1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perubahan sosial merupakan hal yang tidak bisa
terhindarkan. Perubahan sudah, sedang, dan akan terus terjadi, baik dalam
kehidupan individu maupun kehidupan masyarakat. Sesuai dengan kenyataan yang
ada dalam masyarakat saat ini, perubahan sosial sudah berlangsung sangat
pesat, baik itu perubahan yang sengaja direncanakan oleh para Agent of
change maupun perubahan yang tidak direncanakan. Terjadinya perubahan
social di kalangan masyarakat adalah hal yang wajar yang dialami oleh seluruh
masyarakat di dunia. Akan tetapi tidak semua orang mempunyai kesepakatan sama
dalam mengartikan proses perubahan sosial. Dalam perkembangannya pun para ahli
memperlihatkan perbedaan dalam memahami perubahan sosial. Menurut Thorsten
Veblen, perubahan sosial yang terjadi di masyarakat sangat ditentukan oleh
teknologi. Namun demikian, sulit untuk dibantahkan bahwa teknologi sangat
memengaruhi sikap dan perilaku manusia. Namun tidak semua perubahan sosial yang
terjadi di masyarakat selalu berdampak positif, akan tetapi disisi lain pasti
memiliki dampak negatif. Hal ini dapat kita lihat dalam realitas kehidupan
masyarakat disekitar kita.
Setiap masyarakat manusia selama hidup pasti mengalami
perubahan-perubahan, yang dapat berupa perubahan yang tidak menarik dalam arti
kurang mencolok. Ada pula perubahan-perubahan yang pengaruhnya terbatas maupun
yang luas, serta ada pula perubahan-perubahan yang lambat sekali, tetapi ada
juga yang berjalan dengan cepat. Perubahan-perubahan hanya akan dapat ditemukan
oleh seseorang yang sempat meneliti susunan dan kehidupan suatu masyarakat pada
suatu waktu dan membandingkannya dengan susunan dan kehidupan masyarakat pada
waktu yang lampau. Seseorang yang tidak sempat menelaah susunan dan kehidupan
masyarakat desa khususnya petani di Indonesia misalnya akan berpendapat bahwa
masyarakat tersebut statis, tidak maju, dan tidak berubah. Pernyataan demikian
didasarkan pada pandangan sepintas yang tentu saja kurang mendalam dan kurang
teliti karena tidak ada suatu masyarakat pun yang berhenti pada suatu titik
tertentu sepanjang masa. Orang-orang desa sudah mengenal perdagangan, alat
transportasi modern, bahkan dapat mengikuti berita-berita mengenai daerah lain
melalui radio, televisi, dan sebagainya yang kesemuanya belum dikenal
sebelumnya.
Perubahan-perubahan masyarakat dapat mengenai
nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola perilaku organisasi, susunan
lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan
wewenang, interaksi sosial dan lain sebagainya.
Perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat dunia
dewasa ini merupakan gejala yang normal. Pengaruhnya bisa menjalar dengan cepat
ke bagian-bagian dunia lain berkat adanya komunikasi modern. Penemuan-penemuan
baru di bidang teknologi yang terjadi di suatu tempat dengan cepat dapat
diketahui oleh masyarakat lain yang berada jauh dari tempat tersebut.
Perubahan dalam masyarakat memang telah ada sejak
zaman dahulu. Namun, dewasa ini perubahan-perubahan tersebut berjalan dengan
sangat cepatnya sehingga membingungkan manusia yang menghadapinya, yang sering
berjalan konstan. Perubahan memang terikat oleh waktu dan tempat. Akan tetapi,
karena sifatnya yang berantai, perubahan terlihat berlangsung terus, walau
diselingi keadaan di mana masyarakat mengadakan reorganisasi unsur-unsur struktur
masyarakat yang terkena perubahan.
.
1.2. Tujuan Penulisan
Tulisan dari paper ini adalah untuk membahas mengenai dampak yang diberikan modernisasi terhadap kehidupan petani di pedesaan. Sebagai langkah-langkah
dalam proses menjawab pertanyaan kunci tersebut, serentetan pertanyaan berikut
perlu dijawab: Sampai berapa jauhkah modernisasi melanda kehidupan petani di
daerah pedesaan? Seberapa jauh modernisasi yang terjadi mengubah pola pikir dan
orientasi masa depan petani di pedesaan? Siapa sajakah yang terlibat dalam
proses modernisasi ini dan siapa pula yang dirugikan dengan adanya modernisasi
di pertanian?
2. Tinjauan
Pustaka
2.1 Konsep Modernisasi
Modernisasi menurut Mutakin dan
Pasya (2003), menunjukkan sifat masyarakat secara umum yang dilandasi oleh
sifat modern individu, karena dari individulah tumbuh modernisasi. Sementara
itu Schoorl (1980), menyatakan bahwa pengertian modern dan modernisasi
mengandung kaitan tertentu. Di dalamnya dapat dilihat suatu penghargaan yang
positif, yaitu bahwa modern, termasuk juga modernisasi adalah baik. Di dalam
kebudayaan-kebudayaan Barat biasanya terdapat penghargaan yang demikian itu,
akan tetapi hal tersebut tidak harus demikian. Di dalam kebudayaan-kebudayaan
lain asosiasi itu tidak harus ada. Bagaimana orang menilai
pengertian-pengertian itu, sangat tergantung pada pandangan hidup dan pandangan
dunianya.
Secara sangat ekstrem dapat
dinyatakan bahwa suatu masyarakat dapat mengadakan modernisasi, akan tetapi
bersamaan dengan itu diukur dengan nilai-nilai tertentu berkembang ke jurusan
yang tidak dikehendaki; atau bersamaan dengan itu berkembang ke jurusan yang
sangat kapitalistik, yang tidak dapat diterima atas dasar nilai-nilai marxis;
atau bersamaan dengan itu masyarakat dapat menjadi begitu terkekang, sehingga
atas dasar nilai-nilai kemanusiaan perkembangan itu harus ditolak. Penilaian
terakhir atas proses modernisasi tergantung kepada pandangan dunia orang-orang
yang menilainya.
Menurut Suwarsono dan Alvin Y. So
(2000), teori modernisasi klasik lahir sebagai akibat munculnya Amerika Serikat
sebagai kekuatan dominan dunia setelah Perang Dunia II, terjadinya perluasan
gerakan komunis dunia, dan lahirnya negara-negara merdeka baru di Asia, Afrika,
dan Amerika Latin.
Beberapa teori mengenai
modernisasi di antaranya adalah Teori Evolusi yang lahir pada awal abad ke-19
setelah Revolusi Industri dan Revolusi Perancis. Menurut Suwarsono dan So
(2000), teori ini menganggap bahwa perubahan sosial merupakan gerakan searah
seperti garis lurus, yaitu dari masyarakat primitif menuju masyarakat maju, dan
membaurkan antara pandangan subjektifnya tentang nilai dan tujuan akhir
perubahan sosial menuju masyarakat modern. Perubahan sosial berjalan secara
perlahan dan bertahap selama berabad-abad.
Tradisi pemikiran lain yang
banyak mempengaruhi perumusan acuan-acuan pokok teori modernisasi ialah teori
fungsionalisme dari Talcott Parsons yang menyatakan bahwa, masyarakat mempunyai
berbagai kelembagaan yang saling terkait dan tergantung satu sama lain dan
setiap lembaga yang ada dalam masyarakat melaksanakan tugas tertentu untuk
stabilitas dan pertumbuhan masyarakat tersebut.
Ahli lain, Dube (1988),
menyatakan bahwa modernisasi lebih banyak dihubungkan dengan kota, industri,
dan masyarakat terpelajar, seperti masyarakat Eropa dan Amerika Utara. Konsep
modernisasi yang dikemukakan oleh Dube didasarkan pada tiga asumsi, yaitu (i)
sumber kekuasaan yang mati harus selalu meningkat dibuka dengan maksud untuk
memecahkan permasalahan manusia dan secara minimum diterima untuk memastikan
standar hidup,yang semakin meningkat. (ii) Untuk mencapai tujuan ini dapat
dicapai dengan usaha individu dan kerjasama. Dimensi kerjasama dianggap penting
karena kemampuan hubungan untuk mengoperasikan organisasi yang kompleks adalah
suatu prasyarat sedikitnya pertengahan dan jangkauan modernisasi yang lebih
tinggi. (iii) Untuk menciptakan dan menjalankan organisasi yang kompleks
perubahan kepribadian yang radikal dan perubahan yang menyertainya dalam
struktur sosial dan nilai-nilai dianggap perlu.
Dari beberapa teori yang
dikemukakan oleh ahli-ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa, (i) modernisasi
merupakan proses bertahap, (ii) modernisasi dapat juga dikatakan sebagai proses
homogenisasi, (iii) modernisasi terkadang mewujud dalam bentuk lahirnya sebagai
proses Eropanisasi atau Amerikanisasi, (iv) modernisasi juga dilihat sebagai
proses yang tidak bergerak mundur, (v) modernisasi merupakan perubahan
progresif, dan (vi) modernisasi memerlukan waktu panjang.
2.2 Pengertian dan Konsep mengenai Petani
Petani adalah orang yang menggantungkan hidupnya pada
lahan pertanian sebagai mata pencaharian utamanya. Secara garis besar terdapat
tiga jenis petani, yaitu petani pemilik lahan, petani pemilik yang sekaligus
juga menggarap lahan, dan buruh tani. Secara umum, petani bertempat tinggal di
pedesaan dan sebagian besar di antaranya, terutama yang tinggal di
daerah-daerah yang padat penduduk di Asia Tenggara, hidup di bawah garis
kemiskinan. Kehidupan petani identik dengan kehidupan pedesaan.
Amri Marzali (1997) membedakannya
menjadi peladang atau pekebun, peisan (dari bahasa Inggris Peasant), dan
petani pengusaha atau farmer. Sebagian besar petani yang ada di Indonesia
merupakan peisan atau petani pemilik yang sekaligus juga menggarap lahan
pertanian yang mereka miliki.
Petani peladang atau pekebun
menurut Dobby (1954) dalam Marzali, merupakan tahap yang istimewa dalam
evolusi dari berburu dan meramu sampai pada bercocok tanam yang menetap.
Keistimewaan itu kelihatannya terdiri dari ciri-ciri hampa seperti tidak adanya
hubungan dengan usaha pedesaan dan sangat sedikitnya produksi yang mempunyai
arti penting bagi perdagangan. Gourou (1956), (Ibid.), secara garis
besar menguraikan empat ciri perladangan: (1) dijalankan di tanah tropis yang
kurang subur; (2) berupa teknik pertanian yang elementer tanpa menggunakan
alat-alat kecuali kampak; (3) kepadatan penduduk rendah; dan (4) menyangkut
tingkat konsumsi yang rendah. Pelzer (1957), (Ibid.) menyatakan bahwa
petani peladang ini ciri-cirinya juga ditandai dengan tidak adanya pembajakan,
sedikitnya masukan tenaga kerja dibandingkan dengan cara bercocok tanam yang
lain, tidak menggunakan tenaga hewan ataupun pemupukan, dan tidak adanya konsep
pemilikan tanah pribadi.
Konsep mengenai peasant
sekurang-kurangnya mengacu pada tiga pengertian yang berbeda. Konsep pertama
mengacu pada pandangan Gillian Hart (1986), Robert Hefner (1990), dan Paul
Alexander dkk (1991), (Ibid.), yang menyatakan bahwa istilah peasant
ditujukan kepada semua penduduk pedesaan secara umum, tidak peduli apapun
pekerjaan mereka. Konsep kedua mengacu pada pandangan James C. Scott (1976) dan
Wan Hashim (1984), (Ibid.) yang menyatakan bahwa peasant tidak
mencakup seluruh pedesaan, tetapi hanya terbatas kepada penduduk pedesaan yang
bekerja sebagai petani saja. Konsep ketiga atau terakhir mengacu pada pandangan
Eric Wolf yang kemudian diikuti oleh Frank Ellis (1988), (Ibid.), yang
menyatakan bahwa peasant ditujukan untuk menunjukkan golongan yang lebih
terbatas lagi, yaitu hanya kepada petani yang memiliki lahan pertanian, yang
menggarap sendiri lahan tersebut untuk mendapatkan hasil yang digunakan untuk
memenuhi keperluan hidupnya, bukan untuk dijual, atau yang di Indonesia biasa
disebut sebagai petani pemilik penggarap.
Konsep mengenai farmer
atau petani pengusaha adalah petani kaya yang memiliki tanah luas dan memiliki
banyak buruh atau tenaga kerja yang bekerja untuk mendapatkan upah darinya.
Hasil lahan pertaniannya terutama adalah untuk dijual. Pengolahan lahan sudah
menggunakan peralatan teknologi modern, seperti mesin bajak, traktor, rice
milling, sprayer, dan lain-lain.
2.3 Dinamika
Kehidupan Petani
Karakteristik budaya masyarakat
pedesaan di Indonesia sangat beragam, bahkan dalam satu provinsi sekalipun. Perbedaan tersebut terutama dipengaruhi oleh letak desa dan yang pada
akhirnya juga matapencaharian penduduknya. Tipologi desa berdasarkan
matapencaharian penduduknya adalah desa persawahan, desa perkebunan, desa
peternakan, desa nelayan, desa jasa dan perdagangan, desa industri, serta desa
perladangan (Mubyarto, 1994).
Koentjaraningrat (1984), membagi
komunitas desa di Indonesia menjadi dua golongan berdasarkan usaha taninya,
yaitu (1) desa-desa yang berdasarkan cocok-tanam di ladang, dan (2) desa-desa yang
berdasarkan cocok-tanam di sawah. Desa-desa golongan pertama terletak di
sebagaian besar Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku,
Irian, dan Timor, dengan perkecualian beberapa daerah di Sumatera Utara dan
Barat, daerah pantai Kalimantan, daerah Sulawesi Selatan serta Minahasa, dan
beberapa daerah terbatas yang terpencar di Nusa Tenggara dan Maluku. Desa-desa
golongan kedua terutama terletak di Jawa, Madura, Bali, Lombok, dan merupakan
tempat bermukim hampir 65% penduduk Indonesia, sedangkan areal tempat desa-desa
itu hanya meliputi 7% dari seluruh wilayah Indonesia.
Berikut adalah gambaran menggenai pola kehidupan petani desa yang bercocok tanam di ladang dan di sawah.
A. Bercocok Tanam di Ladang
Teknologi bercocok tanam di
ladang menyebabkan suatu komunitas desa berpindah-pindah yang sangat berbeda
dengan komunitas desa menetap yang didasarkan pada teknologi bercocok tanam di
sawah. Teknologi bercocok tanam di ladang memerlukan tanah yang luas, di suatu
daerah yang masih merupakan hutan rimba yang sedapat mungkin masih perawan.
Para petani mulai membuka suatu ladang dengan membersihkan belukar bawah di
suatu bagian tertentu dari hutan, kemudian menebang pohon-pohon besar.
Batang-batang, cabang-cabang, dahan-dahan, serta daun-daun dibakar, dan dengan
demikian terbukalah suatu ladang yang kemudian ditanami dengan berbagai tanaman
tanpa pengolahan tanah yang berarti, yaitu tanpa dicangkul, diberi air atau
pupuk secara khusus. Abu yang berasal dari pembakaran pohon dianggap cukup
untuk memberi kesuburan pada tanaman. Air pun hanya yang berasal dari hujan
saja, tanpa suatu sistem irigasi yang mengaturnya. Metode penanaman biji juga
sangatlah sederhana, yaitu hanya dengan menggunakan tongkat tugal. Dengan
tongkat itulah para petani laki-laki menusuk lubang ke dalam tanah tempat
biji-biji tanaman dimasukkan oleh para perempuan yang berjalan di belakang
mereka. Pekerjaan selanjutnya adalah membersihkan ladang dari tanaman liar dan
menjaganya terhadap serangan babi hutan, tikus, dan hama lainnya.
Petani ladang meninggalkan
ladangnya setiap dua-tiga kali panen, dan dalam waktu sepuluh tahun mereka
sudah berpindah tempat sebanyak lima-enam kali. Selama waktu itu ladang yang
pertama sudah kembali menjadi hutan, yang kemudian ditempati lagi. Serangkaian
ladang baru yang dibuka oleh para petani ladang itu, seringkali makin jauh
letaknya dari komunitas desa pemukimannya. Oleh karena itu, para petani
biasanya mendirikan gubuk-gubuk sementara dekat ladang yang mereka kerjakan,
agar pada musim-musim yang sibuk mereka dapat tinggal dekat pada lingkaran
usaha tani mereka. Hanya dalam musim-musim ketika kesibukan bercocok-tanam
berkurang mereka pulang ke desa induk mereka untuk melakukan pesta-pesta dan
upacara bersama warga komunitas yang lain.
Cara bercocok-tanam di ladang
hanya dapat dilakukan pada daerah-daerah yang kepadatan penduduknya masih
rendah. Daerah-daerah lain yang memiliki kepadatan penduduk yang lebih tinggi,
sebagian besar dilakukan dengan irigasi di tanah basah, atau sawah.
B. Bercocok Tanam di Sawah
Seorang petani di desa yang
tergolong tipologi desa persawahan, dalam kenyataan menggarap tiga macam tanah
pertanian, yaitu (1) kebun kecil di sekitar rumahnya; (2) tanah pertanian
kering yang digarap dengan menetap, tetapi tanpa irigasi, dan (3) tanah
pertanian basah yang menggunakan irigasi.
Di tanah kebun kecil sekitar
rumah atau yang biasa disebut pekarangan, petani menanam kelapa,
buah-buahan, sayur-mayur, bumbu-bumbu, umbi-umbian dan akar-akaran seperti
berbagai jenis ubi dan singkong yang diperlukan dalam kehidupan rumahtangganya
sehari-hari. Di pekarangan sering pula ada kolam ikan yang selain tempat
pemeliharaan berbagai jenis ikan, tidak jarang pula dipakai sebagai tempat
buang air. Hasil pekarangan sebagian besar dipergunakan untuk konsumsi sendiri,
walaupun tidak sedikit pula yang dijual di pasar desa atau pada pedagang yang
menawarnya.
Di tanah pertanian kering, petani
menanam serangkaian tanaman yang kebanyakan dijual di pasar atau kepada
pedagang. Tanaman itu antara lain jagung, kacang kedelai, berbagai jenis kacang
tanah, tembakau, singkong, umbi-umbian, termasuk juga padi yang dapat tumbuh
secara irigasi. Walaupun tidak diirigasi, tanah kering biasanya digarap secara
intensif, dan tanaman-tanamannya dipupuk dan disiram secara teratur.
3. PEMBAHASAN
3.1 Munculnya Modernisasi Pertanian di Pedesaan
Berkaitan dengan modernisasi
dalam bidang pertanian yang terjadi di Indonesia, Sajogyo (1982) menyatakan
bahwa usaha yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam memodernisasikan petani di daerah pedesaan Jawa, untuk mencukupi kebutuhan beras
sebagai makanan pokok, telah menetapkan kebijakan nasional untuk mendorong
usaha peningkatan hasil padi. Yang pertama: melalui Program” Pusat Padi” (1959-1962).
Suatu otoritas khusus, ” PERTANI” yang diciptakan untuk menerapkan suatu
program yang terintegrasi untuk memberikan suatu alat-alat teknologi pertanian
kepada petani padi untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dengan kredit dan
jasa perluasan intensif, berupa pupuk, peningkatan benih lokal, pestisida, yang
dibayar kembali oleh para petani secara kredit setelah panen.
Gelombang kedua adalah Bimas
program intensifikasi tanaman padi (1964-1967). Yang mencakup “bimbingan
massal, atau pendidikan, tentang petani” yang didasari pada suatu proyek kecil
yang dilakukan oleh dosen dan mahasiswa Institut Pertanian Bogor di tiga desa
di Jawa Barat dalam satu musim (1963/1964).
Program yang ketiga kemudian
menyusul pada tahun 1965-1967 perjuangan politis, yang
ditandai dengan usaha perebutan kekuasaan yang gagal pada tahun 1965, yang
telah mendorong lahirnya Pemerintah Orde Baru dengan presiden baru. Program
yang baru datang dengan beberapa unsur-unsur dari pengaruh hubungan asing yang
baru. Dalam pengembangan tahun pertama yang direncanakan (1968/69-1973/74),
tersedianya beras yang cukup merupakan prioritas utama dengan melakukan
infrastruktur pekerjaan irigasi, yang kebanyakan berada di Pulau Jawa.
Gelombang keempat tentang Bimas
program beras dimulai pada musim hujan 1970/1971, suatu program pemerataan yang
kemudian diberi nama Bimas Peningkatan Nasional. Suatu proyek percobaan yang
dilakukan oleh Bank Rakyat Indonesia di Yogyakarta untuk mengetahui bagaimana
cara memperhebat seperti itu jasa kredit pada tingkat desa telah memberikan
masukan yang berharga kepada perencana ekonomi tingkat nasional. Program ini
kemudian juga diterapkan di luar Jawa..
3.2 Perubahan Sosial Dalam Kehidupan
Petani Pedesaan
Dalam masyarakat pra-industri, secara tipikal produksi
terdapat dalam unit-unit kekerabatan. Pertanian sederhana adalah yang paling
utama; industri-industri lainnya, seperti kerajinan tangan, bersifat melengkapi
pertanian, tetapi masih terikat pada kekerabatan dan desa. Dalam beberapa
masyarakat tertentu, kedudukan pekerjaan ditentukan oleh suatu kelompok yang
luas, seperti kasta umpamanya. Hubungan pertukaran barang juga digariskan oleh
sistem-sistem kekerabatan yang tradisional dan oleh kewajiban-kewajiban
komunitas. Pendeknya, kegiatan ekonomi relatif tidak didiferensiasikan dari
lingkungan kekeluargaan-komunitas tradisional.
Perkembangan ekonomi terutama berarti, pemisahan
kegiatan-kegiatan ekonomi dari lingkungan tradisional ini. Dalam sektor
pertanian, perkenalan dengan barang-barang yang bernilai uang berarti bahwa,
sebagai suatu contoh perubahan dasar dari sistem pertanian sederhana,
barang-barang hasil produksi suatu keluarga dipakai oleh keluarga-keluarga lain
yang tidak menghasilkannya. Kerja upah dalam sektor pertanian, di mana
orang-peroranganlah yang disewa dan bukan keluarga-keluarga, sering merusak
unit-unit produksi keluarga. Dalam sektor industri, kerajinan tangan serta
industri rumah, seperti halnya dengan pertanian untuk perdagangan, berarti
bahwa masing-masing keluarga tidak lagi memproduksi untuk mereka sendiri tetapi
untuk keluarga-keluarga lainnya entah di mana dalam pasaran. Apabila manufaktur
dan pabrik-pabrik muncul, maka seorang pekerja tidak saja dipisahkan dari
pengendalian modalnya tetapi juga dari anggota-anggota keluarganya yang lain,
karena ia ditempatkan bersama-sama dengan pekerja-pekerja lainnya yang
diperoleh dalam pasaran tenaga kerja. Dengan cara demikianlah modernisasi
memisahkan kegiatan-kegiatan ekonomi dari kegiatan-kegiatan kekeluargaan dan
komunitas.
Sebagai akibat dari perubahan-perubahan ini, dalam
masyarakat petani, hubungan antara seorang petani dalam kehidupan ekonomi
sangat berubah. Ia sekarang menerima uang tunai sebagai imbalan kerjanya dan
memakainya untuk memperoleh barang-barang dan jasa-jasa di pasaran. Penghasilan
dan kesejahteraannya makin lama makin bergantung pada hasil taninya dan makin
berkurang pada hak-hak dan kewajiban-kewajiban tradisional yang bersumber pada
sanak keluarganya dan tetangganya. Hal ini berarti bahwa petani dalam pasaran
yang sedang mengalami proses modernisasi berhadapan dengan persoalan-persoalan
penyesuaian diri.
Pertama, ia menyadari bahwa ia dihadapkan pada suatu
cara membuat perhitungan yang baru. Dalam hal membagi waktu-waktu kerjanya ia
tidak lagi dapat bekerja menurut waktu-waktu yang dikehendakinya sendiri; ia
harus menyesuaikan diri dengan tanggapan-tanggapan tertentu mengenai hari kerja
dan jam kerja, dan sewaktu bekerja ia harus menyesuaikan diri dengan
gerak-gerik mesin atau benda-benda modern lainnya yang ia gunakan, bukan dengan
gerak-gerik pikiran dan badannya sendiri. Dalam hal menggunakan kekayaannya, ia
harus berpikir dalam rangka sejumlah uang mingguan; sepintas lalu perubahan ini
tidak nampak sebagai suatu penyesuaian tetapi apabila kita bandingkan tingkat
perhitungan yang diperlukan dengan kegiatan ekonomi sehari-hari dalam
lingkungan tradisional, di mana pembayaran dengan uang hampir-hampir tidak
terdapat, maka dapatlah kita hargai perubahan-perubahan berarti dalam kehidupan
petani tersebut.
Kedua, ia menyadari bahwa pengertian mengenai jaminan
hidup ekonominya telah sangat berubah. Dalam suatu sistem pertanian dan
kerajinan rumah yang tradisional, seorang pekerja mungkin hanya kekurangan
pekerjaan dan bukannya jadi penganggur samasekali karena turun naiknya pasaran.
Dalam keadaan seperti ini ia lebih sedikit bekerja dan mencari keluarganya atau
sukunya atau tetangganya untuk mendapatkan bantuan. Sebaliknya dalam keadaan
sistem pertanian yang sudah bersifat komersial, seorang pekerja (buruh tani)
punya kemungkinan tidak memiliki pekerjaan sama sekali apabila musim tanam atau
musim menuai sudah selesai. Dalam keadaan yang baru ini, petani akan sangat
terpengaruh oleh turun-naiknya kesejahteraan dan ketenteraman ekonomi,
sekalipun penghasilan rata-ratanya bisa saja lebih tinggi bila dibandingkan
dengan penghasilannya dalam lingkungan tradisional.
Ketiga, dalam hal konsumsi, seorang petani dalam
kehidupan yang sedang menjadi modern dihadapkan pada patokan-patokan yang
selalu berubah. Pasar di kota menyediakan pelbagai barang baru dalam jumlah
yang sangat besar: televisi, kulkas, sepeda, sepeda motor, mobil, radio, VCD,
komputer, dan lain-lain. Oleh karena para petani tersebut sebenarnya masih
hidup dalam lingkungan budaya agraris yang kemudian dihadapkan pada
bentuk-bentuk kesenangan yang baru, maka ia mungkin akan menjadi bingung dan
kacau. Sudah barang tentu timbul banyak kesempatan bagi para pedagang untuk
menjual barang-barang yang tidak baik dan untuk menipu pembeli yang belum
berpengalaman.
3.3. Implikasi Modernisasi terhadap Kehidupan Sosial Petani Pedesaaan
Salah satu akibat dipisahkannya kegiatan-kegiatan
ekonomi dari lingkungan keluarga-komunitas adalah bahwa suatu keluarga
kehilangan beberapa fungsi dan memperoleh suatu peranan yang khusus. Oleh
karena keluarga tidak lagi merupakan suatu unit produksi, maka satu atau lebih
dari anggotanya meninggalkannya untuk mencapai pekerjaan dalam pasaran tenaga
kerja. Kegiatan-kegiatan keluarga makin lebih terpusat pada
kesenangan-kesenangan emosional dan sosialisasi.
Implikasi sosial dari perubahan struktur tersebut sangat
besar. Implikasi yang fundamental, yang terutama dipaksakan oleh
tuntutan-tuntutan mobilitas keluarga, adalah terjadinya proses individualisasi
dan isolasi keluarga batih (nuclear family). Bila keluarga harus
mondar-mandir dalam pasaran tenaga kerja, maka tidaklah mungkin untuk membawa seluruh
anggota keluarga, malah tidak mungkin untuk mempertahankan hubungan-hubungan
yang erat dan yang bercabang-cabang itu dengan para sepupu. Hubungan dengan
anggota-anggota keluarga yang seketurunan mulai pecah; hanya beberapa generasi
yang menetap dalam satu rumahtangga yang sama; pasangan-pasangan yang baru
menikah membentuk rumahtangga sendiri dan meninggalkan para orangtua. Suatu
persoalan sosial yang timbul akibat perubahan dalam keluarga ini adalah tempat
dari orang-orang yang telah tua sekali. Oleh karena tidak lagi ditampung oleh
unit kekerabatan yang melindungi mereka, maka orang-orang yang sangat tua ini
jatuh ke dalam pengawasan komunitas atau negara sebagai titipan yang jumlahnya
makin lama makin besar.
Perubahan-perubahan sosial-budaya akibat modernisasi,
tampaknya juga ditunjang oleh Revolusi Pendidikan, Revolusi Kesehatan, dan
Revolusi Transportasi. Semua itu menurut Sajogyo (1982) merupakan
keberhasilan-keberhasilan yang mencirikan modernisasi di daerah pedesaan. Akan
tetapi, perubahan tersebut belum tentu dapat diartikan sebagai pembangunan,
karena pada hakekatnya desa-desa tersebut belum mempunyai kelembagaan dan
organisasi yang mampu menggerakkan masyarakat secara mandiri.
Revolusi Pendidikan yang terjadi pada masyarakat desa
menyebabkan pendidikan masyarakat desa menjadi semakin tinggi. Hal ini ditandai
dengan semakin banyaknya sarana pendidikan yang tersedia di daerah pedesaan.
Saat ini, jika ada masyarakat desa yang kuliah di perguruan tinggi dan menjadi
sarjana adalah hal yang biasa. Meningkatnya taraf pendidikan masyarakat
tentunya juga ditunjang oleh meningkatnya pendapatan masyarakat dari hasil
pertanian, karena pendidikan butuh biaya. Dampak dari Revolusi Pendidikan ini
ialah semakin berkurangnya minat generasi muda untuk menjalani pekerjaan
sebagai petani, terutama mereka yang berpendidikan tinggi. Orangtua yang
menyekolahkan anaknya sampai perguruan tinggi, pada umumnya juga berharap agar
anaknya kelak tidak lagi menjadi petani seperti dirinya, karena pekerjaan
sebagai petani adalah pekerjaan yang berat dan melelahkan, sementara hasil yang
diperoleh kadang-kadang tidak seimbang dengan tenaga yang telah dikeluarkan.
Revolusi Kesehatan yang terjadi menyebabkan semakin
tingginya tingkat kesehatan penduduk. Dengan adanya puskesmas dan tenaga dokter
atau paramedis lainnya, menyebabkan masyarakat semakin menyadari pentingnya
arti kesehatan. Semakin baiknya tingkat kesehatan masyarakat desa, di antaranya
dapat dilihat dengan semakin rendahnya angka kematian bayi dan angka kematian
ibu yang melahirkan. Dengan semakin tingginya pendapatan masyarakat dari hasil
pertanian, menyebabkan masyarakat mampu berobat ke dokter atau puskesmas. Jika
sebelumnya masyarakat lebih banyak yang berobat ke dukun, termasuk melahirkan,
maka sekarang pada umumnya berobat ke rumahsakit, puskesmas atau ke dokter.
Sedangkan untuk melahirkan saat ini sebagian besar sudah menggunakan tenaga
bidan atau langsung ke rumahsakit atau klinik bersalin. Saat ini juga sudah
banyak masyarakat yang memiliki kamar mandi dan WC sendiri di rumah. Sebelumnya
masyarakat biasanya menggunakan pancuran atau sungai untuk mandi, sedangkan
untuk buang hajat mereka menggunakan kakus di kolam ikan atau di sungai.
Revolusi Transportasi yang terjadi menyebabkan semakin
tingginya mobilitas penduduk desa. Dengan adanya jalan raya yang menghubungkan kota
dan desa merupakan keuntungan tersendiri bagi petani di pedesaan, sehingga
mobilitas penduduknya relatif lebih tinggi. Letak geografis ini menyebabkan desa
ramai dilalui oleh berbagai kendaraan dari yang mengangkut hasil tani ke kota. Bila
sebelumnya petani harus berjalan kaki atau naik pedati sambil membawa hasil
pertaniannya, dengan adanya jalan raya hampir tidak ada lagi orang yang
berjalan kaki pergi ke pasar, tetapi naik kendaraan bermotor baik sepeda motor
maupun mobil. Petani juga sudah mulai jarang membawa sendiri hasil pertaniannya
ke pasar, dikarenakan mereka bisa langsung menjualnya di sawah atau di ladang
kepada pedagang yang datang membelinya langsung di sana. Meningkatnya
pendapatan masyarakat dari hasil pertanian secara tidak langsung juga ikut
menyebabkan tingginya mobilitas penduduk. Dengan memiliki uang yang sedikit
berlebih, seorang petani pada saat-saat tertentu, seperti setelah panen atau momen-momen
tertentu melakukan rekreasi ke tempat-tempat wisata atau sekedar jalan-jalan
untuk melihat-lihat tempat lain.
Perkembangan pertanian di
Indonesia ke arah pertanian komersial yang sejak akhir tahun 1960-an, menurut
beberapa pengamat, seperti Gordon (1978), Robison (1981), dan Mortimer (1984),
sebagaimana dikutip oleh Frans Hsken (1998), merupakan terobosan terhadap
hubungan kapitalis dalam ekonomi pertanian padi. Kenyataan di sebagian besar
desa di Indonesia, sekelompok kecil penduduk menguasai sebagian besar
tanah-tanah pertanian di desa itu menunjukkan terjadinya suatu konsolidasi
dalam penguasaan tanah.
Perkembangan ke arah semakin
terkonsentrasinya alat produksi terpenting di tangan sekelompok kecil tuan
tanah tidak sampai menyebabkan terbentuknya suatu lapisan proletariat tunakisma
yang seragam yang dapat memenuhi kebutuhan hidup tergantung seluruhnya dari
upah kerja. Rasionalisasi pada panen padi yang terutama disebabkan oleh
penggunaan arit dan dipakainya mesin perontok padi telah mengakibatkan
penurunan drastis dalam jumlah perempuan pekerja panen. Pengurangan jumlah
tenaga kerja upahan seperti ini adalah berlawanan dengan kecenderungan ke arah
proletarisasi yang sering dikaitkan orang dengan penetrasi kapitalisme dalam
pertanian.
Berkurangnya kebutuhan terhadap
tenaga kerja di bidang pertanian, menyebabkan banyak buruh tani yang tidak
mendapat pekerjaan setiap hari. Sementara itu, munculnya pusat-pusat industri
di kota-kota besar, membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah yang cukup besar. Buruh
tani yang tenaganya tidak lagi banyak dibutuhkan, termasuk juga petani-petani
yang memiliki lahan sedikit, mulai meninggalkan lahan-lahan pertanian mereka.
Terjadinya revolusi hijau yang mengharuskan lahan pertanian untuk berproduksi
secara terus-menerus telah menyebabkan turunnya kesuburan tanah. Untuk
mengatasinya kemudian dibutuhkan pupuk buatan, alat-alat pertanian modern, dan
bibit unggul. Petani yang tidak punya modal cukup, tidak bisa mengikuti sistem
ini. Akibatnya, mereka kemudian menjual tanahnya yang hanya sedikit itu, dan
selanjutnya menjadi pekerja di lahan orang lain, atau menjadi buruh. Sebagian
lainnya kemudian pergi ke kota untuk mencari pekerjaan.
Seiring dengan semakin tingginya
mobilitas penduduk dari desa ke kota dan semakin tingginya pendidikan yang
diperoleh, banyak anak-anak petani saat ini yang kemudian tidak lagi
melanjutkan usaha orangtuanya. Mereka lebih tertarik untuk bekerja di kantor
menjadi pegawai, atau berusaha di bidang perdagangan yang dianggap lebih
menguntungkan dan tidak terlalu menguras tenaga. Pekerjaan sebagai pegawai
negeri, pedagang, atau bergerak di bidang jasa mereka anggap memiliki prestise
yang lebih baik daripada menjadi petani.
3.4 Perubahan Sosial Akibat Penerapan Teknologi Pertanian Berkelanjutan
Konsep pertanian yang berkelanjutan saat ini terus
berkembang, diperkaya dan dipertajam dengan kajian pemikiran, model, metode,
dan teori-teori dari berbagai disiplin ilmu sehingga menjadi kajian ilmu
terapan yang diabadikan bagi kemaslahatan umat manusia untuk generasi sekarang
dam mendatang. Pertanian berkelanjutan dengan pendekatan sistem dan bersifat
holistik mempertautkan berbagai aspek atau gatra dan disiplin ilmu lain yang
sudah mapan, antara lain agronomi, ekologi, ekonomi, sosial, dan budaya.
Sistem budidaya pertanian tidak boleh menyimpang dari
sistem ekologis yang ada. Keseimbangan adalah indikator adanya harmonisasi dari
sistem ekologis yang mekanismenya dikendalikan oleh hukum alam. Misalnya,
perburuan ular sawah untuk diambil kulitnya akan mengakibatkan
terganggunyakeseimbangan dan ketegangan ekologis berupa timbulnya ledakan
populasi tikus sawah, sehingga berubah menjadi hama yang sangat merugikan.
Demikian juga penggunaan obat-obat kimia (pestisida, insektisida, fungisida,
rodentisida, dan sebagainya) pada sistem ekologi persawahan akan mengakibatkan
terganggunya keseimbangan lingkungan karena terbunuhnya organisme non-hama yang
sebenarnya bermanfaat. Misalnya saat ini sangat sulit mendapatkan belut, katak
hijau, capung, bibis, belalang, dan serangga lain yang hidup liar di sawah.
Padahal hewan-hewan tersebut memiliki keterkaitan manfaat, baik sebagai
tambahan sumber pangan potensial maupun sebagai penentu keseimbangan hidup
komunitas persawahan.
Sistem budidaya pertanian, menurut Salikin (2003)
harus mengacu pada pertimbangan untung rugi, baik bagi diri sendiri dan orang
lain, untuk jangka pendek dan jangka panjang, serta bagi organisme dalam sistem
ekologi maupun di luar sistem ekologi. Motif-motif ekonomi saja tidak cukup
menjadi alasan pembenar untuk mengeksploitasi sumberdaya pertanian secara tidak
bertanggungjawab. Hal ini dalam jangka pendek memang mampu mendongkrak
produktivitas pertanian sehingga secara ekonomis sangat menguntungkan. Akan
tetapi, dalam jangka pangjang dampak ekonomis dan ekologis yang ditimbulkan
sangat merugikan, terutama bagi generasi yang akan datang. Proses pemiskinan
hara tanah, tingkat erosi yang relatif tinggi, dan pendangkalan sungai serta
waduk menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan sistem usaha pertanian di masa
depan.
Sistem pertanian harus selaras dengan norma-norma
sosial dan budaya yuang dianut dan dijunjung tinggi oleh masyarakat di
sekitarnya. Sebagai contoh, seorang petani akan mengusahakan peternakan kambing
di pekarangan milik sendiri. Secara ekonomis dan ekologis mungkin menjanjikan
keuntungan yang layak, namun ditinjau dari aspek sosial dapat memberikan dampak
yang kurang baik. Misalnya, pencemaran udara karena bau kotoran atau pencemaran
lingkungan karena penggunaan obat-obatan pembersih kandang.
Norma-norma sosial dan budaya harus lebih
diperhatikan, apalagi dalam sistem pertanian di Indonesia biasanya jarak antara
perumahan penduduk dengan areal pertanian sangat berdekatan. Didukung dengan
tingginya nilai sosial-budaya dan agama, maka aspek ini menjadi sangat sensitif
dan harus menjadi pertimbangan utama sebelum merencanakan suatu usaha pertanian
dalam arti luas. Masing-masing daerah memiliki kekayaan pengetahuan lokal
spesifik (local genius) dan tatanan adat di bidang pertanian yang sangat
dihormati oleh masyarakat setempat.
Sistem pertanian berkelanjutan merupakan suatu
kegiatan yang didasarkan pada nilai-nilai moral. Dasar dari pertimbangan moral
tersebut adalah kesadaran yang mendalam bahwa manusia adalah khalifah Tuhan di
muka bumi ini, sehingga setiap orang yang terlibat dalam kegiatan pertanian
harus memahami, menyadari, dan melaksanakan tanggungjawab kekhalifahannya
tersebut. Dengan demikian, sekalipun menjalani kehidupan hanya sebagai petani,
namun jika memiliki komitmen moral yang tinggi terhadap sesama dan lingkungan,
niscaya sama bermartabatnya seperti profesi lain.
4. KESIMPULAN
Modernisasi yang melanda kehidupan masyarakat di
berbagai belahan dunia juga melanda kehidupan masyarakat pedesaan. Modernisasi
telah menyebabkan terjadinya perubahan besar pada masyarakat, terutama yang
bermata pencaharian sebagai petani. Perubahan-perubahan yang terjadi mencakup
bidang sosial, budaya, ekonomi, dan lingkungan. Dalam bidang sosial, dengan
adanya modernisasi, telah menyebabkan munculnya lapisan-lapisan sosial baru
dalam masyarakat, yaitu kelas pekerja atau buruh tani, buruh jemur padi, dan
pedagang perantara hasil pertanian.
Dalam bidang budaya, setelah adanya modernisasi,
muncul budaya baru dalam masyarakat, yaitu budaya komersialisasi. Kesadaran
masyarakat terhadap pentingnya pendidikan dan kesehatan juga meningkat dengan
pesat. Hal ini juga disertai dengan meningkatnya perekonomian masyarakat akibat
peningkatan hasil pertanian. Dampak lainnya yang terlihat dari meningkatnya
perekonomian masyarakat ini ialah semakin membaiknya kondisi rumah petani,
banyaknya petani yang memiliki pesawat televisi, sepeda motor, mobil, dan juga
kemampuan mereka menyekolahkan anak-anaknya sampai ke perguruan tinggi. Dalam
masalah lingkungan, dampak yang terlihat adalah semakin berkurangnya ikan dan
belut saat ini ditemui di sawah. Meluasnya pemakaian pestisida telah
menyebabkan kemusnahan beberapa jenis ikan yang biasa hidup di sawah.
Padi jenis unggul yang sekarang dipergunakan oleh
sebagian besar petani di pedesaan, membawa keuntungan tersendiri bagi petani,
karena usianya lebih pendek, sehingga petani dapat memetik hasil lebih cepat.
Penggunaan pupuk kimiawi sebagai ganti pupuk kandang telah berhasil
meningkatkan hasil panen per hektarnya. Penggunaan mesin bajak juga turut
mempercepat pengolahan tanah, sehingga saat ini petani bisa panen tiga kali
dalam setahun. Hal ini tentu saja membuat pendapatan para petani, baik petani
pemilik, petani penggarap, maupun buruh tani yang sekarang dapat bekerja di
sawah setiap hari.
Modernisasi yang terjadi di pedesaan juga telah
menyebabkan terjadinya perubahan besar dalam pola pikir masyarakat pedesaan. Keluarga
petani, terutama petani kaya, secara tradisional, memandang pekerjaan sebagai
pegawai negeri dengan sebelah mata dan tidak menganggapnya sebagai pekerjaan
yang bergengsi. Hal ini disebabkan karena kecilnya gaji yang diterima oleh
pegawai negeri setiap bulannya, jauh lebih kecil dari pendapatan yang biasa
diterima petani kaya. Hal ini terutama disebabkan karena banyak petani yang menjadi pegawai negeri lebih banyak yang
merupakan pegawai golongan rendah karena pendidikan mereka yang juga rendah,
seperti penjaga sekolah, pesuruh kantor, pegawai kantor camat, atau guru yang
pada waktu itu gajinya tidak seberapa. Pandangan seperti itu sekarang sudah
mulai bergeser karena penduduk asli sudah dapat melihat bahwa banyak pula
pegawai negeri yang mampu hidup berkecukupan, terutama pegawai golongan tinggi
yang juga berpendidikan tinggi.
Dampak yang terlihat dari
fenomena ini adalah munculnya keinginan yang kuat dari keluarga petani,
terutama petani kaya, untuk menyekolahkan anak-anak mereka setinggi mungkin,
kalau perlu dengan menggadaikan sawah dan ladang. Hal ini dilakukan supaya
anak-anak mereka kelak dapat menjadi pegawai negeri yang memiliki golongan
tinggi, di samping tentunya juga menambah prestise tersendiri bagi mereka.
Petani kaya, saat ini akan merasa malu jika anak-anak mereka tidak melanjutkan
pendidikan mereka ke jenjang perguruan tinggi, karena hal itu akan membuat
prestise mereka jatuh di tengah masyarakat.
Pekerjaan sebagai pedagang yang
semula juga dianggap sebagai pekerjaan yang rendah, karena hanya dilakukan oleh
orang-orang yang tidak punya tanah, setelah melihat keberhasilan para pedagang
pendatang yang menjadi kaya melalui perdagangan, membuat pandangan petani pun
berubah. Saat ini banyak pula anak-anak dari keluarga petani yang lebih
cenderung menjadi pedagang daripada menjadi petani, karena mereka merasakan
bahwa perputaran uang dalam dunia perdagangan jauh lebih cepat daripada
bertani. Faktor lainnya adalah adanya anggapan generasi muda yang mengatakan
bahwa pekerjaan sebagai petani sangat berat dan butuh tenaga yang banyak.
Pihak yang turut terlibat dalam modernisasi di bidang
pertanian ini di samping petani adalah pemerintah daerah, pedagang perantara,
pengusaha huller, pemilik mesin bajak, dan pihak-pihak lainnya yang
diuntungkan dengan adanya modernisasi di bidang pertanian ini. Sedangkan pihak
yang terluka dengan adanya modernisasi di bidang pertanian ini adalah para
pemilik kincir air, pemilik kerbau untuk membajak (walaupun untuk sawah-sawah
yang terletak di lereng bukit bajak dengan menggunakan kerbau masih digunakan),
dan para peternak itik.
DAFTAR PUSTAKA
Adimihardja, Kusnaka (ed.). 1999.
Petani Merajut Tradisi Era Globalisasi Pendayagunaan Sistem Pengetahuan
Lokal dalam Pembangunan. Humanioran Utama Press. Bandung.
Bechtold, Karl Heinz W. 1988. Politik
dan Kebijaksanaan Pembangunan Pertanian. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Dube, S.C. 1988. Modernization
and Development: The Search for Alternative Paradigms. Zed Books Ltd.
London.
Hsken, Frans. 1998. Masyarakat
Desa dalam Perubahan Zaman Sejarah Diferensiasi Sosial di Jawa 1830-1980. PT
Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.
Idris, Soewardi (ed.) 1992. Selayo
Kec. Kubung, Kab. Solok. Ikatan Keluarga Selayo. Jakarta.
Long, Norman. 1976. Sosiologi
Pembangunan Pedesaan. PT. Bina Aksara. Jakarta.
Koentjaraningrat (ed.), 1984, Masyarakat
Desa di Indonesia, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.
Marzali, Amri, 1997. Konsep Peisan dan Kajian
Masyarakat Pedesaan di Indonesia, Makalah. Universitas Indonesia,
Jakarta,.
Mubyarto, et al., 1994, Keswadayaan
Masyarakat Desa Tertinggal, Aditya Media, Yogyakarta.
Mutakin, Awan & R. Gurniawan
Kamil Pasya. 2003. Dinamika Masyarakat Pedesaan. Departemen Pendidikan
Nasional. Jakarta.
Roberts, Timmons and Amy Hite.
2000. From Modernization to Globalization Perspective on Development and
Social Change. Blackwell Publishers Inc. Massachusets
Sajogyo, 1982. Modernization
Without Development. Centre for Development Study, IPB Bogor.
Salikin, Karwan A. 2003. Sistem
Pertanian Berkelanjutan. Kanisius. Yogyakarta.
Schoorl, J.W. 1980. Modernisasi:
Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-negara sedang Berkembang. PT.
Gramedia. Jakarta.
Suwarsono & Alvin Y. So.
2000. Perubahan Sosial dan Pembangunan. LP3ES. Jakarta.
Weiner, Myron. 1980. Modernisasi
Dinamika Pertumbuhan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar