplin ilmu sehingga menjadi kajian ilmu terapan yang diabadikan bagi kemaslahatan umat manusia untuk generasi sekarang dam mendatang. Pertanian berkelanjutan dengan pendekatan sistem dan bersifat holistik mempertautkan berbagai aspek atau gatra dan disiplin ilmu lain yang sudah mapan, antara lain agronomi, ekologi, ekonomi, sosial, dan budaya.
Sistem budidaya pertanian tidak boleh menyimpang dari sistem ekologis yang ada. Keseimbangan adalah indikator adanya harmonisasi dari sistem ekologis yang mekanismenya dikendalikan oleh hukum alam. Misalnya, perburuan ular sawah untuk diambil kulitnya akan mengakibatkan terganggunyakeseimbangan dan ketegangan ekologis berupa timbulnya ledakan populasi tikus sawah, sehingga berubah menjadi hama yang sangat merugikan. Demikian juga penggunaan obat-obat kimia (pestisida, insektisida, fungisida, rodentisida, dan sebagainya) pada sistem ekologi persawahan akan mengakibatkan terganggunya keseimbangan lingkungan karena terbunuhnya organisme non-hama yang sebenarnya bermanfaat. Misalnya saat ini sangat sulit mendapatkan belut, katak hijau, capung, bibis, belalang, dan serangga lain yang hidup liar di sawah. Padahal hewan-hewan tersebut memiliki keterkaitan manfaat, baik sebagai tambahan sumber pangan potensial maupun sebagai penentu keseimbangan hidup komunitas persawahan.
Sistem budidaya pertanian, menurut Salikin (2003) harus mengacu pada pertimbangan untung rugi, baik bagi diri sendiri dan orang lain, untuk jangka pendek dan jangka panjang, serta bagi organisme dalam sistem ekologi maupun di luar sistem ekologi. Motif-motif ekonomi saja tidak cukup menjadi alasan pembenar untuk mengeksploitasi sumberdaya pertanian secara tidak bertanggungjawab. Hal ini dalam jangka pendek memang mampu mendongkrak produktivitas pertanian sehingga secara ekonomis sangat menguntungkan. Akan tetapi, dalam jangka pangjang dampak ekonomis dan ekologis yang ditimbulkan sangat merugikan, terutama bagi generasi yang akan datang. Proses pemiskinan hara tanah, tingkat erosi yang relatif tinggi, dan pendangkalan sungai serta waduk menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan sistem usaha pertanian di masa depan.
Sistem pertanian harus selaras dengan norma-norma sosial dan budaya yuang dianut dan dijunjung tinggi oleh masyarakat di sekitarnya. Sebagai contoh, seorang petani akan mengusahakan peternakan kambing di pekarangan milik sendiri. Secara ekonomis dan ekologis mungkin menjanjikan keuntungan yang layak, namun ditinjau dari aspek sosial dapat memberikan dampak yang kurang baik. Misalnya, pencemaran udara karena bau kotoran atau pencemaran lingkungan karena penggunaan obat-obatan pembersih kandang.
Norma-norma sosial dan budaya harus lebih diperhatikan, apalagi dalam sistem pertanian di Indonesia biasanya jarak antara perumahan penduduk dengan areal pertanian sangat berdekatan. Didukung dengan tingginya nilai sosial-budaya dan agama, maka aspek ini menjadi sangat sensitif dan harus menjadi pertimbangan utama sebelum merencanakan suatu usaha pertanian dalam arti luas. Masing-masing daerah memiliki kekayaan pengetahuan lokal spesifik (local genius) dan tatanan adat di bidang pertanian yang sangat dihormati oleh masyarakat setempat.
Sistem pertanian berkelanjutan merupakan suatu kegiatan yang didasarkan pada nilai-nilai moral. Dasar dari pertimbangan moral tersebut adalah kesadaran yang mendalam bahwa manusia adalah khalifah Tuhan di muka bumi ini, sehingga setiap orang yang terlibat dalam kegiatan pertanian harus memahami, menyadari, dan melaksanakan tanggungjawab kekhalifahannya tersebut. Dengan demikian, sekalipun menjalani kehidupan hanya sebagai petani, namun jika memiliki komitmen moral yang tinggi terhadap sesama dan lingkungan, niscaya sama bermartabatnya seperti profesi lain.
 
4. KESIMPULAN
Modernisasi yang melanda kehidupan masyarakat di berbagai belahan dunia juga melanda kehidupan masyarakat pedesaan. Modernisasi telah menyebabkan terjadinya perubahan besar pada masyarakat, terutama yang bermata pencaharian sebagai petani. Perubahan-perubahan yang terjadi mencakup bidang sosial, budaya, ekonomi, dan lingkungan. Dalam bidang sosial, dengan adanya modernisasi, telah menyebabkan munculnya lapisan-lapisan sosial baru dalam masyarakat, yaitu kelas pekerja atau buruh tani, buruh jemur padi, dan pedagang perantara hasil pertanian.
Dalam bidang budaya, setelah adanya modernisasi, muncul budaya baru dalam masyarakat, yaitu budaya komersialisasi. Kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pendidikan dan kesehatan juga meningkat dengan pesat. Hal ini juga disertai dengan meningkatnya perekonomian masyarakat akibat peningkatan hasil pertanian. Dampak lainnya yang terlihat dari meningkatnya perekonomian masyarakat ini ialah semakin membaiknya kondisi rumah petani, banyaknya petani yang memiliki pesawat televisi, sepeda motor, mobil, dan juga kemampuan mereka menyekolahkan anak-anaknya sampai ke perguruan tinggi. Dalam masalah lingkungan, dampak yang terlihat adalah semakin berkurangnya ikan dan belut saat ini ditemui di sawah. Meluasnya pemakaian pestisida telah menyebabkan kemusnahan beberapa jenis ikan yang biasa hidup di sawah.
Padi jenis unggul yang sekarang dipergunakan oleh sebagian besar petani di pedesaan, membawa keuntungan tersendiri bagi petani, karena usianya lebih pendek, sehingga petani dapat memetik hasil lebih cepat. Penggunaan pupuk kimiawi sebagai ganti pupuk kandang telah berhasil meningkatkan hasil panen per hektarnya. Penggunaan mesin bajak juga turut mempercepat pengolahan tanah, sehingga saat ini petani bisa panen tiga kali dalam setahun. Hal ini tentu saja membuat pendapatan para petani, baik petani pemilik, petani penggarap, maupun buruh tani yang sekarang dapat bekerja di sawah setiap hari.
Modernisasi yang terjadi di pedesaan juga telah menyebabkan terjadinya perubahan besar dalam pola pikir masyarakat pedesaan. Keluarga petani, terutama petani kaya, secara tradisional, memandang pekerjaan sebagai pegawai negeri dengan sebelah mata dan tidak menganggapnya sebagai pekerjaan yang bergengsi. Hal ini disebabkan karena kecilnya gaji yang diterima oleh pegawai negeri setiap bulannya, jauh lebih kecil dari pendapatan yang biasa diterima petani kaya. Hal ini terutama disebabkan karena banyak petani yang menjadi pegawai negeri lebih banyak yang merupakan pegawai golongan rendah karena pendidikan mereka yang juga rendah, seperti penjaga sekolah, pesuruh kantor, pegawai kantor camat, atau guru yang pada waktu itu gajinya tidak seberapa. Pandangan seperti itu sekarang sudah mulai bergeser karena penduduk asli sudah dapat melihat bahwa banyak pula pegawai negeri yang mampu hidup berkecukupan, terutama pegawai golongan tinggi yang juga berpendidikan tinggi.
Dampak yang terlihat dari fenomena ini adalah munculnya keinginan yang kuat dari keluarga petani, terutama petani kaya, untuk menyekolahkan anak-anak mereka setinggi mungkin, kalau perlu dengan menggadaikan sawah dan ladang. Hal ini dilakukan supaya anak-anak mereka kelak dapat menjadi pegawai negeri yang memiliki golongan tinggi, di samping tentunya juga menambah prestise tersendiri bagi mereka. Petani kaya, saat ini akan merasa malu jika anak-anak mereka tidak melanjutkan pendidikan mereka ke jenjang perguruan tinggi, karena hal itu akan membuat prestise mereka jatuh di tengah masyarakat.
Pekerjaan sebagai pedagang yang semula juga dianggap sebagai pekerjaan yang rendah, karena hanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak punya tanah, setelah melihat keberhasilan para pedagang pendatang yang menjadi kaya melalui perdagangan, membuat pandangan petani pun berubah. Saat ini banyak pula anak-anak dari keluarga petani yang lebih cenderung menjadi pedagang daripada menjadi petani, karena mereka merasakan bahwa perputaran uang dalam dunia perdagangan jauh lebih cepat daripada bertani. Faktor lainnya adalah adanya anggapan generasi muda yang mengatakan bahwa pekerjaan sebagai petani sangat berat dan butuh tenaga yang banyak.
Pihak yang turut terlibat dalam modernisasi di bidang pertanian ini di samping petani adalah pemerintah daerah, pedagang perantara, pengusaha huller, pemilik mesin bajak, dan pihak-pihak lainnya yang diuntungkan dengan adanya modernisasi di bidang pertanian ini. Sedangkan pihak yang terluka dengan adanya modernisasi di bidang pertanian ini adalah para pemilik kincir air, pemilik kerbau untuk membajak (walaupun untuk sawah-sawah yang terletak di lereng bukit bajak dengan menggunakan kerbau masih digunakan), dan para peternak itik.
 
DAFTAR PUSTAKA

Adimihardja, Kusnaka (ed.). 1999. Petani Merajut Tradisi Era Globalisasi Pendayagunaan Sistem Pengetahuan Lokal dalam Pembangunan. Humanioran Utama Press. Bandung.
Bechtold, Karl Heinz W. 1988. Politik dan Kebijaksanaan Pembangunan Pertanian. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Dube, S.C. 1988. Modernization and Development: The Search for Alternative Paradigms. Zed Books Ltd. London.
Hsken, Frans. 1998. Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman Sejarah Diferensiasi Sosial di Jawa 1830-1980. PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.
Idris, Soewardi (ed.) 1992. Selayo Kec. Kubung, Kab. Solok. Ikatan Keluarga Selayo. Jakarta.
Long, Norman. 1976. Sosiologi Pembangunan Pedesaan. PT. Bina Aksara. Jakarta.
Koentjaraningrat (ed.), 1984, Masyarakat Desa di Indonesia, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.
Marzali, Amri, 1997. Konsep Peisan dan Kajian Masyarakat Pedesaan di Indonesia, Makalah. Universitas Indonesia, Jakarta,.
Mubyarto, et al., 1994, Keswadayaan Masyarakat Desa Tertinggal, Aditya Media, Yogyakarta.
Mutakin, Awan & R. Gurniawan Kamil Pasya. 2003. Dinamika Masyarakat Pedesaan. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.
Roberts, Timmons and Amy Hite. 2000. From Modernization to Globalization Perspective on Development and Social Change. Blackwell Publishers Inc. Massachusets
Sajogyo, 1982. Modernization Without Development. Centre for Development Study, IPB Bogor.
Salikin, Karwan A. 2003. Sistem Pertanian Berkelanjutan. Kanisius. Yogyakarta.
Schoorl, J.W. 1980. Modernisasi: Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-negara sedang Berkembang. PT. Gramedia. Jakarta.
Suwarsono & Alvin Y. So. 2000. Perubahan Sosial dan Pembangunan. LP3ES. Jakarta.
Weiner, Myron. 1980. Modernisasi Dinamika Pertumbuhan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar