Senin, 26 Februari 2018

INDIKATOR PENGUKURAN POTENSI PENGEMBANGAN WILAYAH



A.   PENGERTIAN INDIKATOR
Indikator adalah ukuran yang digunakan untuk membandingkan perubahan keadaan, atau kemajuan atau memantau hasil dari suatu kegiatan, proyek, atau program dalam rentang waktu tertentu. Indikator diperoleh dari hasil pengumpulan data yang sengaja dirancang dengan menggunakan instrumen dan merupakan target dari output kegiatan evaluasi dan monitoring. 
Jenis-jenis Indikator
  1. Indikator biasanya merupakan ukuran kuantitatif (quantitative measures), yakni dalam bentuk prosentase, angka (rate) atau ratio. Indikator kualitatif (Qualitative indicators) dapat dikumpulkan melalui teknik pertanyaan yang memerlukan jawaban persepsi dan penilaian dari responden mengenai suatu masalah. Untuk memperkaya analisis maka indikator kualitatif didampingi dengan indikator kuantitatif yang sengaja dikembangkan untuk mengukur kualitas.
  2. Indikator global terstandar (Standardised global indicators) adalah indikator yang bersifat umum, seperti Millennium Development Goals (MDGs), Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan lainnya. Indikator ini dapat dibandingkan di semua wilayah (nasional atau internasional).
  3. Indikator lokal merupakan indikator yang dikembangkan hanya untuk mengukur perubahan dalam situasi yang besifat lokal (khas setempat) dengan tujuan setempat. Indikator lokal di lokasi lain mungkin tidak dibutuhkan atau bahkan tidak dapat diperoleh angka indikatornya
  4. Indikator dampak (impact indicators) adalah indikator yang digunakan untuk mengukur perubahan jangka panjang yang dikumpulkan secara tahunan guna menganalisa pengaruh, kecenderungan atau perubahan selama beberapa tahun.
  5. Indikator langsung (Direct indicators) berkaitan secara akurat dengan hasil di setiap jenjang kinerja yang merupakan ukuran langsung dari keluaran proyek/program.
  6. Indikator tidak langsung atau “proksi” digunakan untuk mengukur perubahan atau hasil dimana pengukuran langsung tidak memungkinkan/layak diperoleh indikatornya. Menggunakan indikator tidak langsung atau “proksi” yang lebih memudahkan evaluator untuk menilai.
Setiap indikator tentunya harus mempunyai besaran target yang harus dicapai. Patokan nilai dari suatu indicator (benchmark) merupakan suatu standar atau titik rujukan terhadap pencapaian program kerja yang dapat diukur. Suatu indikator selama periode waktu tertentu dibandingkan dan diukur dan biasanya diuraikan menurut wilayah dan target tertentu.
Demikian hal nya dengan menilai potensi wilayah tentu perlu tolak ukur dan alat ukur yang sesuai dengan kaidah keilmuan dan dapat dipertanggungmjawabkan secara ilmiah agar didapat analisis yang tepat untuk mengembangkannya.

 B.  INDIKATOR YANG DAPAT DIGUNAKAN UNTUK MENGUKUR POTENSI WILAYAH DAN DAERAH DI INDONESIA
 1.   Indikator Geografis
Menurut Prof. Bintarto (1981) : Geografi mempelajari hubungan kausal gejala-gejala di permukaan bumi, baik yang bersifat fisik maupun yang menyangkut kehidupan makhluk hidup beserta permasalahannya melalui pendekatan keruangan, kelingkungan, dan regional untuk kepentingan program, proses, dan keberhasilan pembangunan. Sedangkan hasil seminar dan lokakarya di Semarang (1988) : Geografi adalah ilmu yang mempelajari persamaan dan perbedaan fenomena geosfer dengan sudut pandang kewilayahan dan kelingkungan dalam konteks keruangan.
Indikator geografis diperlukan untuk mengukur potensi sumber daya alam secara spesifik termasuk juga gejala-gejala alam yang terjadi di bumi yang tentunya akan mempengaruhi tersedianya sumber daya tersebut. Indikator potensi geografis antara terdiri dari :
1)     Topografi, studi tentang bentuk permukaan bumi
2)     Klimatologi, ilmu tentang atmosfer gambaran dan penjelasan sifat dan iklim serta kaitan iklim dan manusia
3)     Geologi, planet bumi termasuk keterbentukan dan sejarahnya mengingat unsur utama pembentukan bumi adalah batuan maka objek utama geologi juga tentang batuan
4)     Hidrologi, pergerakan, distribusi dan kualitas air di bumi

 2.    Indeks Pembangunan Indonesia (IPM)
Seperti diketahui salah satu aspek potensi daerah adalah sumber daya manusia. Untuk mengukur kuantitas dapat dilakukan dengan penghitungan manual yang dilakukan Badan Pusat Statistik sedangkan untuk mengukur kualitas sumberdaya manusia, indikator operasionalnya antara lain pengetahuan, ketrampilan, kompetensi, etos kerja/sosial, pendapatan/produktivitas, kesehatan dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM/HDI).
Program Pembangunan PBB (UNDP, United Nations Development Program) yang fokus pada aspek-aspek “pembangunan manusia” (human development) membuat klasifikasi yang mencakup variabel-variabel nonekonomi seperti usia harapan hidup, tingkat kematian bayi, dan capaian pendidikan, di samping variabel-variabel pokok ekonomi seperti angka pendapatan per kapita. Maka disusunlah indeks baru yang disebut Indeks Pembangunan Manusia (HDI, Human Developmen Index). IPM ini mengukur pencapaian keseluruhan dari suatu daerah/negara dalam tiga dimensi dasar pembangunan manusia, yaitu lamanya hidup, pengetahuan dan suatu standar hidup yang layak. Ketiganya diukur dengan angka harapan hidup, pencapaian pendidikan dan pendapatan per kapita yang telah disesuaikan menjadi paritas daya beli. IPM adalah suatu ringkasan dan bukan ukuran komprehensif dari pembangunan manusia.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan indeks yang digunakan untuk mengukur pencapaian rata-rata suatu negara/daerah dalam tiga hal mendasar pembangunan manusia, yaitu : lama hidup yang diukur dengan angka harapan hidup ketika lahir; pendidikan yang diukur berdasarkan rata-rata lama sekolah dan angka melek hurup penduduk usia 15 tahun ke atas; dan standar hidupnya diukur dengan pengeluaran per kapita yang telah disesuaikan menjadi paritas daya beli (PPP, Purchasing power parity) dari mata uang domestik di masing-masing negara guna lebih mencerminkan besar kecilnya biaya hidup dan juga untuk menyesuaikan dengan fakta menyusutnya utilitas marjinal pendapatan di atas tingkat pendapatan dunia. Nilai indeks berkisar antara 0 – 1 di mana 0 (prestasi pembangunan manusia terendah) dan satu (kinerja pembangunan manusia tertinggi) (Todaro, 1998).
IPM dapat dimanfaatkan untuk beberapa hal sebagai berikut (TKPK, 2007; Basri, Faisal dan Haris Munandar, 2009) :
1)     Untuk mengalihkan fokus perhatian para pengambil keputusan, media, dan organisasi non pemerintah dari penggunaan statistik ekonomi biasa, agar lebih menekankan pada pencapaian manusia. IPM diciptakan untuk menegaskan bahwa manusia dan segenap kemampuannya seharusnya menjadi kriteria utama untuk menilai pembangunan sebuah negara/daerah, bukannya pertumbuhan ekonomi.
2)     Untuk mempertanyakan pilihan-pilihan kebijakan suatu daerah/negara : bagaimana dua daerah/negara yang pendapatan per kapita sama dapat memiliki IPM yang berbeda. Contohnya : tingkat pendapatan per kapita antara Cina (US$ 370) dan Indonesia (US$ 610), namun harapan hidup dan angka melek huruf antara keduanya sangat berbeda, sehingga Cina memperoleh nilai IPM yang lebih tinggi (0,644) daripada Indonesia (0,586) (laporan UNDP 1994). Laporan UNDP tahun 1999, Indonesia berada di urutan 107 (tahun 1997 urutan 77) dari 174 negara di dunia termasuk kelompok menengah dalam melaksanakan pembangunan manusia. Singapura urutan 22, Brunei Darussalam 25, dan Filipina di 77, termasuk kelompok pembangunan manusia tinggi. Tahun 2007 peringkat Indonesia belum beranjak, IPM Indonesia 0,728 (peringkat 107)  dan Cina 0,777 (peringkat 81).
3)     Untuk memperlihatkan perbedaan di antara negara-negara, di antara provinsi--provinsi, di antara gender, kesukuan dan kelompok sosial-ekonomi lainnya. Dengan memperlihatkan disparitas atau kesenjangan di antara kelompok-kelompok tersebut, maka akan lahir debat dan diskusi di berbagai negara untuk mencari sumber masalah dan solusinya.
The United Nations Development Program (UNDP) telah membuat indicator pembangunan yang lain, sebagai tambahan untuk beberapa indicator yang telah ada. Ide dasar yang melandasi dibuatnya indeks ini adalah pentingnya memperhatikan kualitas sumber daya manusia. Menurut UNDP, pembangunan hendaknya ditujukan kepada pengembangan sumberdaya manusia. Dalam pemahaman ini, pembangunan dapat diartikan sebagai sebuah proses yang bertujuan m ngembangkan pilihan-pilihan yang dapat dilakukan oleh manusia. Hal ini didasari oleh asumsi bahwa peningkatan kualitas sumberdaya manusia akan diikuti oleh terbukanya berbagai pilihan dan peluang menentukan jalan hidup manusia secara bebas.
Pertumbuhan ekonomi dianggap sebagai factor penting dalam kehidupan manusia, tetapi tidak secara otomatis akan mempengaruhi peningkatan martabat dan harkat manusia. Dalam hubungan ini, ada tiga komponen yang dianggap paling menentukan dalam pembangunan, umur panjang dan sehat, perolehan dan pengembangan pengetahuan, dan peningkatan terhadap akses untuk kehidupan yang lebih baik. Indeks ini dibuat dengagn mengkombinasikan tiga komponen, (1) rata-rata harapan hidup pada saat lahir, (2) rata-rata pencapaian pendidikan tingkat SD, SMP, dan SMU, (3) pendapatan per kapita yang dihitung berdasarkan Purchasing Power Parity. Pengembangan manusia berkaitan erat dengan peningkatan kapabilitas manusia yang dapat dirangkum dalam peningkatan knowledge, attitude dan skills, disamping derajat kesehatan seluruh anggota keluarga dan lingkungannya.


 3.  Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
PDRB adalah jumlah nilai tambah bruto yang dihasilkan seluruh unti usaha dalam wilayah tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi.
Sumber-sumber utama pendapatan daerah secara umum dapat dilihat pada data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang dapat dirinci ke masing-masing sektor dan subsekstor. Dengan demikian, akan diketahui potensi, produktivitas dan pertumbuhan ekonomi suatu daerah dari PDRB sektoral. Jadi, bisa dikatakan PDRB dapat menggambarkan potensi daerah dalam dua aspek yaitu aspek ekonomi juga termasuk sumber daya alam dilihat dari produksinya. Untuk menentukan nilai PDRB suatu daerah yaitu :
1)     Sekor pertanian
2)     Sektor pertambangan dan penggalian
3)     Sektor industri pengolahan
4)     Sektor Konstruksi (Bangunan)
5)     Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran
6)     Sektor Pengangkutan dan Komunikasi
7)     Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
8)     Jasa-jasa
Dari PRDB pula dapat dihitung pendapatan per kapita suatu daerah. Pendapatan per kapita adalah total pendapatan suatu daerah dibagi jumlah penduduk di daerah tersebut untuk tahun yang sama. Angka yang digunakan semestinya adalah total pendapatan regional dibagi jumlah penduduk. Akan tetapi, angka ini seringkali tidak diperoleh sehingga diganti total PDRB atas harga dasar dibagi dengan jumlah penduduk. Angka pendapatan per kapita dapat dinyatakan dalam harga berlaku maupun dalam harga konstan tergantung pada kebutuhan. Selanjutnya, pendapatan per kapita dapat digunakan untuk berbagai analisis salah satunya digunakan untuk mengukur Indeks Pembangunan Manusia (IPM) seperti yang telah diuraikan di atas.
Penghitungan PDRB di Indonesia telah dilakukan secara terus-menerus setiap tahunnya oleh Badan Pusat Statistik baik skala lokal maupun nasional. Dengan demikian PDRB menjadi salah satu indikator penting yang dapat digunakan untuk mengukur potensi di Indonesia.



 4.   Indikator Sosial Budaya
Keberadaan potensi suatu wilayah tidak lepas dari pengaruh kehidupan sosial budaya. Sosial budaya dapat disebut sebagai salah satu indikator untuk mengukur potensi wilayah daerah di Indonesia karena memenuhi kriteria seperti spesifik dan dapat diukur. Penting untuk menganalisis potensi wilayah melalui indikator social  budaya   mengingat keberagaman yang telah tercermin dari semboyan “Bhineka Tunggal Ika”.
Pada hakekatnya pengukuran indikator sosial budaya tidak berdiri sendiri melainkan terkait erat dengan kegiatan lainnya, yaitu aspek ekonomi dan kelembagaan. Seringkali sulit untuk menemukan indikator yang sederhana dan hanya mengukur satu aspek saja karena keberhasilan pengembangan suatu kawasan sangat ditentukan oleh kinerja  sektoral dan berbagai pelaku utama pembangunan (stakeholders) seperti Pemerintah, Swasta dan Masyarakat sendiri.
Dalam penyusunan indikator ini perlu digunakan prinsip 'parsimony' yang artinya semakin sedikit indikator yang digunakan semakin baik, untuk itu harus dipilih indikator-indikator yang paling efisien. Suatu kawasan andalan mungkin terdiri dari dua wilayah otonom atau  lebih maka pemilihan indikator bersifat umum dapat digunakan pada semua kelompok  penduduk tanpa dibedakan.
Ada banyak indikator sosial budaya yang dapat digunakan untuk mengukur kesejahteraan masyarakat suatu wilayah, tetapi dalam pedoman kelayakan sosial budaya umumnya digunakan beberapa indikator yang dianggap dapat menggambarkan kesejahteraan masyarakat di suatu daerah. Kelompok indikator sektoral tersebut meliputi :
1)     Kependudukan
2)     Pendidikan
3)     Ketenagakerjaan
4)     Kesehatan
5)     Perumahan
6)     Lingkungan
7)     Sosial
8)     Budaya

 5.   Indikator Keamanan
Jaminan keamanan merupakan ukuran suatu daerah dapat dikatakan berpotensi atau tidak. Suatu daerah yang mempunyai potensi dan dapat mengelola umumnya memiliki hasil produksi dan pendapatan tinggi sehingga dapat tercipta situasi kehidupan bermasyarakat yang kondusif. Sebaliknya tanpa adanya keamanan potensi yang ada tentunya akan sulit untuk dikembangkan.
Keamanan  wilayah dapat dilihat dari beberapa macam subindikator seperti :
1)     Konflik SARA, baik itu konflik antar kelompok,konflik antar etnis,maupun konflik yang berbau agama.
2)     Perkelahian : kasus perkelahian,kasus perkelahian yang menimbulkan korban jiwa, dan kasus perkelahian yang menibulkan luka parah.
3)     Pencurian dan Perampokan : Kasus pencurian / perampokan, Kasus pencurian/prampokan dengan kekerasan.
4)     Perjudian : Kasus Perjudian
5)     Kasus Narkoba : Jumlah kasus narkoba yang pelakunya penduduk setempat, Jumlah penduduk yang menjadi korban narkoba
6)     Prostitusi: Kasus Prostitusi
7)     Pembunuhan : Jumlah kasus pembunuhan, Jumlah kasus pembunuhan dengan korban penduduk setempat,
8)     Kejahatan Seksual : Jumlah kasus perkosaan, Jumlah kasus perkosaan pada anak, Jumlah kasus kehamilan diluar nikah
9)     Kasus kekerasan dalam rumah tangga : kekerasan terhadap istri, kekerasan terhadap suami, kekerasan terhadap anak, kekerasan terhadap anggota keluarga lain.
10)  Penculikan : jumlah kasus penculikan
11)  Partisipasi masyarakat dalam keamanan : jumlah pos siskamling, jumlah aparat keamanan/ hansip, jumlah sarana alat-alat keamanan.

6.  Pendapatan perkapita
Pendapatan per kapita, baik dalam ukuran GNP maupun PDB merupakan salah satu indikaor makro-ekonomi yang telah lama digunakan untuk mengukur pertumbuhan ekonomi. Dalam perspektif makroekonomi, indikator ini merupakan bagian kesejahteraan manusia yang dapat diukur, sehingga dapat menggambarkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Tampaknya pendapatan per kapita telah menjadi indikator makroekonomi yang tidak bisa diabaikan, walaupun memiliki beberapa kelemahan. Sehingga pertumbuhan pendapatan nasional, selama ini, telah dijadikan tujuan pembangunan di negara-negara dunia ketiga. Seolah-olah ada asumsi bahwa kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat secara otomatis ditunjukkan oleh adanya peningkatan pendapatan nasional (pertumbuhan ekonomi). Walaupun demikian, beberapa ahli menganggap penggunaan indikator ini mengabaikan pola distribusi pendapatan nasional. Indikator ini tidak mengukur distribusi pendapatan dan pemerataan kesejahteraan, termasuk pemerataan akses terhadap sumber daya ekonomi.

7.   Struktur ekonomi
Telah menjadi asumsi bahwa peningkatan pendapatan per kapita akan mencerminkan transformasi struktural dalam bidang ekonomi dan kelas-kelas sosial. Dengan adanya perkembangan ekonomi dan peningkatan per kapita, konstribusi sektor manupaktur/industri dan jasa terhadap pendapatan nasional akan meningkat terus. Perkembangan sektor industri dan perbaikan tingkat upah akan meningkatkan permintaan atas barang-barang industri, yang akan diikuti oleh perkembangan investasi dan perluasan tenaga kerja. Di lain pihak , kontribusi sektor pertanian terhadap pendapatan nasional akan semakin menurun.

8.  Urbanisasi
Urbanisasi dapat diartikan sebagai meningkatnya proporsi penduduk yang bermukim di wilayah perkotaan dibandingkan dengan di pedesaan. Urbanisasi dikatakan tidak terjadi apabila pertumbuhan penduduk di wilayah urban sama dengan nol. Sesuai dengan pengalaman industrialisasi di negara-negara eropa Barat dan Amerika Utara, proporsi penduduk di wilayah urban berbanding lurus dengn proporsi industrialisasi. Ini berarti bahwa kecepatan urbanisasi akan semakin tinggi sesuai dengan cepatnya proses industrialisasi. Di Negara-negara industri, sebagain besar penduduk tinggal di wilayah perkotaan, sedangkan di Negara-negara yang sedang berkembang proporsi terbesar tinggal di wilayah pedesaan. Berdasarkan fenomena ini, urbanisasi digunakan sebagai salah satu indicator pembangunan.

9.  Indeks Kualitas Hidup
IKH atau Physical Qualty of life Index (PQLI) digunakan untuk mengukur kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Indeks ini dibuat indicator makroekonomi tidak dapat memberikan gambaran tentang kesejahteraan masyarakat dalam mengukur keberhasilan ekonomi. Misalnya, pendapatan nasional sebuah bangsa dapat tumbuh terus, tetapi tanpa diikuti oleh peningkatan kesejahteraan sosial. Indeks ini dihitung berdasarkan kepada (1) angka rata-rata harapan hidup pada umur satu tahun, (2) angka kematian bayi, dan (3) angka melek huruf. Dalam indeks ini, angka rata-rata harapan hidup dan kematian b yi akan dapat menggambarkan status gizi anak dan ibu, derajat kesehatan, dan lingkungan keluarga yang langsung beasosiasi dengan kesejahteraan keluarga. Pendidikan yang diukur dengan angka melek huruf, dapat menggambarkan jumlah orang yang memperoleh akses pendidikan sebagai hasil pembangunan. Variabel ini menggambarkan kesejahteraan masyarakat, karena tingginya status ekonomi keluarga akan mempengaruhi status pendidikan para anggotanya. Oleh para pembuatnya, indeks ini dianggap sebagai yang paling baik untuk mengukur kualitas manusia sebagai hasil dari pembangunan, disamping pendapatan per kapita sebagai ukuran kuantitas manusia.

10. Indeks Kemiskinan Manusia (IKM)
Mengukur dimensi yang berlawanan arah dari IPM, yaitu seberapa besar penduduk yang kurang beruntung, tertinggal (deprived people), karena tidak mempunyai akses untuk mencapai  standar kehidupan ang layak. Indeks tersebut dihitung menggunakan prosentase penduduk yang tidak mencapai usia 40 tahun, prosentase penduduk buta huruf, prosentase balita dengan status gizi kurang, prosentase balita dengan status gizi kurang, prosentase penduduk tidak punya akses pada pelayanan kesehatan dasar, sanitasi air bersih. Semakin besar penduduk suatu wilayah pada situasi ini dipresentasikan oleh IKM yang semakin tinggi.

11. Indeks Kehidupan Fakir Miskin
Mengukur kesenjangan pencapaian, yaitu berapa upaya, dalam prosentase, yang masih harus dilakukan/dicapai untuk membawa kondisi kehidupan fakir miskin di suatu wilayah menuju standar kehidupan minimum yang layak. Dimensi yang diukur mencakup (1) situasi kelaparan atau sangat kurang kalori, (2) Kualitas hidup fakir miskin, (3) Akses fakir miskin pada pelayanan sosial dasar dan pembangunan.

Indikator diatas digunakan sebagai analisis potensi wilayah yang memiliki berbagai manfaat fisik, idiologi, politik, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan. Analisis  Potensi Wilayah yang dilakukan terhadap bidang fisik memberikan manfaat :
1.    Menciptakan Efisiensi dan produktivitas sesuai dengan kemampuan dan kesesuaian daerah karena penentuan kawasan/ lahan dilakukan pada lokasi yang tepat (teori lokasi) dan sesuai dengan kemampuan dan kesesuaian fisik lahan yang cukup (pertanian).
2.    Menjadi pedoman pemerintah dalam menentukan kebijakan dalam perencanaan tata ruang serta pembangunan prasarana fisik agar dapat produk yang diciptakan dapat bermanfaat secara tepat guna dan berdaya guna.
3.    Menjaga keberlanjutan (sustainability) terutama sumber daya yang tidak dapat diperbaharui (contoh : bahan tambang), karena alokasi sumber daya fisik dilakukan dengan cara bijaksana sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Unsur fisik penataan ruang disesuaikan dengan daya dukung dan daya tampung serta potensi wilayah.

C.   SUMBER
Adisasmita, Rahardjo, 2008, “Pengembangan Wilayah : Konsep dan Teori”, Graha Ilmu, Yogyakarta.
Djakapermana, Ruchyat Deni, 2009, “Pengembangan Wilayah Melalui Pendekatan Sistem”, IPB Press, Bogor.

PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN (SUSTAINABLE DEVELOPMENT)



1.    PENDAHULUAN
1.1.   Latar Belakang
Wilayah pesisir merupakan wilayah yang sangat berarti bagi kehidupan manusia di bumi. Sebagai wilayah peralihan darat dan laut yang memiliki keunikan ekosistem, sehingga dunia memiliki kepedulian terhadap wilayah ini, khususnya di bidang lingkungan dalam konteks pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Secara historis, kota- kota penting dunia bertempat tidak jauh dari laut. Alasannya, kawasan ini memiliki potensi sumber daya kelautan dan perikanan, serta memudahkan terjadinya pedagangan antar daerah, pulau dan benua.
Wilayah pesisir memiliki potensi yang tak ternilai bagi masyarakat. Perairan pantai tidak saja menjadi sumber pangan yang produktif, tetapi juga sebagai gudang mineral, alur pelayaran, tempat rekreasi dan juga sebagai tangki pencerna bahan buangan hasil kegiatan manusia. Besarnya sumber alam yang terkandung di dalamnya, hayati maupun non hayati serta aneka kegunaan yang bersifat ganda merupakan bukti yang tidak dapat disangkal, bahkan menjadi tumpuan harapan manusia dalam usahanya memenuhi kebutuhan pangan yang terus meningkat di masa mendatang. Selain itu, wilayah pesisir juga merupakan daerah penghambat masuknya gelombang besar air laut ke darat, yaitu dengan keberadaan hutan mangrove. Pernyataan ini sesuai dengan hasil penelitian yang ditunjukkan oleh  (Harada dan Fumihiko dalam Anwar dkk., 2006), bahwa ketebalan mangrove selebar 200 m dengan kerapatan 30 pohon/100 m2 dengan diameter batang 15 cm dapat meredam sekitar 50% energi gelombang tsunami.
Akan tetapi pada era sekarang ini terjadi peningkataan pembangunan yang begitu pesat di kawasan perkotaan di dunia, termasuk Indonesia sehingga pembangunan yang berlangsung cepat tersebut terkadang membawa dampak. Begitupun terhadap lingkungan wilayah pesisir dengan berbagai pembangunan yang dilakukan telah menimbulkan kerusakan ataupun bencana ekologis di kawasan pesisir. Hal ini terbukti dari berbagai kegiatan pembangunan yang berlangsung di kawasan pesisir seperti pembangunan pelabuhan, industri, perumahan, pariwisata, pertambangan dan perikanan memunculkan berbagai isu dan masalah sebagai hasil dari penggunaan dan pemanfaatannya serta konflik kepentingan antara berbagai pihak  (Soetomo, 2005).
Salah satu masalah penting yang dihadapi dalam pembangunan ekonomi adalah bagaimana menghadapi trade-off antara pemenuhan kebutuhan pembangunan disatu sisi dan upaya mempertahankan kelestarian lingkungan disisi lain (Fauzi,2004). Pembangunan ekonomi yang berbasis sumber daya alam yang tidak memperhatikan aspek kelestarian lingkungan pada akhirnya akan berdampak negatif pada lingkungan itu sendiri, karena pada dasarnya sumber daya alam dan lingkungan memiliki kapasitas daya dukung yang terbatas. Dengan kata lain, pembangunan ekonomi yang tidak memperhatikan kapasitas sumber daya alam dan lingkungan akan menyebabkan permasalahan pembangunan dikemudian hari.
Keadaaan di atas sebenarnya terjadi akibat ketidakjelasan pengaturan pemanfaatan kawasan pesisir sehingga mengakibatkan tumpang tindihnya pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir. Sebagaimana yang kita temukan dalam realita kehidupan bahwa terlalu banyak pihak (lembaga maupun departemen) terkait dan mungkin mengaitkan diri dengan kawasan ini sehingga dampak yang muncul adalah timbulnya pengeluhan atau keresahan dari berbagai kalangan masyarakat setempat. Hal ini serupa dengan yang dikatakan oleh Mulyadi, (2008) bahwa pemerintah merupakan pemilik kawasan, sehingga  boleh dikatakan bahwa pemerintah mempunyai wewenang dalam mengatur pemanfaatan kawasan pesisir, tetapi apabila pemerintah sebagai pemegang wewenang boleh dikatakan tidak berdaya dalam mengatur permasalahan ini maka bukan efek positif yang akan muncul melainkan kedepannya efek negatif yang muncul sehingga sebagai akibatnya terjadinya pencemaran atau kerusaan lingkungan atau kawasan pesisir yang ada yang akan membawa  dampak buruk dan mempengaruhi taraf hidup dari berbagai kalangan masyarakat.

1.2.   Tujuan
Tujuan dari tugas mandiri ini adalah menggambarkan sejauhmana pengembangan wilayah pesisir dengan memperhatikan aspek pembangunan yang berkelanjutan

2.    ISU-ISU PENTING TENTANG PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR
Wilayah pesisir beserta sumberdaya alamnya memiliki makna strategis bagi pembangunan ekonomi dunia, karena dapat diandalkan sebagai salah satu pilar ekonomi internasional karena pada wilayah ini terdapat berbagai sumber daya masa depan (future resources) dengan memperhatikan berbagai potensinya yang pada saat ini belum dikembangkan secara optimal, antara lain potensi perikanan yang saat ini baru sekitar 58,5% dari potensi lestarinya yang termanfaatkan (Dahuri, 2001). Selain itu wilayah Pesisir merupakan wilayah yang strategis bagi perkembangan permukiman perkotaan dan pusat desa-desa nelayan, sebagai tempat produksi seperti industri, pusat terminal transportasi laut (pelabuhan).
Hal ini jika dikaitkan dengan kehidupan masyarakat pesisir di Indonesia maka umumnya masyarakat pesisir di Indonesia masih memiliki permasalahan rendahnya tingkat kesejahteraan dan kualitas lingkungan. Tingkat kesejahteraan masyarakat yang rendah diperlihatkan dari sebaran kawasan tertinggal yang banyak terdapat wilayah pesisir. Salah satu penyebabnya adalah minimnya prasarana dan sarana pendukung bidang kelautan dan perikanan. Sedangkan rendahnya kualitas lingkungan pada kawasan permukiman para nelayan disebabkan minimnya ketersediaan prasarana dan sarana dasar yang berdampak pada rendahnya produktivitas (Key dkk., 1999).

3.      SOLUSI DARI ISU-ISU PENTING DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR
3.1.   Strategi Pembangunan Berkelanjutan
A.   Pembangunan yang Menjamin Pemerataan dan Keadilan Sosial
Pembangunan yang berorientasi pemerataan dan keadilan sosial harus dilandasi hal-hal seperti meratanya distribusi sumber lahan dan faktor produksi, meratanya peran dan kesempatan perempuan, meratanya ekonomi yang dicapai dengan keseimbangan distribusi kesejahteraan. Namun pemerataan bukanlah hal yang secara langsung dapat dicapai. Pemerataan adalah konsep yang relatif dan tidak secara langsung dapat diukur. Dimensi etika pembangunan berkelanjutan adalah hal yang menyeluruh, kesenjangan pendapatan negara kaya dan miskin semakin melebar, walaupun pemerataan dibanyak negara sudah meningkat. Aspek etika lainnya yang perlu menjadi perhatian pembangunan berkelanjutan adalah prospek generasi masa datang yang tidak dapat dikompromikan dengan aktivitas generasi masa kini. Ini berarti pembangunan generasi masa kini perlu mempertimbangkan generasi masa datang dalam memenuhi kebutuhannya.
B.   Pembangunan yang Menghargai Keanekaragaman
Pemeliharaan keanekaragaman hayati adalah prasyarat untuk memastikan bahwa sumber daya alam selalu tersedia secara berkelanjutan untuk masa kini dan masa datang. Keanekaragaman hayati juga merupakan dasar bagi keseimbangan ekosistem.. Pemeliharaan keanekaragaman budaya akan mendorong perlakuan yang merata terhadap setiap orang dan membuat pengetahuan terhadap tradisi berbagai masyarakat dapat lebih dimengerti.
C.   Pembangunan yang Menggunakan Pendekatan Integratif
Pembangunan berkelanjutan mengutamakan keterkaitan antara manusia dengan alam. Manusia mempengaruhi alam dengan cara yang bermanfaat atau merusak. Hanya dengan memanfaatkan pengertian tentang konpleknya keterkaitan antara sistem alam dan sistem sosial. Dengan menggunakan pengertian ini maka pelaksanaan pembangunan yang lebih integratif merupakan konsep pelaksanaan pembangunan yang dapat dimungkinkan. Hal ini merupakan tantangan utama dalam kelembagaan.
D.   Pembangunan yang Meminta Perspektif Jangka Panjang
Masyarakat cenderung menilai masa kini lebih dari masa depan,.implikasi pembangunan berkelanjutan merupakan tantangan yang melandasi penilaian ini. Pembangunan berkelanjutan mensyaratkan dilaksanakan penilaian yang berbeda dengan asumsi normal dalam prosedur discounting. Persepsi jangka panjang adalah perspektif pembangunan yang berkelanjutan. Hingga saat ini kerangka jangka pendek mendominasi pemikiran para pengambil keputusan ekonomi, oleh karena itu perlu dipertimbangkan.
3.2.   Pendekatan Pembangunan Berkelanjutan
Secara ideal keberlanjutan pembangunan membutuhkan pendekatan pencapaian terhadap keberlanjutan ataupun kesinambungan berbagai aspek kehidupan yang mencakup:
A.   Keberlanjutan Ekologis
Keberlanjutan ekologis adalah prasyarat untuk pembangunan dan keberlanjutan kehidupan. Keberlanjutan ekologis akan menjamin keberlanjutan ekosistem bumi. Untuk menjamin keberlanjutan ekologis harus diupayakan hal-hal sebagai berikut:
a)    Memelihara integritas tatanan lingkungan agar sistem penunjang kehidupan dibumi tetap terjamin dan sistem produktivitas, adaptabilitas, dan pemulihan tanah, air, udara dan seluruh kehidupan berkelanjutan.
b)    Tiga aspek yang harus diperhatikan untuk memelihara integritas tatanan lingkungan yaitu daya dukung, daya asimilatif dan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya terpulihkan. Ketiga aspek tersebut untuk melaksanakan kegiatan yang tidak mengganggu integritas tatanan lingkungan yaitu hindarkan konversi alam dan modifikasi ekosistem, kurangi konversi lahan subur dan kelola dengan buku mutu ekologis yang tinggi, dan limbah yang dibuang tidak melampaui daya asimilatifnya lingkungan.
c)    Memelihara keanekaragaman hayati pada keanekaragaman kehidupan yang menentukan keberlanjutan proses ekologis. Proses yang menjadikan rangkaian jasa pada manusia masa kini dan masa mendatang. Terdapat tiga aspek keanekaragaman hayati yaitu keanekaragaman genetika, spesies, dan tatanan lingkungan. Untuk mengkonversikan keanekaragaman hayati tersebut perlu hal-hal berikut yaitu “menjaga ekosistem alam dan area yang representatif tentang kekhasan sumberdaya hayati agar tidak dimodifikasikan, memelihara seluas mungkin area ekosistem yang dimodifikasikan untuk keanekaragaman dan keberlanjutan keanekaragaman spesies, konservatif terhadap konversi lahan pesisir.
B.   Keberlanjutan Ekonomi
Keberlanjutan ekonomi dari perspektif pembangunan memiliki dua hal utama keduanya mempunyai keterkaitan yang erat dengan tujuan aspek keberlanjutan lainnya. Keberlanjutan ekonomi makro menjamin kemajuan ekonomi secara berkelanjutan dan mendorong efisiensi ekonomi melalui reformasi struktural dan nasional.
Tiga elemen utama untuk keberlanjutan ekonomi makro yaitu efisiensi ekonomi, kesejahteraan ekonomi yang berkesinambungan, dan meningkatkan pemerataan dan distribusi kemakmuran. Hal tersebut diatas dapat dicapai melalui kebijaksanaan makro ekonomi mencakup reformasi fiskal, meningkatkan efisiensi sektor publik, mobilisasi tabungan domestik, pengelolaan nilai tukar, reformasi kelembagaan, kekuatan pasar yang tepat guna, ukuran sosial untuk pengembangan sumberdaya manusia dan peningkatan distribusi pendapatan dan aset.
C.   Keberlanjutan Ekonomi Sektoral
Penyesuaian kebijakan yang meningkatkan keberlanjutan ekonomi makro secara jangka pendek akan mengakibatkan distorsi sektoral yang selanjutnya mengabaikan keberlanjutan ekologis. Hal ini harus diperbaiki melalui kebijaksanaan sektoral yang spesifik dan terarah. Oleh karena itu penting mengindahkan keberlanjutan aktivitas dan ekonomi sektoral.
Untuk mencapai keberlanjutan ekonomi sektoral, berbagai kasus dilakukan terhadap kegiatan ekonomi. Pertama, sumberdaya alam yang nilai ekonominya dapat dihitung harus diperlakukan sebagai kapital yang tangible dalam kerangka akunting ekonomi, kedua, secara prinsip harga sumberdaya alam harus merefleksi biaya ekstraksi, ditambah biaya lingkungan dan biaya pemanfaatannya. Pakar ekonomi harus mengidentifikasi dan memperlakukan sumber daya sebagai sumber yang terpulih, tidak terpulihkan, dan lingkungan hidup. Sumber yang terpulihkan seperti hutan dapat memberikan manfaat secara berkelanjutan bila tidak memperlakukan produktivitas ekonomi sebagai fungsi yang pasif atau jasa yang mengalir; menggunakan prinsip pengelolaan yang berkelanjutan, sedangkan sumber yang tidak terpulihkan mempunyai jumlah absolut dan berkurang bila dimanfaatkan. Oleh karena itu pada kondisi seperti ini konsep sustainable yeild tidak boleh diterapkan.
Pembangunan berkelanjutan dalam konteks sumberdaya yang tidak dapat dipulihkan berarti pemanfaatan secara efisien sehingga dapat dimanfaatkan oleh generasi masa mendatang dan diupayakan agar dapat dikembangkan substitusi dengan sumberdaya terpulihkan; membatasi dampak lingkungan pemanfaatannya sekecil mungkin, karena sumberdaya lingkungan adalah biosfer, secara menyeluruh sumberdaya ini tidak menciut akan tetapi berpariasi sesuai dengan kualitasnya.
D.   Keberlanjutan Sosial Budaya
Secara menyeluruh keberlanjutan sosial dan budaya dinyatakan dalam keadilan sosial, harga diri manusia dan peningkatan kualitas hidup seluruh manusia. Keberlanjutan sosial dan budaya mempunyai empat sasaran yaitu :
a)    Stabilitas penduduk yang pelaksanaannya mensyaratkan komitmen politik yang kuat, kesadaran dan partisipasi masyarakat, memperkuat peranan dan status wanita, meningkatkan kualitas, efektivitas dan lingkungan keluarga.
b)    Memenuhi kebutuhan dasar manusia, dengan memerangi kemiskinan dan mengurangi kemiskinan absolut. Keberlanjutan pembangunan tidak mungkin tercapai bila terjadi kesenjangan pada distribusi kemakmuran atau adanya kelas sosial. Halangan terhadap keberlajutan sosial harus dihilangkan dengan pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Kelas sosial yang dihilangkan dimungkinkannya untuk mendapat akses pendidikan yang merata, pemerataan pemulihan lahan dan peningkatan peran wanita.
c)    Mempertahankan keanekaragaman budaya, dengan mengakui dan menghargai sistem sosial dan kebudayaan seluruh bangsa, dan dengan memahami dan menggunakan pengetahuan tradisional demi manfaat masyarakat dan pembangunan ekonomi.
d)    Mendorong partisipasi masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan. Beberapa persyaratan dibawah ini penting untuk keberlanjutan sosial yaitu : prioritas harus diberikan pada pengeluaran sosial dan program diarahkan untuk manfaat bersama, investasi pada perkembangan sumberdaya misalnya meningkatkan status wanita, akses pendidikan dan kesehatan, kemajuan ekonomi harus berkelanjutan melalui investasi dan perubahan teknologi dan harus selaras dengan distribusi aset produksi yang adil dan efektif, kesenjangan antar regional dan desa, kota, perlu dihindari melalui keputusan lokal tentang prioritas dan alokasi sumber daya.

4.      REKOMENDASI
Pengembangan wilayah pesisir harus diarahkan sesuai dengan kebutuhan ruang dan harus memperhatikan kesesuaian lahan dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Adapun rekomendasi yang dapat diberikan berkaitan dengan  pembangunan di wilayah pesisir  dalam konteks penataan dan pengembangan wilayah demi peningkatan taraf hidup masyarakat pesisir sebagai berikut:
1.    Adanya aturan/kebijakan pemerintah untuk masing-masing tipe pemanfaatan di kawasan pesisir, seperti kawasan permukiman, kawasan rekreasi dan lain-lain.
2.    Mengefektivitas aparat pemerintah yang bersangkutan sebagai koordinator perencanaan dan pembangunan daerah umumnya dan daerah pantai khususnya secara terpadu dan menyeluruh.
3.    Meningkatkan pajak bumi dan bangunan di kawasan pesisir.
4.    Perlunya pengendalian kepemilikan tanah di daerah pantai dengan dilandasi oleh peraturan-peraturan tanah yang berlaku saat ini.
5.    Perlu ditingkatkan pengawasan dan pengendalian transaksi jual beli tanah di kawasan pesisir dengan melandaskan kepada peraturan perundangan pertanahan yang berlaku.
6.    Adanya pemetaan (mapping) daya dukung. Daerah-daerah yang ditata  untuk pembangunan sebaiknya dilengkapi dengan informasi daya dukung lingkungan (environmental carrying capacity). Informasi ini menjadi rambu-rambu baik bagi kegiatan yang sudah berjalan maupun kegiatan yang ditoleransi boleh masuk.
7.    Perlunya pengembangan peraturan perundang-undangan pembangunan lahan di daerah pesisir.
5.     Kesimpulan
Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut dalam kerangka pengembangan wilayah, akan lebih efektif bila dilaksanakan secara bersama-sama dari seluruh stakeholder yang terkait baik di tingkat pusat maupun daerah. Otonomi daerah telah membuka peluang desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Ini penting karena Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas dan banyak memiliki daerah terisolasi, miskin alat transportasi dan komunikasi, masih lemah sistem administrasi pemerintahannya, masih kurangnya kapasitas SDM, serta begitu banyaknya masyarakat yangmenmggantungkan kehidupan dannafkahnya pada sumberdaya pesisir dan laut. Dengan demikian, antara pemerintah dan masyarakat akan semakin dekat dan terpetakan berbagai masalah yang dihadapi sebagian besar masyarakat.
Pengembangan wilayah pesisir, terutama yang didasarkan pada sumberdaya wilayah pesisir dan laut dapat dilakukan dengan lebih baik dan memperhatikan kelestarian lingkungan, sehingga didapat konsep pembangunan yang berkelanjutan yaitu pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Pembangunan yang berkelanjutan juga mengusahakan agar hasil pembangunan terbagi secara merata dan adil pada berbagai kelompok dan lapisan masyarakat serta antar generasi karena pembangunan berkelanjutan ini berwawasan lingkungan. Wilayah pesisir dan laut dengan segala karakteristiknya menjadi satu potensi yang patut dijaga dan dikembangkan sebagai sumber perekonomian daerah, sehingga dapat digunakan untuk kesejahteraan masyarakat.

REFERENSI

Anwar, Chairil, dan Gunawan H. 2006. Peranan Ekologis dan Sosial Ekonomis Hutan Mangrove dalam Mendukung Pembangunan Wilayah Pesisir. Makalah Utama pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian : Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Padang, 20 September 2006.
Dahuri R. 2001. Sumber Daya Pesisir Dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta : Pt Pradnya Paramita.
Djajadinigrat, 2001 Untuk Generasi Masa Depan: “Pemikiran, Tantangan dan Permasalah Lingkungan”, ITB.
Djojodipuro, Marsudi. 1992. Teori Lokasi. Jakarta : Lembaga Penerbit FakultasEkonomi Universitas Indonesia.
Fauzi.A. 2004, Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Teori dan Aplikasi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Heal,G.1998 Valuing the Future : Economic Theory and Sustainability. Columbia University Press.New York.
Kay, Robert and Jacqueline Alder. 1999. Coastal Planing and Management. London : Penerbit E & FN Spon Press.
Mulyadi. 2008. Ekonomi Kelautan. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Soetomo, Sugiono. 2005. Sistem Pembangunan Hunian Masyarakat di Wilayah Pesisir. Workshop dan Pelatihan pembangunan Wilayah Pesisir berkelanjutan di kabupaten Aceh besar.
Sutamihardja, 2004 Perubahan Lingkungan Global; Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana; IPB