Beberapa Kelompok nelayan di Tanjung Limau Kota
Bontang membuat koperasi yang diberi nama Koperasi Bontang Ekonomi Pariwisata
dan Maritim disingkat Koperasi BEM dengan bantuan pendampingan Program Creating Shared Value (CSV) PT Pupuk
Kaltim pada bulan Februari 2017. Nelayan berharap, lewat koperasi yang
didirikan, kesulitan ekonomi bisa diselesaikan secara perlahan-lahan.
Mukhtar, ketua Koperasi BEM mengatakan, ide membuat
koperasi datang setelah kunjungan ke lokasi budidaya ikan Kerapu di Keramba
jaring Apung (KJA) di Tanjung Lesung Banten yang sangat maju berkat adanya
koperasi Nelayan. Usaha yang pertama kali terfikir bagi Koperasi BEM yaitu
Budidaya Ikan di KJA, Mukhtar berkeyakinan suatu saat kegiatan budidaya ikan di
KJA akan memiliki manfaat dan meningkatkan kesejahteraan nelayan Tanjung Limau.
Walau secara mata pencaharian kebanyakan masyarakat tanjung limau menjadi
nelayan yang mempunyai karakteristik dan sifat yang saling bertolakbelakang
dengan sifat pembudidaya ikan.
Inisiasi awal pembentukan koperasi BEM
Karakteristik nelayan berbeda dengan karakterisik pembudidaya ikan atau
petani. Dari segi penghasilan, pembudidaya ikan dan petani mempunyai pendapatan
yang dapat dikontrol karena pola panen yang terkontrol sehingga hasil pangan
atau ternak yang mereka miliki dapat ditentukan untuk mencapai hasil pendapatan
yang mereka inginkan. Berbeda halnya dengan nelayan yang setiap hari bergelut
dengan laut untuk mendapatkan penghasilan, maka pendapatan yang mereka inginkan
tidak bisa dikontrol. Nelayan menghadapi sumberdaya yang bersifat open acces dan beresiko tinggi. Hal tersebut menyebabkan masyarakat
pesisir sepeti nelayan cenderung memiliki karakter yang tegas, keras, dan
terbuka.
Karakteristik lain yang sangat mencolok di nelayan adalah ketergantungan
mereka pada musim. Ketergantungan pada musim ini akan semakin besar pada
nelayan kecil. Pada musim penangkapan, para nelayan akan sangat sibuk melaut.
Sebaliknya, pada musim peceklik kegiatan melaut menjadi berkurang sehingga
banyak nelayan yang terpaksa menganggur. Nelayan juga bisa dikategorikan
masyarakat yang masih terbelakang dan berada dalam posisi marginal. Selain itu,
banyak dimensi kehidupan yang tidak diketahui oleh orang luar tentang
karakteristik nelayan. Nelayan mempunyai cara berbeda dalam aspek pengetahuan,
kepercayaan, peranan sosial, dan struktur sosialnya. Sementara itu, dibalik
kemarginalannya, nelayan tidak mempunyai banyak cara dalam mengatasi masalah
yang hadir.
Kunjungan Deputi Perkoperasian Kemenkop UMKM
PERBEDAAN
ASPEK SOSIAL BUDAYA NELAYAN DAN PEMBUDIDAYA IKAN
Masyarakat
nelayan dan masyarakat pembudidaya ikan memiliki perbedaan secara ekonomi dan
sosial budaya. Realita ini jelas tergambar dalam kehidupan antara kedua
kelompok masyarakat tersebut di Indonesia. Berdasarkan UU No 31 Tahun 2004,
masyarakat nelayan diartikan sebagai orang yang mata pencahariannya melakukan
penangkapan ikan, dimana penangkapan ikan dilakukan untuk memperoleh ikan di
perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apa pun,
termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan,
mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya. Sedangkan
masyarakat pembudidaya ikan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan
pernbudidayaan ikan, yaitu kegiatan untuk memelihara, membesarkan, dan/atau
membiakkan ikan serta memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol,
termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat,mengangkut, menyimpan,
mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya
Berdasarkan
aspek ekonomi dan sosial budaya, perbedaan kedua kelompok masyarakat
diidentifikasi sebagai berikut :
- Mata pencaharian; masyarakat nelayan banyak menggantungkan hidupnya sehari-hari pada sumber daya laut. Pekerjaan menangkap ikan merupakan pekerjaan yang penuh resiko dan umumnya karena itu hanya dapat dikerjakan oleh lelaki, hal ini mengandung arti keluarga yang lain tidak dapat mebantu secara penuh. Selain itu, jam kerja yang harus mengikuti siklus bulan yaitu dalam satu bulan yang dapat dimanfaatkan untuk melaut hanya 20 hari sisanya mereka relatif menganggur. Berbeda dengan masyarakat pembudidaya ikan, dimana keberhasilan usaha yang dilakukan berdasarkan pengetahuan dan teknologi berdasarkan kualitas dan daya dukung perairannya serta kemampuan dalam ketepatan penanganan. Usaha budidaya juga dapat melibatkan seluruh keluarga serta dapat berlangsung secara terus menerus bergantung pada siklus usaha budidaya yang dilakukan. Contohnya budidaya rumput laut yang dapat dipanen selama 45 hari dan dapat dilanjutkan kembali pemanenan pada 45 hari selanjutnya.
- Lokasi usaha atau kegiatan; kegiatan usaha masyarakat nelayan yang pada umumnya mendiami sepanjang pesisir dan daerah kepulauan, hanya akan melakukan usaha penangkapan ikan di wilayah laut, baik di wilayah pesisir pantai dan laut lepas. Sedangkan masyarakat pembudidaya ikan bisa melakukan kegiatan usahanya di darat dan dilaut, mulai wilayah pegunungan, perbukitan, dataran rendah, pantai, perairan dangkal dan laut lepas. Usaha budidaya di laut contohnya budidaya rumput laut dan tiram mutiara, usaha budidaya di perairan payau atau wilayah pesisir adalah tambak, dan usaha budidaya di darat contohnya budidaya karamba ikan di sungai dan danau.
- Teknologi; teknologi usaha penangkapan ikan yang dilakukan masyarakat nelayan dibedakan berdasarkan tujuan ikan tangkapan dan dapat dimodifikasi berdasarkan kemampuan dan kebutuhan nelayan pemiliknya. Alat tangkap yang digunakan untuk ikan perenang cepat dan berukuran besar harus menggunakan longline, sedangkan untuk ikan yang bergerombol menggunakan purse seine, ikan yang berukuran kecil atau jenis crustacean menggunakan gillnet, dan lain-lain. Proses transformasi teknologi pada masyarakat nelayan tradisional umumnya lambat, karena berfikir masalah efektifitas penggunaan bahan bakar dan modal usaha yang bertambah, jangkauan penangkapan yang jauh sehingga jumlah hari juga bertambah. Berbeda dengan masyarakat nelayan modern.
- Sedangkan pada usaha budidaya ikan, teknologi yang digunakan untuk keberhasilan usahanya harus memperhatikan lokasi budidaya, desain konstruksi, benih, pakan, pengelolaan produksi, serta hama dan penyakit. Penentuan lokasi budidaya yang dikembangkan untuk mencapai produksi jenis komoditas budidaya secara optimal memerlukan kecermatan serta kecocokan metoda yang digunakan. Dalam hal ini, pemilihan lokasi untuk budidaya ikan harus mempertimbangkan aspek teknis dan non teknisnya. Desain konstruksi sarana usaha budidaya yang dilakukan seperti untuk tambak atau karamba atau kolam harus mempertimbangkan metoda yang digunakan. Persyaratan pembenihan yang digunakan untuk budidaya perlu diperhatikan penyediaan benihnya, penanganan dan transportasinya agar benih yang betul-betul sehat. Begitu juga dengan penanganan pakan yang perlu diperhatikan sampai ikan siap dipanen. Pengelolaan produksi yang dilakukan meliputi pengaturan pola tanam yang perlu disesuaikan dengan ketersediaan seperti (benih, pakan) dan pengaruh dari musim serta ketersediaan pasar, carapembenihan, cara pemberian pakan, dan penanganan hasil. Permasalahan dalam usaha budidaya seperti hama dan penyakit harus diketahui cara-cara pencegahan dan penanganannya.
- Strata sosial; struktur sosial nelayan sering kali dicirikan dengan adanya pola patron-klien. Kuatnya ikatan patron klien tersebut merupakan konsekwensi dari sifat kegiatan penangkapan ikan yang penuh resiko dan ketidakpastian. Berdasarkan kelas sosialnya, nelayan terbagi atas juragan bakul, juragan kapal dan nelayan buruh. Kelas pemilik sebagai juragan relatif kesejahteraannya lebih baik karena menguasai factor produksi seperti kapal, mesin alat tangkap maupun factor pendukungnya seperti es , garam dan lainnya. Kelas lainnya yang merupakan mayoritas adalah pekerja atau penerima upah dari pemilik factor produksi dan kalaupun mereka mengusahakan sendiri factor/ alat produksinya masih sangat konvensional, sehingga produktivitasnya tidak berkembang, kelompok inilah yang terus berhadapan dan digeluti oleh kemiskinan. Nelayan buruh tidak memiliki alat-alat produksi yang dalam kegiatannya, nelayan buruh hanya menyumbangkan jasa atau tenaganya dengan hak-hak yang sangat terbatas. Jumlah nelayan buruh di desa nelayan sangatlah besar. Sedangkan pada masyarakat pembudidaya ikan umumnya kelas sosial terbagi atas pemilik dan buruh saja. Untuk usaha budidaya skala kecil pembudidaya ikan pemilik juga sekaligus merangkap sebagai buruh.
- Mobilitas; mobilitas teritorial masyarakat nelayan di Indonesia dikenal sangat tinggi, Hal ini ditunjukkan dengan terjadinya perpindahan masyarakat antar daerah. Banyak kita jumpai nelayan asal Indramayu dan Cirebon berada di Muara Angke, atau nelayan Bugis dan Bajo di banyak tempat di wilayah pesisir Indonesia. Berbeda sekali sekali dengan masyarakat pembudidaya ikan yang cenderung lebih menetap seperti layaknya masyarakat pertanian.
- Potensi konflik; masyarakat nelayan pada umumnya memiliki persoalan yang lebih komplek yang memiliki ciri-ciri khusus seperti pengunaan wilayah pesisir dan lautan sebagai milik bersama (common property) dan bersifat terbuka (open access). Namun demikian dengan diberikannya wewenang daerah berdasarkan UU No 22 Tahun 1999 dan dirubah pada UU No.32 Tahun 2004, persepsi masyarakat nelayan mengenai wilayah laut yang manganggap adanya pembatasan kepemilikan menjadi pemicu timbulnya konflik antar nelayan yang berbeda daerah yang melakukan kegiatan penangkapan ikan didaerah lain. Selain itu, upaya penangkapan ikan yang dilakukan sebagian masyarakat nelayan yang dianggap merusak habitat dan ekosistem sumberdaya seperti penggunaan trawl atau pembiusan ikan karang juga menyebabkan timbulnya konflik antar nelayan, karena saat ini sudah banyak sosialisasi kepada nelayan tentang pentingnya menjaga ekosistem dan penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan. Luasnya perairan laut menyebabkan tingkat heterogenitas nelayan yang sering berinteraksi merupakan bagian dari terjadinya konflik antar nelayan. Berbeda sekali dengan masyarakat pembudidaya ikan yang umumnya melakukan kegiatan yang tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya, baik pada budidaya laut, budidaya tambak, dan budidaya di danau atau sungai dan lainnya. Sehingga intensitas interaksi yang sedikit meminimalisir terjadinya potensi konflik. Adapun terjadinya konflik seperti yang terjadi pada budidaya perikanan, adalah karena pengaruh jangka panjang akibat pencemaran di wilayah hulu.
- Budaya dan ritual; masyarakat nelayan dikenal sebagai masyarakat yang memiliki cara berfikir, pandangan dan sikap yang diwariskan secara turun menurun, masih berpegang pada adat dan kebiasaan yang sudah ada sebagaimana masyarakat tradisional lainnya. Sistem kepercayaan masyarakat nelayan terhadap “penguasa” laut yang diwujudkan dalam upacara-upacara persembahan sesaji seperti upacara petik laut, atau buang saji atau labuh saji atau nyadran atau nadran atau pesta laut merupakan peristiwa budaya yang biasa dilakukan masyarakat nelayan. Kegiatan ini harus diakui sebagai sejarah tradisi masyarakat pesisir yang berasal dari anyaman nilai-nilai yang sangat dinamis,dan merupakan gabungan berbagai elemen masyarakat pesisir yang menjadi ciri dari kebudayaan pantai, dikemas dalam bentuk ritus sosisal. Umumnya, kegiatan budaya ini merupakan bentuk upacara rasa syukur kepada Tuhan YME, atas limpahan tangkapan ikan serta permohonan keselamatan di laut. Pada masyarakat perikanan budaya, kegiatan ritual seperti ini tidak ditemui.
TANTANGAN
AWAL SANG KETUA
Merubah pola
fikir nelayan menjadi seorang pembudidaya memang bukan sesuatu yang gampang,
butuh waktu dan proses yang sangat lama. Mukhtar sang Ketua Koperasi BEM rela
menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mengali potensi anggota sekaligus
menyamakan persepsi demi tujuan besar yaitu majunya kegiatan budidaya ikan di
Kota Bontang yang telah diimpikan selama ini.
Namun berkat
sentuhan program Creating Shared Value
(CSV) PT Pupuk Kaltim, perlahan perubahan pola fikir itu terjadi, beberapa
kegiatan yang dilakukan dalam rangkap perubahan pola fikir anggota Koperasi BEM
antara lain :
1. Pembenahan
lokasi bagi sekretariat Koperasi BEM
2. Pembekalan
Kelembagaan Koperasi, dimana anggota Koperasi BEM diperlihatkan hak dan
kewajibannya sebagai anggota Koperasi
Pembekalan Kelembagaan Koperasi
3. Pembekalan
Teknis Budidaya Ikan di KJA, dimana anggota Koperasi BEM diajari seluk beluk
budidaya ikan di KJA serta pengelolaan keuangan saat kegiatan budidaya yang
sama sekali jauh dengan kondisi saat anggota koperasi menjadi nelayan
Pembekalan teknis budidaya ikan di KJA
4. Sertifikasi
Cara Budidaya Ikan di KJA Yang Baik, dimana setiap anggota Koperasi BEM diuji
seberapa cakap mengelola kegiatan budidaya Ikan di KJA. Mengelola ikan di KJA
itu sama halnya seperti kita mengurus anak masih kecil, perlu ketelatenan,
kesabaran dan ketepatan. Pola perilaku nelayan diajak untuk menyesuaikan dengan
kondisi dimana semua pekerjaan serba teratur dan termonitor dengan baik.
5. Saat mulai
awal kegiatan budidaya ikan di KJA semua masih fasilitasi oleh program Creating Shared Value (CSV) PT Pupuk
Kaltim baik sarana prasarana, bibit dan sarana pencari pakan (Bagan apung).
Pada awal
kegiatan KJA dibangun sebanyak 24 petak dan selanjutnya ditambah 18 petak,
bibit yang ditanam sebanyak 10.000 ekor (kerapu cantang, cantik, sunu dan
bebek) serta 1 unit bagan apung.
Anggota
Koperasi BEM hanya dituntut untuk menjaga dan mengelola kegiatan budidaya ikan.
di KJA
KJA Program CSV PT Pupuk Kaltim
Penebaran Bibit Kerapu Program CSV PT Pupuk Kaltim
6. Anggota
koperasi BEM tiap bulan dikumpulkan rapat bulanan untuk kegiatan monitoring dan
evaluasi kegiatan yang telah dilaksanakan. Disini dituntut peran Mukhtar
sebagai Ketua Koperasi BEM bagaimana caranya agar anggota Koperasi dapat secara
sadar mengikuti kegiatan rapat karena menganggap kegiatan tersebut harus
diikuti agar satu persepsi kedepannya.
Kegiatan pertemuan rutin bulanan anggota Koperasi BEM
7. Anggota
Koperasi BEM selalu diinformasikan dari segala bentuk kegiatan baik yang sudah
dilaksanakan maupun yang akan dilaksanakan termasuk transparansi keuangan.
Mukhtar sebagai Ketua menginginkan anggota Koperasi BEM faham akan banyaknya
kegiatan yang dilakukan koperasi serta arah kerja koperasi demi mendukung
kesejahteraan yang ingin dicapai.
Segala jenis
perizinan yang harus dilalui koperasi BEM seperti pembuatan akte koperasi,
pengurusan badan hukum koperasi serta segala jenis persuratan yang berhubungan
dengan pihak luar, selalu dikoordinasikan dan dibagi tugaskan dengan semua
anggota.
Apabila ada
anggota yang kurang aktif, Mukhtar selalu berinisiatif mengajak ngobrol dari
hati ke hati agar tidak ada hal yang di kemudian hari yang menyimpang dari
tujuan awal ber-koperasi.
Proses pengapalan ikan kerapu hasil budidaya di KJA
HASIL YANG
DICAPAI
Selama
setahun telah berjalan koperasi BEM bisa dilihat perkembangannya, kesolidan
anggota koperasi apabila ada kegiatan hampir semua turun tangan. Hal ini bisa
dilihat pada panen perdana ikan kerapu hasil budidaya pada desember 2017, semua
anggota turun membantu proses mulai dari persiapan, pengurusan perizinan serta
proses pengapalan.
Anggota
koperasi pun bertambah menjadi 49 orang ada akhir desember 2017 dari awalnya 30
orang saat pembentukan. Hal ini membuktikan bahwa banyak nelayan yang tertari
untuk bergabung akibat kesolidan anggota serta hasil yang didapat.
Kedepan juga
dibawah kepemimpinan mukhtar, Koperasi BEM dipercaya mendapat mengelola Ice
Flake 1,5 ton dan Kapal penangkap ikan bantuan dari Kementerian Kelautan dan
Perikanan. Hal yang palig membanggakan dari hal diatas, adalah bagaimana
manajemen Koperasi dibawah kendali Mukhtar yang baru satu tahun berjalan dapt
dipercaya mengelola sarana prasarana yang begitu besar dan memang sangat
diidamkan oleh anggotanya.
Mukhtar
selaku ketua juga mengucapkan terima kasih atas berkat sentuhan program Creating Shared Value (CSV) PT Pupuk
Kaltim dalam membesarkan Koperasi BEM dan berharap kerjasama ini dapat
berlanjut demi kemajuan serta kesejahteraan anggota.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar