Selasa, 30 Oktober 2018

MUKHTAR, KETUA KOPERASI BEM : PERUBAH POLA FIKIR NELAYAN KOTA BONTANG








Beberapa Kelompok nelayan di Tanjung Limau Kota Bontang membuat koperasi yang diberi nama Koperasi Bontang Ekonomi Pariwisata dan Maritim disingkat Koperasi BEM dengan bantuan pendampingan Program Creating Shared Value (CSV) PT Pupuk Kaltim pada bulan Februari 2017. Nelayan berharap, lewat koperasi yang didirikan, kesulitan ekonomi bisa diselesaikan secara perlahan-lahan.
Mukhtar, ketua Koperasi BEM mengatakan, ide membuat koperasi datang setelah kunjungan ke lokasi budidaya ikan Kerapu di Keramba jaring Apung (KJA) di Tanjung Lesung Banten yang sangat maju berkat adanya koperasi Nelayan. Usaha yang pertama kali terfikir bagi Koperasi BEM yaitu Budidaya Ikan di KJA, Mukhtar berkeyakinan suatu saat kegiatan budidaya ikan di KJA akan memiliki manfaat dan meningkatkan kesejahteraan nelayan Tanjung Limau. Walau secara mata pencaharian kebanyakan masyarakat tanjung limau menjadi nelayan yang mempunyai karakteristik dan sifat yang saling bertolakbelakang dengan sifat pembudidaya ikan.


 Inisiasi awal pembentukan koperasi BEM

Karakteristik nelayan berbeda dengan karakterisik pembudidaya ikan atau petani. Dari segi penghasilan, pembudidaya ikan dan petani mempunyai pendapatan yang dapat dikontrol karena pola panen yang terkontrol sehingga hasil pangan atau ternak yang mereka miliki dapat ditentukan untuk mencapai hasil pendapatan yang mereka inginkan. Berbeda halnya dengan nelayan yang setiap hari bergelut dengan laut untuk mendapatkan penghasilan, maka pendapatan yang mereka inginkan tidak bisa dikontrol. Nelayan menghadapi sumberdaya yang bersifat open acces dan beresiko tinggi. Hal tersebut menyebabkan masyarakat pesisir sepeti nelayan cenderung memiliki karakter yang tegas, keras, dan terbuka.
Karakteristik lain yang sangat mencolok di nelayan adalah ketergantungan mereka pada musim. Ketergantungan pada musim ini akan semakin besar pada nelayan kecil. Pada musim penangkapan, para nelayan akan sangat sibuk melaut. Sebaliknya, pada musim peceklik kegiatan melaut menjadi berkurang sehingga banyak nelayan yang terpaksa menganggur. Nelayan juga bisa dikategorikan masyarakat yang masih terbelakang dan berada dalam posisi marginal. Selain itu, banyak dimensi kehidupan yang tidak diketahui oleh orang luar tentang karakteristik nelayan. Nelayan mempunyai cara berbeda dalam aspek pengetahuan, kepercayaan, peranan sosial, dan struktur sosialnya. Sementara itu, dibalik kemarginalannya, nelayan tidak mempunyai banyak cara dalam mengatasi masalah yang hadir.



Kunjungan Deputi Perkoperasian Kemenkop UMKM

PERBEDAAN ASPEK SOSIAL BUDAYA NELAYAN DAN PEMBUDIDAYA IKAN

Masyarakat nelayan dan masyarakat pembudidaya ikan memiliki perbedaan secara ekonomi dan sosial budaya. Realita ini jelas tergambar dalam kehidupan antara kedua kelompok masyarakat tersebut di Indonesia. Berdasarkan UU No 31 Tahun 2004, masyarakat nelayan diartikan sebagai orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan, dimana penangkapan ikan dilakukan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apa pun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya. Sedangkan masyarakat pembudidaya ikan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan pernbudidayaan ikan, yaitu kegiatan untuk memelihara, membesarkan, dan/atau membiakkan ikan serta memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat,mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya
Berdasarkan aspek ekonomi dan sosial budaya, perbedaan kedua kelompok masyarakat diidentifikasi sebagai berikut :
  1. Mata pencaharian; masyarakat nelayan banyak menggantungkan hidupnya sehari-hari pada sumber daya laut. Pekerjaan menangkap ikan merupakan pekerjaan yang penuh resiko dan umumnya karena itu hanya dapat dikerjakan oleh lelaki, hal ini mengandung arti keluarga yang lain tidak dapat mebantu secara penuh. Selain itu, jam kerja yang harus mengikuti siklus bulan yaitu dalam satu bulan yang dapat dimanfaatkan untuk melaut hanya 20 hari sisanya mereka relatif menganggur. Berbeda dengan masyarakat pembudidaya ikan, dimana keberhasilan usaha yang dilakukan berdasarkan pengetahuan dan teknologi berdasarkan kualitas dan daya dukung perairannya serta kemampuan dalam ketepatan penanganan. Usaha budidaya juga dapat melibatkan seluruh keluarga serta dapat berlangsung secara terus menerus bergantung pada siklus usaha budidaya yang dilakukan. Contohnya budidaya rumput laut yang dapat dipanen selama 45 hari dan dapat dilanjutkan kembali pemanenan pada 45 hari selanjutnya.
  2. Lokasi usaha atau kegiatan; kegiatan usaha masyarakat nelayan yang pada umumnya mendiami sepanjang pesisir dan daerah kepulauan, hanya akan melakukan usaha penangkapan ikan di wilayah laut, baik di wilayah pesisir pantai dan laut lepas. Sedangkan masyarakat pembudidaya ikan bisa melakukan kegiatan usahanya di darat dan dilaut, mulai wilayah pegunungan, perbukitan, dataran rendah, pantai, perairan dangkal dan laut lepas. Usaha budidaya di laut contohnya budidaya rumput laut dan tiram mutiara, usaha budidaya di perairan payau atau wilayah pesisir adalah tambak, dan usaha budidaya di darat contohnya budidaya karamba ikan di sungai dan danau.
  3. Teknologi; teknologi usaha penangkapan ikan yang dilakukan masyarakat nelayan dibedakan berdasarkan tujuan ikan tangkapan dan dapat dimodifikasi berdasarkan kemampuan dan kebutuhan nelayan pemiliknya. Alat tangkap yang digunakan untuk ikan perenang cepat dan berukuran besar harus menggunakan longline, sedangkan untuk ikan yang bergerombol menggunakan purse seine, ikan yang berukuran kecil atau jenis crustacean menggunakan gillnet, dan lain-lain. Proses transformasi teknologi pada masyarakat nelayan tradisional umumnya lambat, karena berfikir masalah efektifitas penggunaan bahan bakar dan modal usaha yang bertambah, jangkauan penangkapan yang jauh sehingga jumlah hari juga bertambah. Berbeda dengan masyarakat nelayan modern.
  4. Sedangkan pada usaha budidaya ikan, teknologi yang digunakan untuk keberhasilan usahanya harus memperhatikan lokasi budidaya, desain konstruksi, benih, pakan, pengelolaan produksi, serta hama dan penyakit. Penentuan lokasi budidaya yang dikembangkan untuk mencapai produksi jenis komoditas budidaya secara optimal memerlukan kecermatan serta kecocokan metoda yang digunakan. Dalam hal ini, pemilihan lokasi untuk budidaya ikan harus mempertimbangkan aspek teknis dan non teknisnya. Desain konstruksi sarana usaha budidaya yang dilakukan seperti untuk tambak atau karamba atau kolam harus mempertimbangkan metoda yang digunakan. Persyaratan pembenihan yang digunakan untuk budidaya perlu diperhatikan penyediaan benihnya, penanganan dan transportasinya agar benih yang betul-betul sehat. Begitu juga dengan penanganan pakan yang perlu diperhatikan sampai ikan siap dipanen. Pengelolaan produksi yang dilakukan meliputi pengaturan pola tanam yang perlu disesuaikan dengan ketersediaan seperti (benih, pakan) dan pengaruh dari musim serta ketersediaan pasar, carapembenihan, cara pemberian pakan, dan penanganan hasil. Permasalahan dalam usaha budidaya seperti hama dan penyakit harus diketahui cara-cara pencegahan dan penanganannya.
  5. Strata sosial; struktur sosial nelayan sering kali dicirikan dengan adanya pola patron-klien. Kuatnya ikatan patron klien tersebut merupakan konsekwensi dari sifat kegiatan penangkapan ikan yang penuh resiko dan ketidakpastian. Berdasarkan kelas sosialnya, nelayan terbagi atas juragan bakul, juragan kapal dan nelayan buruh. Kelas pemilik sebagai juragan relatif kesejahteraannya lebih baik karena menguasai factor produksi seperti kapal, mesin alat tangkap maupun factor pendukungnya seperti es , garam dan lainnya. Kelas lainnya yang merupakan mayoritas adalah pekerja atau penerima upah dari pemilik factor produksi dan kalaupun mereka mengusahakan sendiri factor/ alat produksinya masih sangat konvensional, sehingga produktivitasnya tidak berkembang, kelompok inilah yang terus berhadapan dan digeluti oleh kemiskinan. Nelayan buruh tidak memiliki alat-alat produksi yang dalam kegiatannya, nelayan buruh hanya menyumbangkan jasa atau tenaganya dengan hak-hak yang sangat terbatas. Jumlah nelayan buruh di desa nelayan sangatlah besar. Sedangkan pada masyarakat pembudidaya ikan umumnya kelas sosial terbagi atas pemilik dan buruh saja. Untuk usaha budidaya skala kecil pembudidaya ikan pemilik juga sekaligus merangkap sebagai buruh.
  6. Mobilitas; mobilitas teritorial masyarakat nelayan di Indonesia dikenal sangat tinggi, Hal ini ditunjukkan dengan terjadinya perpindahan masyarakat antar daerah. Banyak kita jumpai nelayan asal Indramayu dan Cirebon berada di Muara Angke, atau nelayan Bugis dan Bajo di banyak tempat di wilayah pesisir Indonesia. Berbeda sekali sekali dengan masyarakat pembudidaya ikan yang cenderung lebih menetap seperti layaknya masyarakat pertanian.
  7. Potensi konflik; masyarakat nelayan pada umumnya memiliki persoalan yang lebih komplek yang memiliki ciri-ciri khusus seperti pengunaan wilayah pesisir dan lautan sebagai milik bersama (common property) dan bersifat terbuka (open access). Namun demikian dengan diberikannya wewenang daerah berdasarkan UU No 22 Tahun 1999 dan dirubah pada UU No.32 Tahun 2004, persepsi masyarakat nelayan mengenai wilayah laut yang manganggap adanya pembatasan kepemilikan menjadi pemicu timbulnya konflik antar nelayan yang berbeda daerah yang melakukan kegiatan penangkapan ikan didaerah lain. Selain itu, upaya penangkapan ikan yang dilakukan sebagian masyarakat nelayan yang dianggap merusak habitat dan ekosistem sumberdaya seperti penggunaan trawl atau pembiusan ikan karang juga menyebabkan timbulnya konflik antar nelayan, karena saat ini sudah banyak sosialisasi kepada nelayan tentang pentingnya menjaga ekosistem dan penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan. Luasnya perairan laut menyebabkan tingkat heterogenitas nelayan yang sering berinteraksi merupakan bagian dari terjadinya konflik antar nelayan. Berbeda sekali dengan masyarakat pembudidaya ikan yang umumnya melakukan kegiatan yang tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya, baik pada budidaya laut, budidaya tambak, dan budidaya di danau atau sungai dan lainnya. Sehingga intensitas interaksi yang sedikit meminimalisir terjadinya potensi konflik. Adapun terjadinya konflik seperti yang terjadi pada budidaya perikanan, adalah karena pengaruh jangka panjang akibat pencemaran di wilayah hulu.
  8. Budaya dan ritual; masyarakat nelayan dikenal sebagai masyarakat yang memiliki cara berfikir, pandangan dan sikap yang diwariskan secara turun menurun, masih berpegang pada adat dan kebiasaan yang sudah ada sebagaimana masyarakat tradisional lainnya. Sistem kepercayaan masyarakat nelayan terhadap “penguasa” laut yang diwujudkan dalam upacara-upacara persembahan sesaji seperti upacara petik laut, atau buang saji atau labuh saji atau nyadran atau nadran atau pesta laut merupakan peristiwa budaya yang biasa dilakukan masyarakat nelayan. Kegiatan ini harus diakui sebagai sejarah tradisi masyarakat pesisir yang berasal dari anyaman nilai-nilai yang sangat dinamis,dan merupakan gabungan berbagai elemen masyarakat pesisir yang menjadi ciri dari kebudayaan pantai, dikemas dalam bentuk ritus sosisal. Umumnya, kegiatan budaya ini merupakan bentuk upacara rasa syukur kepada Tuhan YME, atas limpahan tangkapan ikan serta permohonan keselamatan di laut. Pada masyarakat perikanan budaya, kegiatan ritual seperti ini tidak ditemui.

TANTANGAN AWAL SANG KETUA
Merubah pola fikir nelayan menjadi seorang pembudidaya memang bukan sesuatu yang gampang, butuh waktu dan proses yang sangat lama. Mukhtar sang Ketua Koperasi BEM rela menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mengali potensi anggota sekaligus menyamakan persepsi demi tujuan besar yaitu majunya kegiatan budidaya ikan di Kota Bontang yang telah diimpikan selama ini.
Namun berkat sentuhan program Creating Shared Value (CSV) PT Pupuk Kaltim, perlahan perubahan pola fikir itu terjadi, beberapa kegiatan yang dilakukan dalam rangkap perubahan pola fikir anggota Koperasi BEM antara lain :
      1.    Pembenahan lokasi bagi sekretariat Koperasi BEM
     2.  Pembekalan Kelembagaan Koperasi, dimana anggota Koperasi BEM diperlihatkan hak dan kewajibannya sebagai anggota Koperasi

Pembekalan Kelembagaan Koperasi

     3.    Pembekalan Teknis Budidaya Ikan di KJA, dimana anggota Koperasi BEM diajari seluk beluk budidaya ikan di KJA serta pengelolaan keuangan saat kegiatan budidaya yang sama sekali jauh dengan kondisi saat anggota koperasi menjadi nelayan

Pembekalan teknis budidaya ikan di KJA
   4.   Sertifikasi Cara Budidaya Ikan di KJA Yang Baik, dimana setiap anggota Koperasi BEM diuji seberapa cakap mengelola kegiatan budidaya Ikan di KJA. Mengelola ikan di KJA itu sama halnya seperti kita mengurus anak masih kecil, perlu ketelatenan, kesabaran dan ketepatan. Pola perilaku nelayan diajak untuk menyesuaikan dengan kondisi dimana semua pekerjaan serba teratur dan termonitor dengan baik. 
   5.    Saat mulai awal kegiatan budidaya ikan di KJA semua masih fasilitasi oleh program Creating Shared Value (CSV) PT Pupuk Kaltim baik sarana prasarana, bibit dan sarana pencari pakan (Bagan apung).
Pada awal kegiatan KJA dibangun sebanyak 24 petak dan selanjutnya ditambah 18 petak, bibit yang ditanam sebanyak 10.000 ekor (kerapu cantang, cantik, sunu dan bebek) serta 1 unit bagan apung.
Anggota Koperasi BEM hanya dituntut untuk menjaga dan mengelola kegiatan budidaya ikan. di KJA

KJA Program CSV PT Pupuk Kaltim



 Penebaran Bibit Kerapu Program CSV PT Pupuk Kaltim
  
    6.    Anggota koperasi BEM tiap bulan dikumpulkan rapat bulanan untuk kegiatan monitoring dan evaluasi kegiatan yang telah dilaksanakan. Disini dituntut peran Mukhtar sebagai Ketua Koperasi BEM bagaimana caranya agar anggota Koperasi dapat secara sadar mengikuti kegiatan rapat karena menganggap kegiatan tersebut harus diikuti agar satu persepsi kedepannya.



Kegiatan pertemuan rutin bulanan anggota Koperasi BEM
  
   7.    Anggota Koperasi BEM selalu diinformasikan dari segala bentuk kegiatan baik yang sudah dilaksanakan maupun yang akan dilaksanakan termasuk transparansi keuangan. Mukhtar sebagai Ketua menginginkan anggota Koperasi BEM faham akan banyaknya kegiatan yang dilakukan koperasi serta arah kerja koperasi demi mendukung kesejahteraan yang ingin dicapai.
Segala jenis perizinan yang harus dilalui koperasi BEM seperti pembuatan akte koperasi, pengurusan badan hukum koperasi serta segala jenis persuratan yang berhubungan dengan pihak luar, selalu dikoordinasikan dan dibagi tugaskan dengan semua anggota.
Apabila ada anggota yang kurang aktif, Mukhtar selalu berinisiatif mengajak ngobrol dari hati ke hati agar tidak ada hal yang di kemudian hari yang menyimpang dari tujuan awal ber-koperasi.




 Proses pengapalan ikan kerapu hasil budidaya di KJA


HASIL YANG DICAPAI

Selama setahun telah berjalan koperasi BEM bisa dilihat perkembangannya, kesolidan anggota koperasi apabila ada kegiatan hampir semua turun tangan. Hal ini bisa dilihat pada panen perdana ikan kerapu hasil budidaya pada desember 2017, semua anggota turun membantu proses mulai dari persiapan, pengurusan perizinan serta proses pengapalan.
Anggota koperasi pun bertambah menjadi 49 orang ada akhir desember 2017 dari awalnya 30 orang saat pembentukan. Hal ini membuktikan bahwa banyak nelayan yang tertari untuk bergabung akibat kesolidan anggota serta hasil yang didapat.
Kedepan juga dibawah kepemimpinan mukhtar, Koperasi BEM dipercaya mendapat mengelola Ice Flake 1,5 ton dan Kapal penangkap ikan bantuan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Hal yang palig membanggakan dari hal diatas, adalah bagaimana manajemen Koperasi dibawah kendali Mukhtar yang baru satu tahun berjalan dapt dipercaya mengelola sarana prasarana yang begitu besar dan memang sangat diidamkan oleh anggotanya.
Mukhtar selaku ketua juga mengucapkan terima kasih atas berkat sentuhan program Creating Shared Value (CSV) PT Pupuk Kaltim dalam membesarkan Koperasi BEM dan berharap kerjasama ini dapat berlanjut demi kemajuan serta kesejahteraan anggota.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar