Minggu, 25 Februari 2018

KAITAN KECEMASAN KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA (Intercultural Communication Apprehensives / IECAs) DENGAN ETNOSENTRISME



1.  PENDAHULUAN

Dari berbagai artikel penelitian yang terdapat pada Penilaian Motivasi untuk Berkomunikasi : Kesediaan untuk Berkomunikasi dan Laporan Pribadi akan Kecemasan Berkomunikasi (Assessing Motivation to Communicate: Willingness to Communicate and Personal Report of Communication Apprehension) yang dibuat oleh National Communication Association (2007), terdapat beberapa artikel yang membahas hubungan antara kecemasan komunikasi lintas budaya (intercultural communication apprehension) dan etnosentris (Ethnocentrism), yaitu :
1.    Rancer, A., & Yang, L. (2003). Ethnocentrism, intercultural communication apprehension, intercultural willingness-to-communicate, and intentions to participate in an intercultural dialogue program: Testing a proposed model. Communication Research Reports, 20(2), 189-190.
Artikel ini fokus pada model etnosentrisme dan hambatan komunikasi lintas budaya, kesediaan berkomunikasi lintas budaya (intercultural willingness to communicate /IWTC) dan niat untuk berpartisipasi dalam program dialog antarbudaya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa yang diusulkan adalah model perbaikan (refinement). Data menunjukkan model modified refinement berpendapat bahwa etnosentrisme dan hambatan komunikasi antarbudaya sangat terkait. Hal ini juga berpendapat bahwa etnosentrisme dan hambatan komunikasi lintas budaya keduanya terkait dengan IWTC. Etnosentrisme dan IWTC terkait dengan niat untuk berpartisipasi dalam program pertukaran budaya. Jadi IWTC memberi pengaruh baik pada etnosentrisme dan komunikasi hambatan lintas budaya. Baik etnosentrisme dan IWTC memberi pengaruh langsung pada niat individu untuk berpartisipasi dalam program dialog lintas budaya. Implikasi dari penemuan ini adalah bahwa jika seseorang ingin mendapatkan perkiraan niat individu untuk berpartisipasi dalam program tersebut atau pertemuan antar lain, maka akan lebih bijaksana untuk mengukur etnosentrisme dan IWTC .
2.    Toale, M. (2001). Ethnocentrism and trait communication apprehension as predictors of interethnic communication apprehension and use of relational maintenance strategies in interethnic communication. Communication Quarterly, 49(1), 70-83.
Bagian pertama dari dua studi meneliti perbedaan antara melaporkan relasional penggunaan strategi pemeliharaan dengan tinggi dan rendahnya kecemasan komunikasi antaretnis (IECAs). Instrumen berdasarkan Canary dan Stafford (1992) strategi taksonomi pemeliharaan hubungan dan Neuliep dan McCroskey ini (1997a) Laporan Pribadi kecemasan Komunikasi Antaretnis (PRCA) dipekerjakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa individu yang IECAs-nya rendah dilaporkan signifikan  lebih banyak menggunakan tugas, jaringan, dan strategi positif.
Perbedaan strategi keterbukaan dan jaminan diikuti pola yang sama tetapi tidak signifikan. Peserta dilaporkan kegunaan dan skor IECA digunakan terbalik. Studi kedua mereplikasi yang pertama dan menjelajahi dua penjelasan teoritis untuk hasil. Penelitian ini menunjukkan perbedaan signifikan pada semua dimensi dan signifikan korelasi negatif. Penelitian ini juga meneliti apakah hambatan sifat komunikasi (mengabaikan etnis) dan/atau etnosentrisme dugaan komponen dasar dari IECA dapat menjelaskan perbedaan dalam laporan hubungan perilaku komunikasi. Hasil dari kedua studi menunjukkan bahwa kedua sifat CA dan etnosentrisme berkontribusi terhadap prediksi IECA dan  keseluruhan yang dilaporkan menggunakan strategi, dan etnosentrisme itu adalah prediktor yang lebih baik.
Dari dua artikel tersebut, penulis mencoba menguraikan mengenai komunikasi lintas budaya dan model etnosentrisme, baik dari definisi, teori pendukung, serta hubungan kecemasan komunikasi lintas budaya dengan etnosentrisme.
 
2.    KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA
2.1  Pengertian Komunikasi Lintas Budaya
Komunikasi lintas budaya merupakan salah satu bidang kajian Ilmu Komunikasi yang lebih menekankan pada perbandingan pola-pola komunikasi antar pribadi diantara peserta komunikasi yang berbeda kebudayaan.
Pada awalnya, studi lintas budaya berasal dari perspektif antropologi sosial dan budaya sehingga kajiannya lebih bersifat depth description, yakni penggambaran yang mendalam tentang perilaku komunikasi berdasarkan budaya tertentu.
Banyak pembahasan komunikasi lintas budaya yang berkisar pada perbandingan perilaku komunikasi antarbudaya dengan menunjukkan perbedaan dan persamaan sebagai berikut :
1)    Persepsi, yaitu sifat dasar persepsi dan pengalaman persepsi, peranan lingkungan sosial dan fisik terhadap pembentukan persepsi,
2)    Kognisi, yang terdiri dari unsur-unsur khusus kebudayaan, proses berpikir, bahasa dan cara berpikir,
3)    Sosialisasi, berhubungan dengan masalah sosialisasi universal dan relativitas, tujuan-tujuan institusionalisasi, dan
4)    Kepribadian, misalnya tipe-tipe budaya pribadi yang mempengaruhi etos, dan tipologi karakter atau watak bangsa.

2.2  Ruang Lingkup Komunikasi Lintas Budaya

Budaya-budaya yang berbeda memiliki sistem-sistem nilai yang berbeda dan karenanya ikut menentukan tujuan hidup yang berbeda, juga menentukan cara berkomunikasi kita yang sangat dipengaruhi oleh bahasa, aturan dan norma yang ada pada masing-masing budaya. Sehingga sebenarnya dalam setiap kegiatan komunikasi kita dengan orang lain selalu mengandung potensi komunikasi lintas budaya atau antar budaya, karena kita akan selalu berada pada “budaya” yang berbeda dengan orang lain, seberapa pun kecilnya perbedaan itu.
Perbedaan-perbedaan ekspektasi budaya dapat menimbulkan resiko yang fatal, setidaknya akan menimbulkan komunikasi yang tidak lancar, timbul perasaan tidak nyaman atau timbul kesalahpahaman. Akibat dari kesalahpahaman-kesalahpahaman itu banyak kita temui dalam berbagai kejadian yang mengandung etnosentrisme dewasa ini dalam wujud konflik-konflik yang berujung pada kerusuhan atau pertentangan antar etnis.
Sebagai salah satu jalan keluar untuk meminimalisir kesalahpahaman-kesalahpahaman akibat perbedaan budaya adalah dengan mengerti atau paling tidak mengetahui bahasa dan perilaku budaya orang lain, mengetahui prinsip-prinsip komunikasi lintas budaya dan mempraktekkannya dalam berkomunikasi dengan orang lain.
Konflik antarbudaya tidak bisa dianggap sepele. Bisa jadi berkata dan bertindak kasar merupakan hal biasa di suatu budaya tapi merupakan hal yang luar biasa dan penghinaan di budaya yang lain. Kegagalan komunikasi sehari-hari, kesalahpahaman karena faktor perbedaan bahasa, perbedaan latar belakang budaya, sikap perilaku eksklusif karena merasa ekspatriat dan sikap-sikap lain yang tidak sesuai dengan latar budaya lokal dapat menimbulkan prasangka serta sangat mungkin diakhiri dengan konflik terbuka yang berakibat fatal.
Persepsi dan sikap yang dapat menghambat bahkan berpotensi menggagalkan komunikasi harus dihilangkan. Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa sikap berikut ini potensial menggagalkan komunikasi bahkan dapat menimbulkan konflik, yaitu: etnosentrisme, ketidakpercayaan, kurangnya empati, penghindaran, apatis, stereotyping dan prasangka (Pliopaite, 2010).
Kebutuhan untuk mempelajari komunikasi lintas budaya ini semakin terasakan karena semakin terbukanya pergaulan kita dengan orang-orang dari berbagai budaya yang berbeda, disamping kondisi bangsa Indonesia yang sangat majemuk dengan berbagai ras, suku bangsa, agama, latar belakang daerah (desa/kota),latar belakang pendidikan, dan sebagainya.
Untuk memerinci alasan dan tujuan mempelajari komunikasi lintas budaya Litvin (1977) menyebutkan beberapa alasan diantaranya sebagai berikut:
1       1)    Dunia sedang menyusut dan kapasitas untuk memahami keanekaragaman budaya sangat diperlukan.
2      2)    Semua budaya berfungsi dan penting bagi pengalaman anggota-anggota budaya tersebut meskipun nilai-nilainya berbeda.
3        3)    Nilai-nilai setiap masyarakat se”baik” nilai-nilai masyarakat lainnya.
4        4)    Setiap individu dan/atau budaya berhak menggunakan nilai-nilainya sendiri.
5       5)    Perbedaan-perbedaan individu itu penting, namun ada asumsi-asumsi dan pola-pola budaya mendasar yang berlaku.
6     6)    Pemahaman atas nilai-nilai budaya sendiri merupakan prasyarat untuk mengidentifikasi dan memahami nilai-nilai budaya lain.
7      7)    Dengan mengatasi hambatan-hambatan budaya untuk berhubungan dengan orang lain kita memperoleh pemahaman dan penghargaan bagi kebutuhan, aspirasi, perasaan dan masalah manusia.
8      8)    Pemahaman atas orang lain secara lintas budaya dan antar pribadi adalah suatu usaha yang memerlukan keberanian dan kepekaan. Semakin mengancam pandangan dunia orang itu bagi pandangan dunia kita, semakin banyak yang harus kita pelajari dari dia, tetapi semakin berbahaya untuk memahaminya.
9     9)    Pengalaman-pengalaman antar budaya dapat menyenangkan dan menumbuhkan kepribadian.
1   10) Keterampilan-keterampilan komunikasi yang diperoleh memudahkan perpindahan seseorang dari pandangan yang monokultural terhadap interaksi manusia ke pandangan multikultural.
1  11) Perbedaan-perbedaan budaya menandakan kebutuhan akan penerimaan dalam komunikasi, namun perbedaan-perbedaan tersebut secara arbitrer tidaklah menyusahkan atau memudahkan.
1   12) Situasi-situasi komunikasi antar budaya tidaklah statik dan bukan pula stereotip. Karena itu seorang komunikator tidak dapat dilatih untuk mengatasi situasi. Dalam konteks ini kepekaan, pengetahuan dan keterampilannya bisa membuatnya siap untuk berperan serta dalam menciptakan lingkungan komunikasi yang efektif dan saling memuaskan.
Sedangkan mengenai tujuan mempelajari komunikasi lintas budaya, Litvin (1977) menguraikan bahwa tujuan itu bersifat kognitif dan afektif, yaitu untuk:
1)    Menyadari bias budaya sendiri
2)    Lebih peka secara budaya
3)    Memperoleh kapasitas untuk benar-benar terlibat dengan anggota dari budaya lain untuk menciptakan hubungan yang langgeng dan memuaskan orang tersebut.
4)    Merangsang pemahaman yang lebih besar atas budaya sendiri
5)    Memperluas dan memperdalam pengalaman seseorang
6)    Mempelajari keterampilan komunikasi yang membuat seseorang mampu menerima gaya dan isi komunikasinya sendiri.
7)    Membantu memahami budaya sebagai hal yang menghasilkan dan memelihara semesta wacana dan makna bagi para anggotanya
8)    Membantu memahami kontak antar budaya sebagai suatu cara memperoleh pandangan ke dalam budaya sendiri:asumsi-asumsi, nilai-nilai, kebebasan-kebebasan dan keterbatasan-keterbatasannya.
9)    Membantu memahami model-model, konsep-konsep dan aplikasi-aplikasi bidang komunikasi antar budaya.
10) Membantu menyadari bahwa sistem-sistem nilai yang berbeda dapat dipelajari secara sistematis, dibandingkan, dan dipahami.

2.3  Memahami Dan Mendefinisikan Komunikasi Dan Budaya
Komunikasi lintas budaya terjadi bila pengirim pesan adalah anggota dari suatu budaya dan penerima pesannya adalah anggota dari suatu budaya yang lain. Oleh karena itu, sebelum membicarakan Komunikasi Lintas Budaya lebih lanjut kita akan membahas konsep komunikasi dan budaya dan hubungan diantara keduanya terlebih dahulu.
Pembicaraan tentang komunikasi akan diawali dengan asumsi bahwa komunikasi berhubungan dengan kebutuhan manusia dan terpenuhinya kebutuhan berinteraksi dengan manusia-manusia lainnya. Kebutuhan berhubungan sosial ini terpenuhi melalui pertukaran pesan yang berfungsi sebagai jembatan untuk mempersatukan manusia-manusia yang tanpa berkomunikasi akan terisolasi.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa komunikasi merupakan proses penyampaian pesan dari seorang komunikator kepada komunikan. Dan proses berkomunikasi itu merupakan sesuatu yang tidak mungkin tidak dilakukan oleh seseorang karena setiap perilaku seseorang memiliki potensi komunikasi.
Proses komunikasi melibatkan unsur-unsur sumber (komunikator), Pesan, media, penerima dan efek. Disamping itu proses komunikasi juga merupakan sebuah proses yang sifatnya dinamik, terus berlangsung dan selalu berubah, dan interaktif, yaitu terjadi antara sumber dan penerima.Proses komunikasi juga terjadi dalam konteks fisik dan konteks sosial, karena komunikasi bersifat interaktif sehingga tidak mungkin proses komunikasi terjadi dalam kondisi terisolasi. Konteks fisik dan konteks sosial inilah yang kemudian merefleksikan bagaimana seseorang hidup dan berinteraksi dengan orang lainnya sehingga terciptalah pola-pola interaksi dalam masyarakat yang kemudian berkembang menjadi suatu budaya.
Adapun budaya itu sendiri berkenaan dengan cara hidup manusia. Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, praktek komunikasi, tindakan-tindakan sosial, kegiatan-kegiatan ekonomi dan politik dan teknologi semuanya didasarkan pada pola-pola budaya yang ada di masyarakat.
Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok.(Mulyana, 1996:18)
Budaya dan komunikasi tak dapat dipisahkan satu sama lain, karena budaya tidak hanya menentukan siapa bicara dengan siap, tentang apa dan bagaimana orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan, dan kondisi-kondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan. Budaya merupakan landasan komunikasi sehingga bila budaya beraneka ragam maka beraneka ragam pula praktek-praktek komunikasi yang berkembang.

2.4  Memahami Perbedaan-Perbedaan Budaya
Budaya adalah gaya hidup unik suatu kelompok manusia tertentu. Budaya bukanlah sesuatu yang dimiliki oleh sebagian orang dan tidak dimiliki oleh sebagian orang yang lainnya – budaya dimiliki oleh seluruh manusia dan dengan demikian seharusnya budaya menjadi salah satu faktor pemersatu.
Pada dasarnya manusia-manusia menciptakan budaya atau lingkungan sosial mereka sebagai suatu adaptasi terhadap lingkungan fisik dan biologis mereka. Individu-individu sangat cenderung menerima dan mempercayai apa yang dikatakan budaya mereka. Mereka dipengaruhi oleh adat dan pengetahuan masyarakat dimana mereka tinggal dan dibesarkan, terlepas dari bagaimana validitas objektif masukan dan penanaman budaya ini pada dirinya. Individu-individu itu cenderung mengabaikan atau menolak apa yang bertentangan dengan “kebenaran” kultural atau bertentangan dengan kepercayaan-kepercayaannya. Inilah yang seringkali merupakan landasan bagi prasangka yang tumbuh diantara anggota-anggota kelompok lain, bagi penolakan untuk berubah ketika gagasan-gagasan yang sudah mapan menghadapi tantangan.
Setiap budaya memberi identitas kepada sekolompok orang tertentu sehingga jika kita ingin lebih mudah memahami perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam msaing-masing budaya tersebut paling tidak kita harus mampu untuk mengidentifikasi identitas dari masing-masing budaya tersebut yang antara lain terlihat pada:
1)   Komunikasi dan Bahasa
Sistem komunikasi, verbal maupun nonverbal, membedakan suatu kelompok dari kelompok lainnya. Terdapat banyak sekali bahasa verbal diseluruh dunia ini demikian pula bahasa nonverbal, meskipun bahasa tubuh (nonverbal) sering dianggap bersifat universal namun perwujudannya sering berbeda secara lokal.
2)   Pakaian dan Penampilan
Pakaian dan penampilan ini meliputi pakaian dan dandanan luar juga dekorasi tubuh yang cenderung berbeda secara kultural.
3)   Makanan dan Kebiasaan Makan
Cara memilih, menyiapkan, menyajikan dan memakan makanan sering berbeda antara budaya yang satu dengan budaya yang lainnya. Subkultur-subkultur juga dapat dianalisis dari perspektif ini, seperti ruang makan eksekutif, asrama tentara, ruang minum teh wanita, dan restoran vegetarian.
4)   Waktu dan Kesadaran akan waktu
Kesadaran akan waktu berbeda antara budaya yang satu dengan budaya lainnya. Sebagian orang tepat waktu dan sebagian lainnya merelatifkan waktu.
5)   Penghargaan dan Pengakuan
Suatu cara untuk mengamati suatu budaya adalah dengan memperhatikan cara dan metode memberikan pujian bagi perbuatan-perbuatan baik dan berani, lama pengabdian atau bentuk-bentuk lain penyelesaian tugas.
6)   Hubungan-Hubungan
Budaya juga mengatur hubungan-hubungan manusia dan hubungan-hubungan organisasi berdasarkan usia, jenis kelamin, status, kekeluargaan, kekayaan, kekuasaan, dan kebijaksanaan.
7)   Nilai dan Norma
Berdasarkan sistem nilai yang dianutnya, suatu budaya menentukan norma-norma perilaku bagi masyarakat yang bersangkutan. Aturan ini bisa berkenaan dengan berbagai hal, mulai dari etika kerja atau kesenangan hingga kepatuhan mutlak atau kebolehan bagi anak-anak; dari penyerahan istri secara kaku kepada suaminya hingga kebebasan wanita secara total.
8)   Rasa Diri dan Ruang
Kenyamanan yang dimiliki seseorang atas dirinya bisa diekspresikan secara berbeda oleh masing-masing budaya. Beberapa budaya sangat terstruktur dan formal, sementara budaya lainnya lebih lentur dan informal. Beberapa budaya sangat tertutup dan menentukan tempat seseorang secara persis, sementara budaya-budaya lain lebih terbuka dan berubah.
9)   Proses mental dan belajar
Beberapa budaya menekankan aspek perkembangan otak ketimbang aspek lainnya sehingga orang dapat mengamati perbedaan-perbedaan yang mencolok dalam cara orang-orang berpikir dan belajar.
10)Kepercayaan dan sikap
Semua budaya tampaknya mempunyai perhatian terhadap hal-hal supernatural yang jelas dalam agama-agama dan praktek keagamaan atau kepercayaan mereka.

2.5  Aspek Terapan, Prinsip, Strategi Dan Komponen Komunikasi Lintas Budaya
Dalam kajian ilmu komunikasi, yang dimaksudkan dengan aspek-aspek komunikasi adalah semua ihwal yang menjadi objek material ilmu komunikasi. Yaitu: 1) Bentuk-bentuk komunikasi; 2) Sifat-sifat; 3) metode; 4)teknik; 5)fungsi; 6) tujuan; 7) model; 8) bidang-bidang; 9) sistem komunikasi.
Dalam menyusun perencanaan komunikasi lintas budaya ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan, yakni:
1.   Prinsip keselarasan (compatible)
2.   Prinsip kesesuaian dengan kebutuhan (need) sasaran, terutama menjawab masalah need berdasarkan tahap-tahap kebutuhan dari Maslow (kebutuhan biologis, sosiologis dan psikologis).
3.   Prinsip pelaksanaan suatu proses belajar mengajar yang efektivitasnya dipengaruhi oleh sifat atau ciri sasaran masyarakat di desa, tenaga pengajar, fasilitas, materi dan kondisi lingkungan.
4.   Prinsip pelaksanaan yang bertujuan mengembangkan sikap, pengetahuan, keteranpilan dan sikap serta kemampuan masyarakat di desa sasaran.
Selanjutnya perencanaan komunikasi tersebut dilakukan dengan strategi sebagai berikut:
1. Konsolidasi, yaitu memantapkan dan mengembangkan ketenagaan dan kelembagaan yang tangguh dan mendukung kerja “proses komunikasi”.
2.   Integrasi, yaitu menggalang keterpaduan kerja dengan lembaga atau pihak lain yang potensial untuk meningkatkan, daya guna dan hasil guna perencanaan proses komunikasi.
3.   Implementasi, yaitu menerapkan metode dan teknik perencanaan proses komunikasi termasuk penyediaan sarana dan prasarana serta materi perencanaan.
Sesuai dengan aspek-aspek yang terlibat dalam suatu proses komunikasi maka kita harus menentukan:
1.   Sasaran/komunikan. Seorang perencana komunikasi lintas budaya harus bisa mengidentifikasi masalah sasaran dengan cermat. Untuk memudahkan pendekatan terhadap sasaran yang jumlahnya banyak, beragam dan sukar dijangkau, maka perencana komunikasi harus mensegmentasikan sasaran ke dalam kelompok-kelompok yang lebih homogen.
2.   Komunikator. Komunikator yang handal adalah komunikator yang memiliki kredibilitas tertentu. Ada tiga jenis kredibilitas yaitu ethos, pathos dan logos.
3.   Pesan. Dalam konteks komunikasi lintas budaya, pesan merupakan tema-tema yang dibicarakan bersama oleh peserta komunikasi. Dalam hal ini seorang komunikator membutuhkan:
a.    Pengetahuan tentang bentuk-bentuk pesan verbal masyarakat sasaran.
b.    Pengetahuan terhadap isi pesan.
4.   Media. Merupakan alat bantu demi tercapainya efektivitas komunikasi. Beberapa bentuk media yang sifatnya hardware dan software, yaitu:
a.    Sarana komunikasi, seperti radio komunikasi, radio kaset, slide, tv, dan lain-lain.
b.    Sarana transportasi
c.    Alat bantu komunikasi yang biasa dipakai dalam penyuluhan, misalnya media unit-unit percontohan, produk hasil teknologi, dan lain-lain.
d.    Gedung, balai pertemuan atau tempat terbuka untuk pertemuan.
5.   Metode dan teknik. Ada beberapa metode yang bisa dipilih, yaitu:
a.    metode penyampaian atau memperoleh pesan yang bersifat informatif
b.    membujuk
c.    instruktif.
Sementara untuk teknik yang digunakan adalah teknik dialogis, yang dilakukan dengan dua cara, yaitu:
a.    Sikap mendengarkan
b.    Bertanya kepada kelompok sasaran.
6.    Konteks. Yaitu situasi dan kondisi yang bersifat lahir dan batin yang dialami para peserta komunikasi sehingga diharapkan bisa mempengaruhi setiap proses komunikasi.
Komunikasi lintas budaya memfokuskan perhatian pada bagaimana budaya-budaya yang berbeda berinteraksi dengan proses komunikasi; bagaimana komponen-komponen komunikasi berinteraksi dengan komponen-komponen budaya, yaitu :
1.       Komponen Pandangan Dunia.
Setiap budaya punya caranya yang khas dalam memandang dunia-dalam memahami, menafsirkan dan menilai dunia. Ketika komunikasi lintas budaya terjadi, pandangan dunia akan mempengaruhi proses penyandian dan pengalihasandian. Pandangan dunia juga dapat dipakai untuk memdiagnosis “noise” yang terjadi dan menunjukkan “terapi”-nya.
2.       Komponen Kepercayaan (beliefs).
Salah satu unsur kepercayaan yang sangat penting dalam komunikasi lintas kultural adalah citra (image) kita dengan komunikasi dari budaya lain. Citra mempengaruhi perilaku kita dalam hubungannya dengan orang yang citranya kita miliki. Citra menentukan desain pesan komunikasi kita.
3.       Komponen nilai.
Sistem nilai masyarakat dalam budaya tertentu mempengaruhi cara berpikir anggota-anggotanya. Spranger mengemukakan kategori nilai yang terkenal antara lain: nilai ilmiah, nilai religius, nilai ekonomis, nilai estetis, nilai politis dan nilai sosial.
4.       Nilai sejarah
Lewat sejarah yang mereka ketahui, anggota masyarakat saling bertukar pesan dalam komunikasi lintas budaya.
5.       Komponen Mitologi.
Mitologi suatu kelompok budaya memberikan pada kelompok pemahaman hubungan-hubungan, yakni, hubungan orang dengan orang, orang dengan kelompok luar, dan orang dengan kekuatan alami.
6.       Komponen otoritas status.
Setiap budaya mempunyai caranya sendiri dalam mendiskusikan otoritas status. Bersamaan dengan otoritas status ada permainan peran yang ditentukan secara normatif.

2.6  Kompetensi Komunikasi Lintas Budaya
Kompetensi diterjemahkan sebagai kecakapan atau kemampuan. Berbagai literatur menempatkan kompetensi komunikasi antarbudaya hampir sama dengan kompetensi komunikasi secara umum. Orang yang kompeten dalam berkomunikasi artinya ia dapat berkomunikasi dengan efektif, yakni pesan dimaknai sama oleh pengirim dan penerima pesan. Jadi, kompetensi komunikasi lintasbudaya melihat keberhasilan dan kelayakan komunikasi dan interaksi antara orang-orang dari budaya yang berbeda yang mengidentifikasikan lingkungan simbolik dan fisik tertentu (Mulyana, 2005).
Para ilmuwan komunikasi antarbudaya mengidentifikasi empat komponen dasar dari kompetensi komunikasi antarbudaya, yaitu: motivasi, pengetahuan, sikap dan perilaku (Wiseman, 2002 dalam Martin dan Nakayama, 2007). Setiap ilmuwan menjabarkan ke empat komponen tersebut ke penjelasan yang lebih mendetil.  Hofstede (2001) menyatakan, untuk dapat mahir berkomunikasi antarbudaya harus melalui tahapan awareness, knowledge dan skills.
Martin dan Nakayama (2007) menjabarkan kompetensi komunikasi antarbudaya menjadi 2 komponen, yaitu komponen individual dan komponen kontekstual.
Komponen individual terdiri dari:
  1. Motivasi, yaitu keinginan untuk berkomitmen dalam hubungan, keinginan untuk belajar tentang diri pribadi dan orang lain dan berusaha untuk fleksibel. Motivasi adalah dimensi terpenting dalam komponen individual.
  2. Pengetahuan dan pengetahuan tentang diri sendiri, yaitu mengenal kelebihan dan kekurangan diri sebagai komunikator.
  3. Pengetahuan bahasa, yaitu pengetahuan tentang bahasa ibu, bahasa asing dan tahu  kesulitan-kesulitannya.
  4. Sikap, termasuk toleran terhadap makna ambigu, empati dan tidak berprasangka buruk.
  5. Perilaku dan ketrampilan.
Komponen kontekstual terdiri dari:
  1. Pemahaman atas konteks dan setting dimana komunikasi berlangsung. Seorang komunikator yang baik harus sensitif pada kondisi dan latar budaya sekelilingnya.
  2. Mengetahui posisi kita sebagai komunikator di dalam suatu percakapan / pertemuan / situasi.
Chen dan Starosta (2008) menawarkan sebuah model kompetensi komunikasi lintasbudaya. Model ini bertujuan untuk meningkat kemampuan interaktan dalam memahami, menghargai, mentoleransi dan mengintegrasikan perbedaan budaya, sehingga mereka siap menjadi menjadi anggota masyarakat dunia. Model ini menyajikan sebuah proses transformasional dari saling ketergantungan simetris yang dijelaskan melalui tiga perspektif : (a) affective, atau sensitivitas antar budaya ; (b) cognitive, atau kesadaran antar budaya ; dan (c) behavioral, atau kecakapan antar budaya.
Ketiga perspektif ini sama-sama penting, tidak dapat dipisahkan dan membentuk gambaran yang holistik dari kompetensi komunikasi lintasbudaya.
  1. The Affective Process : Intercultural Sensitivy
a.    Self-concept (konsep diri) : cara seseorang memandang dirinya.
b.    Open-mindedness (berpikiran terbuka)
c.    Non-judmental attitudes : tidak berprasangka buruk
d.    Social relaxation : kemampuan untuk mengungkap hanya sedikit kecemasan emosi ketika berkomunikasi antarbudaya.
2.    The Cognitive Process : Intercultural Awareness
a.    Self-awareness atau self-monitoring : kesadaran diri
b.    Cultural awareness : kesadaran budaya
  1. The Behavioral Process : Intercultural Adroitness (Communication Skills)
a.    Message skills : kemampuan untuk menggunakan bahasa orang lain.
b.    Appropriate self-disclosure : pengungkapan diri yang layak
c.    Behavioral flexibility : kemampuan untuk memilih perilaku yang layak dalam konteks dan situasi yang berbeda.
d.    Interaction management : kemampuan untuk berbicara dalam percakapan dan untuk memulai dan menghentikan pembicaraan secara layak.
e.    Social skills : empati
Kim (dalam Gudykunts dan Kim, 2003) mengemukakan 3 dimensi kompetensi komunikasi antarbudaya terutama untuk expatriate yang ditempatkan di suatu negara :
  1. Dimensi kognitif : memiliki pengetahuan tentang bahasa setempat, tanda-tanda non-verbal, nilai-nilai budaya, sistem komunikasi dan aturan berinteraksi.
  2. Dimensi afektif : memiliki motivasi dan orientasi sikap yang sesuai dengan budaya setempat, memiliki sensitifitas budaya, rasa humor, dan lain-lain.
  3. Dimensi perilaku : memiliki kemampuan berbicara, mendengarkan, membaca dan menulis bahasa setempat, mampu mengekspresikan dan memahami ekspresi non-verbal, dapat mengikuti aturan berinteraksi dan mampu mengelola hubungan.

2.7  Teori-Teori Berdasarkan Perspektif Ilmu Komunikasi
Teori-teori Komunikasi Lintas Budaya merupakan teori-teori yang secara khusus menggeneralisasi konsep komunikasi diantara komunikator dengan komunikan yang berbeda kebudayaan, dan yang membahas pengaruh kebudayaan terhadap kegiatan komunikasi.
Liliweri (2001) mengatakan bahwa paling tidak ada tiga sumber yang bisa digunakan untuk menggeneralisasi teori komunikasi lintas budaya, yakni:
1.    Teori-teori komunikasi antar budaya yang dibangun akibat perluasan teori komunikasi yang secara khusus dirancang untuk menjelaskan komunikasi intra/antar budaya.
2.    Teori-teori baru yang dibentuk dari hasil-hasil penelitian khusus dalam bidang komunikasi antar budaya.
3.    Teori-teori komunikasi antar budaya yang diperoleh dari hasil generalisasi teori ilmu lain, termasuk proses sosial yang bersifat isomorfis.
Pada prinsipnya dalam penelitian yang menggunakan perspektif ini maka peneliti “menjadikan dirinya” sebagai bagian dari kebudayaan yang dia teliti, atau dengan kata lain, peneliti bertindak sebagai partisipan penuh karena dia masuk dalam suatu struktur budaya tertentu.(Liliweri, 2001:34).
Dalam penelitian berperspektif subjektif ini biasanya peneliti akan menolak masukan variabel kebudayaan lain ke dalam kebudayaan yang sedang diteliti. Oleh karena itu, para peneliti yang menggunakan perspektif ini kerap kali mendapat kritik karena gambaran yang diberikan tentang kebudayaan yang ditelitinya terlalu sedikit. Pendekatan subjektif pun sering mengkritik peneliti yang menarik kesimpulan tentang suatu budaya tertentu berdasarkan ukuran-ukuran yang berlaku pada kebudayaan lain.
Gundykunst (1983) mengemukakan bahwa terdapat lima pendekatan dalam ilmu komunikasi yang diasumsikan dapat menerangkan komunikasi lintas budaya. Kelima pendekatan tersebut adalah:
a         a)    Teori Komunikasi berdasarkan analisis kebudayaan implisit.
b        b)    Kebudayaan implisit adalam kebudayaan immmaterial, kebudayaan yang bentuknya tidak nampak sebagai benda namun dia “tercantum” atau “tersirat” dalam nilai dan norma budaya suatu masyarakat, misalnya bahasa.
 Pendekatan kebudayaan implisit mengandung beberapa asumsi yaitu:
1)  Kebudayaan mempengaruhi skema kognitif
2)  Kebudayaan mempengaruhi organisasi tujuan dan strategi tindakan
3)  Kebudayaan mempengaruhi pengorganisasian skema interaksi; dan
4)  Kebudayaan mempengaruhi proses komunikasi.
c    c)    Teori Analisis Kaidah Peran.
Dari berbagai penelitian yang dilakukan maka diketahui bahwa telah terjadi beragam variasi penerapan prinsip-prinsip teori “kaidah peran”. Beberapa isu yang menonjol misalnya:
1)    Apa saja sifat dasar yang dimiliki suatu masyarakat
2)    Apa yang dimaksudkan dengan kaidah peran?
3)    Apa hubungan antara aktor dan kaidah persan? Apakah setiap kaidah peran mampu menerangkan atau mengakibatkan perilaku tertentu?
d    d)    Teori analisis Interaksi antar budaya
Ada beberapa pendekatan ilmu komunikasi yang sering digunakan untuk menerangkan interaksi antar budaya, yakni:
1)    Pendekatan jaringan metateoritikal, yaitu studi tentang bagaimana derajat hubungan antar pribadi
2)    Teori Pertukaran. Inti teori ini mengatakan bahwa hubungan antarpribadi bisa diteruskan dan dihentikan. Makin besar keuntungan yang diperoleh dari hubungan antarpribadi maka makin besar peluang hubungan tersebut diteruskan. Sebaliknya makin kecil keuntungan yang diperoleh, maka makin kecil peluang hubungan tersebut diteruskan.
Wood (1982) dalam Liliweri (1994) mengidentifikasi 12 karakteristik pendekatan pertukaran tersebut adalah 1) Prinsip individual, 2) Komunikasi Coba-coba, 3) Komunikasi eksplorasi, 4) Komunikasi euphoria, 5) Komunikasi yang memperbaiki, 6) komunikasi pertalian, 7) Komunikasi sebagai pengemudi, 8) komunikasi yang membedakan, 9) Komunikasi yang disintegratif, 10) Komunikasi yang macet, 11) Pengakhiran komunikasi, dan 12) Individualis.
e. Teori pengurangan tingkat kepastian
Berger (1982) menyatakan bahwa salah satu dari fungsi utama komunikasi adalah fungsi informasi yaitu untuk mengurangi tingkat ketidakpastian komunikator dan komunikan. Setiap individu memiliki keinginan yang kuat untuk memperoleh informasi tertentu tentang pihak lain. Berger merekomendasikan strategi pencarian informasi sebagai berikut:
1)    Mengamati pihak lain secara pasif,
2)    Menyelidiki atau menelusuri pihak lain,
3)    menanyakan informasi melalui pihak ketiga,
4)    Penanganan lingkungan kehidupan pihak lain,
5)    Interogasi,
6)    Membuka diri.

2.8  Hambatan Komunikasi Lintas Budaya
Hambatan komunikasi atau yang juga dikenal sebagai communication barrier adalah segala sesuatu yang menjadi penghalang untuk terjadinya komunikasi yang efektif (Chaney & Martin, 2004, p. 11). Contoh dari hambatan komunikasi lintas budaya adalah kasus anggukan kepala, dimana di Amerika Serikat anggukan kepala mempunyai arti bahwa orang tersebut mengerti sedangkan di Jepang anggukan kepala tidak berarti seseorang setuju melainkan hanya berarti bahwa orang tersebut mendengarkan. Dengan memahami mengenai komunikasi antar budaya maka hambatan komunikasi (communication barrier) semacam ini dapat kita lalui.
Hambatan komunikasi (communication barrier) dalam komunikasi antar budaya (intercultural communication) mempunyai bentuk seperti sebuah gunung es yang terbenam di dalam air. Dimana hambatan komunikasi yang ada terbagi dua menjadi yang diatas air (above waterline) dan dibawah air (below waterline).
Faktor-faktor hambatan komunikasi antar budaya yang berada dibawah air (below waterline) adalah faktor-faktor yang membentuk perilaku atau sikap seseorang, hambatan semacam ini cukup sulit untuk dilihat atau diperhatikan. Jenis-jenis hambatan semacam ini adalah persepsi (perceptions), norma (norms), stereotip (stereotypes), filosofi bisnis (business philosophy), aturan (rules), jaringan (networks), nilai (values), dan grup cabang (subcultures group).
Sedangkan terdapat 9 (sembilan) jenis hambatan komunikasi antar budaya yang berada diatas air (above waterline). Hambatan komunikasi semacam ini lebih mudah untuk dilihat karena hambatan-hambatan ini banyak yang berbentuk fisik.
Hambatan-hambatan tersebut adalah (Chaney & Martin, 2004, p. 11 – 12):
1)    Fisik (Physical)
Hambatan komunikasi semacam ini berasal dari hambatan waktu, lingkungan, kebutuhan diri, dan juga media fisik.
2)    Budaya (Cultural)
Hambatan ini berasal dari etnik yang berbeda, agama, dan juga perbedaan sosial yang ada antara budaya yang satu dengan yang lainnya.
 3)    Persepsi (Perceptual)
Jenis hambatan ini muncul dikarenakan setiap orang memiliki persepsi yang berbeda-beda mengenai suatu hal. Sehingga untuk mengartikan sesuatu setiap budaya akan mempunyai pemikiran yang berbeda-beda.
4)    Motivasi (Motivational)
Hambatan semacam ini berkaitan dengan tingkat motivasi dari pendengar, maksudnya adalah apakah pendengar yang menerima pesan ingin menerima pesan tersebut atau apakah pendengar tersebut sedang malas dan tidak punya motivasi sehingga dapat menjadi hambatan komunikasi.
5)    Pengalaman (Experiantial)
Experiental adalah jenis hambatan yang terjadi karena setiap individu tidak memiliki pengalaman hidup yang sama sehingga setiap individu mempunyai persepsi dan juga konsep yang berbeda-beda dalam melihat sesuatu.
6)    Emosi (Emotional)
Hal ini berkaitan dengan emosi atau perasaan pribadi dari pendengar. Apabila emosi pendengar sedang buruk maka hambatan komunikasi yang terjadi akan semakin besar dan sulit untuk dilalui.
7)    Bahasa (Linguistic)
Hambatan komunikasi yang berikut ini terjadi apabila pengirim pesan (sender)dan penerima pesan (receiver) menggunakan bahasa yang berbeda atau penggunaan kata-kata yang tidak dimengerti oleh penerima pesan.
8)    Nonverbal
Hambatan nonverbal adalah hambatan komunikasi yang tidak berbentuk kata-kata tetapi dapat menjadi hambatan komunikasi. Contohnya adalah wajah marah yang dibuat oleh penerima pesan (receiver) ketika pengirim pesan (sender) melakukan komunikasi. Wajah marah yang dibuat tersebut dapat menjadi penghambat komunikasi karena mungkin saja pengirim pesan akan merasa tidak maksimal atau takut untuk mengirimkan pesan kepada penerima pesan. Secara psikologis, perilaku-perilaku nonverbal ditafsirkan sebagai ekspresi keadaan individu, seperti emosi individu (Budyatna dan Leila, 2011).
9)    Kompetisi (Competition)
Hambatan semacam ini muncul apabila penerima pesan sedang melakukan kegiatan lain sambil mendengarkan. Contohnya adalah menerima telepon selular sambil menyetir, karena melakukan 2 (dua) kegiatan sekaligus maka penerima pesan tidak akan mendengarkan pesan yang disampaikan melalui telepon selularnya secara maksimal.
Philipsen (dalam Griffin, 2003) mendeskripsikan budaya sebagai suatu konstruksi sosial dan pola simbol, makna-makna, pendapat, dan aturan-aturan yang dipancarkan secara mensejarah. Pada dasarnya, budaya adalah suatu kode. Terdapat empat dimensi krusial yang dapat untuk memperbandingkan budaya-budaya, yaitu:
1)    Jarak kekuasaan (power distance)
2)    Maskulinitas.
3)    Penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance).
4)    Individualisme.
Berkenaan dengan pembahasan komunikasi antarbudaya, Griffin (2003) menyadur teori Anxiety/Uncertainty Management; Face-Negotiation; dan Speech Codes.

1)    Anxiety/Uncertainty Management Theory (Teori Pengelolaan Kecemasan/ Ketidakpastian)
Teori yang di publikasikan William Gudykunst ini memfokuskan pada perbedaan budaya pada kelompok dan orang asing. Ia berniat bahwa teorinya dapat digunakan pada segala situasi dimana terdapat perbedaan diantara keraguan dan ketakutan.
Ia menggunakan istilah komunikasi efektif kepada proses-proses meminimalisir ketidakmengertian. Penulis lain menggunakan istilah accuracy, fidelity, understanding untuk hal yang sama.
Gudykunst menyakini bahwa kecemasan dan ketidakpastian adalah dasar penyebab dari kegagalan komunikasi pada situasi antar kelompok. Terdapat dua penyebab dari mis-interpretasi yang berhubungan erat, kemudian melihat itu sebagai perbedaan pada ketidakpastian yang bersifat kognitif dan kecemasan yang bersifat afeksi- suatu emosi.
Konsep-konsep dasar Anxiety/Uncertainty Management Theory:
a)    Konsep diri dan diri.
Meningkatnya harga diri ketika berinteraksi dengan orang asing akan menghasilkan peningkatan kemampuan mengelola kecemasan.
b)    Motivasi untuk berinteraksi dengan orang asing.
Meningkatnya kebutuhan diri untuk masuk di dalam kelompok ketika kita berinteraksi dengan orang asing akan menghasilkan sebuah peningkatan kecemasan.
c)    Reaksi terhadap orang asing.
Sebuah peningkatan dalam kemampuan kita untuk memproses informasi yang kompleks tentang orang asing akan menghasilkan sebuah peningkatan kemampuan kita untuk memprediksi secara tepat perilaku mereka.
Sebuah peningkatan untuk mentoleransi ketika kita berinteraksi dengan orang asing menghasilkan sebuah peningkatan mengelola kecemasan kita dan menghasilkan sebuah peningkatan kemampuan memprediksi secara akurat perilaku orang asing. Sebuah peningkatan berempati dengan orang asing akan menghasilkan suatu peningkatan kemampuan memprediksi perilaku orang asing secara akurat.
d)    Kategori sosial dari orang asing.
Sebuah peningkatan kesamaan personal yang kita persepsi antara diri kita dan orang asing akan menghasilkan peningkatan kemampuan mengelola kecemasan kita dan kemampuan memprediksi perilaku mereka secara akurat. Pembatas kondisi: pemahaman perbedaan-perbedaan kelompok kritis hanya ketika orang orang asing mengidentifikasikan secara kuat dengan kelompok.
Sebuah peningkatan kesadaran terhadap pelanggaran orang asing dari harapan positif kita dan atau harapan negatif akan menghasilkan peningkatan kecemasan kita dan akan menghasilkan penurunan di dalam rasa percaya diri dalam memperkrakan perilaku mereka.
e)    Proses situasional.
Sebuah peningkatan di dalam situasi informal di mana kita sedang berkomunikasi dengan orang asing akan menghasilkan sebuah penurunan kecemasan kita dan sebuah peningkatan rasa percaya diri kita terhadap perilaku mereka.
f)     Koneksi dengan orang asing.
Sebuah peningkatan di dalam rasa ketertarikan kita pada orang asing akan menghasilkan penurunan kecemasan kita dan peningkatan rasa percaya diri dalam memperkirakan perilaku mereka.
Sebuah peningkatan dalam jaringan kerja yang kita berbagi dengan orang asing akan menghasilkan penurunan kecemasan kita dan menghasilkan peningkatan rasa percaya diri kita untuk memprediksi perilaku orang lain.

2). Face-Negotiation Theory
Teori yang dipublikasikan Stella Ting-Toomey ini membantu menjelaskan perbedaan -perbedaan budaya dalam merespon konflik. Ting-Toomey berasumsi bahwa orang-orang dalam setiap budaya akan selalu negotiating face. Istilah itu adalah metaphor citra diri publik kita, cara kita menginginkan orang lain melihat dan memperlakukan diri kita. Face work merujuk pada pesan verbal dan non verbal yang membantu menjaga dan menyimpan rasa malu (face loss), dan menegakkan muka terhormat. Identitas kita dapat selalu dipertanyakan, dan kecemasan dan ketidakpastian yang digerakkan oleh konflik yang membuat kita tidak berdaya/harus terima. Postulat teori ini adalah face work orang-orang dari budaya individu akan berbeda dengan budaya kolektivis. Ketika face work adalah berbeda, gaya penangan konflik juga beragam.
Terdapat tiga perbedaan penting diantara budaya individulis dan budaya kolektivis. Perbedaan-perbedaan itu adalah dalam cara mendefinisikan: diri; tujuan-tujuan; dan kewajiban.
Konsep
Budaya individualis
Budaya kolektivis
Diri
Sebagai dirinya sendiri
Sebagai bagian kelompok
Tujuan
Tujuan diperuntukan kepada pencapaian kebutuhan diri.
Tujuan diperuntukan kepada pencapaian kebutuhan kelompok
Kewajiban
Melayani diri sendiri
Melayani kelompok/orang lain.

Teori ini menawarkan model pengelolaan konflik sebagai berikut:
a.    Avoiding (penghindaran) – saya akan menghindari diskusi perbedaan-perbedaan saya dengan anggota kelompok.
b.    Obliging (keharusan) – saya akan menyerahkan pada ke kebijakan anggota kelompok.
c.    Compromising – saya akan menggunakan memberi dan menerima sedemikian sehingga suatu kompromi bisa dibuat.
d.    Dominating – saya akan memastikan penanganan isu sesuai kehendak-ku.
e.    Integrating – saya akan menukar informasi akurat dengan anggota kelompok untuk memecahkan masalah bersama-sama.
Face-negotiation teory menyatakan bahwa avoiding, obliging, compromising, dominating, dan integrating bertukar-tukar menurut campuran perhatian mereka untuk self-face dan other -face.

3. Speech Codes Theory
Teori yang dipublikaskan Gerry Philipsen ini berusaha menjawab tentang keberadaan speech code dalam suatu budaya, bagaimana substansi dan kekuatannya dalam sebuah budaya. Ia menyampaikan proposisi-proposisi sebagai berikut:
a.    Dimanapun ada sebuah budaya, disitu diketemukan speech code yang khas.
b.    Sebuah speech code mencakup retorikal, psikologi, dan sosiologi budaya.
c.    Pembicaraan yang signifikan bergantung speech code yang digunakan pembicara dan pendengar untuk memkreasi dan menginterpretasi komunikasi mereka.
d.    Istilah, aturan, dan premis terkait ke dalam pembicaraan itu sendiri.
e.    Kegunaan suatu speech code bersama adalah menciptakan kondisi memadai untuk memprediksi, menjelaskan, dan mengontrol formula wacana tentang intelijenitas, prudens (bijaksana, hati-hati) dan moralitas dari perilaku komunikasi.

3.    ETNOSENTRISME
3.1  Pengertian Etnosentrisme
Etnosentrisme didefinisikan sebagai kepercayaan pada superioritas inheren kelompok atau budayanya sendiri; etnosentrisme mungkin disertai rasa jijik pada orang-orang lain yang tidak sekelompok; etnosentrisme cenderung memandang rendah orang-orang lain yang tidak sekelompok dan dianggap asing; etnosentrisme memandang dan mengukur budaya-budaya asing dengan budayanya sendiri. (Mulyana:2000;70)
Etnosentrisme terjadi jika masing-masing budaya bersikukuh dengan identitasnya, menolak bercampur dengan kebudayaan lain. Porter dan Samovar mendefinisikan etnosentrisme seraya menuturkan, “Sumber utama perbedaan budaya dalam sikap adalah etnosentrisme, yaitu kecenderungan memandang orang lain secara tidak sadar dengan menggunakan kelompok kita sendiri dan kebiasaan kita sendiri sebagai kriteria untuk penilaian. Makin besar kesamaan kita dengan mereka, makin dekat mereka dengan kita; makin besar ketidaksamaan, makin jauh mereka dari kita. Kita cenderung melihat kelompok kita, negeri kita, budaya kita sendiri, sebagai yang paling baik, sebagai yang paling bermoral.”
Etnosentrisme membuat kebudayaan kita sebagai patokan untuk mengukur baik-buruknya kebudayaan lain dalam proporsi kemiripannya dengan budaya kita. Ini dinyatakaan dalam ungkapan : “orang-orang terpilih”, “progresif”, “ras yang unggul”, dan sebagainya. Biasanya kita cepat mengenali sifat etnosentris pada orang lain dan lambat mengenalinya pada diri sendiri.

3.2  Reaksi Etnosentrisme
Sebagian besar, meskipun tidak semuanya, kelompok dalam suatu masyarakat bersifat etnosentrisme. Semua kelompok merangsang pertumbuhan etnosentrisme, tetapi tidak semua anggota kelompok sama etnosentris. Sebagian dari kita adalah sangat etnosentris untuk mengimbangi kekurangan-kekurangan kita sendiri. Kadang-kadang dipercaya bahwa ilmu sosial telah membentuk kaitan erat antara pola kepribadian dan etnosentrisme.
Kecenderungan etnosentrisme berkaitan erat dengan kemampuan belajar dan berprestasi. Dalam buku The Authoritarian Personality, Adorno (1950) menemukan bahwa orang-orang etnosentris cenderung kurang terpelajar, kurang bergaul, dan pemeluk agama yang fanatik. Dalam pendekatan ini, etnosentrisme didefinisikan terutama sebagai kesetiaan yang kuat dan tanpa kritik pada kelompok etnis atau bangsa sendiri disertai prasangka terhadap kelompok etnis dan bangsa lain. Yang artinya orang yang etnosentris susah berasimilasi dengan bangsa lain, bahkan dalam proses belajar-mengajar.
Etnosentrisme akan terus marak apabila pemiliknya tidak mampu melihat human encounter sebagai peluang untuk saling belajar dan meningkatkan kecerdasan, yang selanjutnya bermuara pada prestasi. Sebaliknya, kelompok etnis yang mampu menggunakan perjumpaan mereka dengan kelompok-kelompok lain dengan sebaik-baiknya, di mana pun tempat terjadinya, justru akan makin meninggalkan etnosentrisme. Kelompok semacam itu mampu berprestasi dan menatap masa depan dengan cerah.
Etnosentrisme mungkin memiliki daya tarik karena faham tersebut mengukuhkan kembali “keanggotaan” seseorang dalam kelompok sambil memberikan penjelasan sederhana yang cukup menyenangkan tentang gejala sosial yang pelik. Kalangan kolot, yang terasing dari masyarakat, yang kurang berpendidikan, dan yang secara politis konservatif bisa saja bersikap etnosentris, tetapi juga kaum muda, kaum yang berpendidikan baik, yang bepergian jauh, yang berhaluan politik “kiri” dan yang kaya. Masih dapat diperdebatkan apakah ada suatu variasi yang signifikan, berdasarkan latar belakang sosial atau jenis kepribadian, dalam kadar etnosentris seseorang.
Jelas sekali bahwa dengan kita bersikap etnosentrisme kita tidak dapat memandang perbedaan budaya itu sebagai keunikan dari masing-masing budaya yang patut kita hargai. Dengan memandang budaya kita sendiri lebih unggul dan budaya lainnya yang asing sebagai budaya ’yang salah’, maka komunikasi lintas budaya yang efektif hanyalah angan-angan karena kita akan cenderung lebih membatasi komunikasi yang kita lakukan dan sebisa mungkin tidak terlibat dengan budaya asing yang berbeda atau bertentangan dengan budaya kita. Masing-masing budaya akan saling merendahkan yang lain dan membenarkan budaya diri sendiri, saling menolak, sehingga sangat potensial muncul konflik di antaranya. Contoh konflik yang sudah terjadi misalnya suku dayak dan suku madura yang sejak dulu terus terjadi. Kedua suku pedalaman itu masing-masing tidak mau saling menerima dan menghormati kebudayaan satu sama lain. Adanya anggapan bahwa budaya sendiri lah yang paling benar sementra yang lainnya salah dan tidak bermutu tidak hanya berwujud konfik namun sudah berbentuk pertikaian yang mengganas, keduanya sudah saling mmbunuh atar anggota budaya yang lain. Contoh lainnya, orang Indonesia cenderung menilai budaya barat sebagai budaya yang ’vulgar’ dan tidak tahu sopan santun. Budaya asli-budaya timur dinilai sebagai budaya yang paling unggul dan paling baik sehingga masyrakat kita cenderung membatasi pergaulan dengan orang barat. Orang takut jika terlalu banyak komunikasinya maka budaya asli akan tercemar budaya barat sebagai polusi pencemar.
Etnosentrisme dalam hal tertentu juga merupakan sesuatu yang positif. Tidak seperti anggapan umum yang mengatakan bahwa etnosentrisme merupakan sesuatu yang semata-mata buruk, etnosentrisme juga merupakan sesuatu yang fungsional karena mendorong kelompok dalam perjuangan mencari kekuasaan dan kekayaan. Pada saat konflik, etnosentrisme benar-benar bermanfaat. Dengan adanya etnosentrisme, kelompok yang terlibat konflik dengan kelompok lain akan saling dukung satu sama lain.
Etnosentrisme memiliki dua tipe yang satu sama lain saling berlawanan. Tipe pertama adalah etnosentrisme fleksibel. Seseorang yang memiliki etnosentrisme ini dapat belajar cara-cara meletakkan etnosentrisme dan persepsi mereka secara tepat dan bereaksi terhadap suatu realitas didasarkan pada cara pandang budaya mereka serta menafsirkan perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya. Tipe kedua adalah etnosentrisme infleksibel. Etnosentrisme ini dicirikan dengan ketidakmampuan untuk keluar dari perspektif yang dimiliki atau hanya bisa memahami sesuatu berdasarkan perspektif yang dimiliki dan tidak mampu memahami perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya.
Indikator terbaik menentukan tipe etnosentrisme seseorang dapat ditemukan pada respon orang tersebut dalam menginterpretasi perilaku orang lain. Misalnya seorang etnis Minang makan sambil jalan di gang rumah kita di Jogja, jika kita semata-mata memandang dari perspektif sendiri dan mengatakan “dia memang buruk”, “dia tidak sopan”, atau “itulah mengapa dia tidak disukai” berarti kita memiliki etnosentrisme yang kaku. Tapi jika mengatakan “itulah cara yang dia pelajari untuk melakukannya,” berarti mungkin kita memiliki etnosentrisme yang fleksibel.
Sikap etnosentrik dipengaruhi oleh banyak hal, diantaranya tipe kepribadian, derajat identifikasi etnik, dan ketergantungan. Semakin tinggi derajat identifikasi etnik umumnya semakin tinggi pula derajat etnosentrisme yang dimiliki, meski tidak selalu demikian. Helmi (1991) misalnya menemukan bahwa generasi muda etnik Cina memiliki sikap etnosentrik lebih rendah daripada yang tua. Temuan ini membuktikan bahwa semakin terikat seseorang terhadap etniknya maka semakin tinggi pula etnosentrisme yang dimiliki, sebab generasi tua etnik Cina umumnya memang masih cukup kuat terikat dengan negeri leluhurnya dibandingkan generasi mudanya yang telah melebur dengan masyarakat mayoritas lainnya.
Ketergantungan merupakan faktor penting yang menentukan etnosentrisme. Wanita yang notabene lebih tergantung terhadap keluarga dan kelompok memiliki sikap etnosentrik yang lebih tinggi. Sebuah penelitian mengenai etnosentrisme pada etnis Cina membuktikan bahwa wanita etnis Cina memiliki sikap etnosentrik lebih tinggi daripada laki-laki etnis Cina (Helmi, 1991). Hal ini nampaknya juga berlaku untuk etnik-etnik lainnya, karena praktis saat ini wanita masih lebih tergantung daripada laki-laki. Meskipun tentu saja sejalan dengan berkembangnya kesadaran gender dimana saat ini wanita menjadi semakin tidak tergantung lagi pada laki-laki dan kelompok, wanita akan menjadi tidak lebih etnosentrik daripada laki-laki.
Mungkin kita menduga bahwa keterikatan yang kuat dengan budaya etniknya akan menyebabkan rendahnya rasa kebangsaan. Sebuah penelitian yang dilakukan Panggabean (1996) membantah hal tersebut. Ia menemukan bahwa meningkatnya keterikatan seseorang dengan nilai budayanya akan diikuti dengan sikap kebangsaan yang positif. Sebaliknya, menurunnya keterikatan seseorang dengan nilai budayanya akan diikuti dengan sikap kebangsaan yang negatif. Jadi tidak berarti seseorang yang sangat terikat dengan budaya etniknya lantas melunturkan keindonesiaannya. Seseorang yang sangat etnosentrik belum tentu kurang Indonesianis ketimbang mereka yang kurang etnosentrik.
Terdapat beberapa cara  untuk menghindari reaksi dari etnosentris, yaitu:
1.    Menerapkan asas kesamaan
Pelaku harus menghargai budaya orang lain dan perbedaannya, dan menerima perbedaan tersebut dengan besar hati, serta menerapkan budaya sendiri didalam kelompok sendiri. Berfikir bahwa tidak ada budaya yang superior dan inferior, yang salah dan yang benar, serta yang tua dan yang muda.
2.    Menerapkan kaedah emas
Kaedah emas ialah memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan oleh orang lain. Cara ini sangat mudah dan efektif karena tidak perlu mempelajari budaya, dan nilai-nilai yang pantas pada lawan bicara kita.
3.    Menerapkan kaedah timah
Kaedah ini merupakan awan dari kaedah emas. Kaedah timah ialah memperlakukan orang lain sebagaimana mereka ingin diperlakukan. Cara ini terbilang sulit karena harus mempelajari norma-norma yang berlaku didalam budaya sang komunikan.

4.     KAITAN ETNOSENTRISME DAN KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA
Berbicara persoalan cara komunikasi antar etnis, dapat pula dianalisa bahwa sebagian besar orang suatu daerah cenderung menggunakan bahasa daerah ketika berkomunikasi dengan sesame etnis, tapi jika berhadapan dengan luar etnis. Hal ini acap kita kenal sebagai Etnosentrisme. Menurut Matsumoto (1996) etnosentrisme adalah kecenderungan untuk melihat dunia hanya melalui sudut pandang budaya sendiri. Berdasarkan definisi ini etnosentrisme tidak selalu negatif sebagimana umumnya dipahami. Etnosentrisme dalam hal tertentu juga merupakan sesuatu yang positif.
Etnosentrisme jelas bukan sesuatu yang harus dihilangkan sama sekali. Ia patut dipelihara karena etnosentrisme memang fungsional.
Etnosentrisme memiliki dua tipe yang satu sama lain saling berlawanan. Tipe pertama adalah etnosentrisme fleksibel. Seseorang yang memiliki etnosentrisme ini dapat belajar cara-cara meletakkan etnosentrisme dan persepsi mereka secara tepat dan bereaksi terhadap suatu realitas didasarkan pada cara pandang budaya mereka serta menafsirkan perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya.
Tipe kedua adalah etnosentrisme infleksibel. Etnosentrisme ini dicirikan dengan ketidakmampuan untuk keluar dari perspektif yang dimiliki atau hanya bisa memahami sesuatu berdasarkan perspektif yang dimiliki dan tidak mampu memahami perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya.
Dalam hal ini etnosentrisme fleksibellah yang harus dikembangkan. Dengan etnosentrisme fleksibel, kehidupan multikultur yang damai bisa berlangsung sementara masing-masing kultur tidak kehilangan identitasnya. Mengingat pentingnya memiliki etnosentrisme yang fleksibel dalam masyarakat multikultur seperti Indonesia maka diperlukan upaya-upaya untuk memperkuatnya. Tiga cara yang bisa kita lakukan untuk memperkuat etnosentrisme fleksibel menurut Matsumoto (1996), adalah:
a.    Mengetahui bagaimana cara kita memahami realitas sebagaimana yang biasa kita lakukan dalam cara tertentu. Misalnya saja kita mengerti bagaimana kita melakukan penilaian tentang ketidaksopanan. Sebab apa yang sopan menurut budaya kita mungkin saja bukan merupakan kesopanan dalam budaya yang lain.
b.    Mengakui dan menghargai kenyataan bahwa orang-orang yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda memiliki perbedaan cara dalam memahami realitas, dan bahwa versi mereka tentang sebuah realitas adalah sah dan benar bagi mereka sebagaimana versi kita sah dan benar untuk kita.
c.    Mengetahui mengenai budaya sendiri dan budaya orang lain serta pengaruhnya terhadap cara-cara memahami realitas dalam keadaan tertentu tidak cukup untuk menumbuhkan etnosentrisme fleksibel. Kita juga harus belajar untuk membedakan antara emosi, penilaian terhadap moralitas, dan penilaian terhadap kepribadian yang sering disamakan dengan etnosentrisme dan cara pandang budaya.
Apa yang dikemukakan Matsumoto diatas, jelas merupakan upaya-upaya pribadi yang bisa dilakukan agar seseorang bisa memiliki etnosentrisme yang fleksibel.
Komunikasi efektif akan terjadi ketika pesan yang disampaikan sampai kepada penerima pesan sesuai yang diinginkan, dalam hal ini proses encoding atau penyusunan symbol sangat berpengaruh. Seperti dalam pemilihan suatu bahasa, jika salah menggunakan tata bahasa yang tidak difahami oleh komunikan maka komunikasi tidak akan berjalan dengan baik. Maka penekanan pada dimensi hubungan suatu pola komunikasi timbale balik sangat di utamakan daripada penekanan pada dimensi isi suatu pola komunikasi. Karena dimensi isi hanya berkutat pada content tanpa adanya keterikatan dengan konteks. Lain halnya apabila dimensi hubungan suatu pesan di utamakan maka kita akan menempatkan konteks, gaya bahasa, gesture, mimic, dalam proporsi yang lebih banyak guna mencegah adanya missunderstanding dalam komunikasi lintas budaya.
Komunikasi lintas budaya akan berjalan dengan efektif diantaranya bila:
1.    Pihak – pihak yang berkomunikasi tersebut mampu meletakkan dan memfungsikan komunikasi didalam suatu konteks kebudayaan lawan bicaranya.
2.    Pihak – pihak yang berkomunikasi mampu meminimalkan kesalahpahaman atas pesan – pesan yang dipertukarkan.
3.    Pihak pihak yang berkomunikasi memiliki keterampilan komunikasi, kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan tekanan antar budaya serta memiliki kemampuan untuk membangun relasi – relasi antar budaya.
Selain upaya yang dapat dilakukan secara individu maupun kelompok. Disini juga terdapat upaya lain dalam mengatasi masalah tersebut. Ada beberapa contoh upaya yang telah dilaksanakan, di antaranya:
1.     The Salad Bowl (Amerika)
Yaitu menerima keanekaragaman yang ada, tetap memelihara dan membanggakan identitas etnik, namun tetap konsisten menjunjung tinggi identitas nasional sebagai bangsa Amerika.
2.    Relativitas Budaya dan Pandangan Etnik
Menurut faham ini, suatu kebudayaan tidak ada yang lebih baik ataupun yang lebih lebih buruk. Hal ini berarti bahwa kita harus memberikan penghargaan yang sama kepada semua adat-istiadat yang beranekaragam yang terdapat dalam masyarakat kita.
Memahami suatu kebudayaan adalah suatu hal yang tidak mudah, karena kita harus mampu memahami semua yang terkait dalam unsur-unsur kebudayan. Menurut pandangan Emik (Emic View), untuk mengerti dan menginterpretasikan setiap simbol budaya dalam hubungannya dengan praktek kehidupan suatu suku bangsa, seseorang harus dibekali dengan suatu sifat keterbukaan dan toleransi yang tinggi. Hal ini penting karena tiap-tiap simbol dari unsur kebudayaan memiliki makna dan nilai yang unik, sehingga seseorang tidak boleh semaunya sendiri memberikan makna pada simbol budaya yang berada diluar kebudayaan yang dimilikinya.
3.    Pendidikan Multikulutral (The Study of Cultural Diversity)
Ideologi Multikulturalisme adalah suatu kebijakan dan pendekatan budaya yang berorientasi pada prinsip-prinsip pelestarian budaya dan saling menghormati antar-kelompok. Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang ideal dimana kelompok-kelompok masyarakat dapat hidup secara harmonis, bebas untuk melestarikan kebiasaan-kebiasaan agama, linguistik atau sosial, persamaan dalam hal akses sumber daya dan pelayanan, dan lain-lain (Dufty, 1986). Secara sederhana multikulturalisme tidak hanya berarti keberagaman budaya, tetapi adanya pengakuan bahwa sebuah negara dan masyarakat adalah beragam.
Dalam tataran komunitas atau masyarakat, pendidikan multikultural merupakan jalan yang bisa dilakukan dalam mengembangkan etnosentrisme fleksibel. Pendidikan multikultural berarti pendidikan akan nilai-nilai keberagaman yang mengajarkan bagaimana toleran terhadap perbedaan. Adapun pendidikan itu bisa melalui pendidikan formal ataupun nonformal, seperti melalui keluarga, perkumpulan-perkumpulan, maupun media massa.
 
5. KESIMPULAN
1)    Komunikasi lintas budaya merupakan salah satu bidang kajian Ilmu Komunikasi yang lebih menekankan pada perbandingan pola-pola komunikasi antar pribadi diantara peserta komunikasi yang berbeda kebudayaan.
2)    Beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam komunikasi lintas budaya antar lain (a) Prinsip keselarasan (compatible), (b) Prinsip kesesuaian dengan kebutuhan (need) sasaran, (c) Prinsip pelaksanaan suatu proses belajar mengajar yang efektivitasnya dipengaruhi oleh sifat atau ciri sasaran masyarakat di desa, tenaga pengajar, fasilitas, materi dan kondisi lingkungan dan (d) Prinsip pelaksanaan yang bertujuan mengembangkan sikap, pengetahuan, keteranpilan dan sikap serta kemampuan masyarakat di desa sasaran.
3)    Hambatan komunikasi yang ada terbagi dua menjadi yang diatas air (above waterline) dan dibawah air (below waterline).
4)    Etnosentrisme merupakan sebuah kepercayaan pada superioritas inheren kelompok atau budayanya sendiri, cenderung memandang rendah orang-orang lain yang tidak sekelompok dan dianggap asing, dan memandang dan mengukur budaya-budaya asing dengan budayanya sendiri.
5)    Etnosentrisme memiliki dua tipe yang satu sama lain saling berlawanan, yaitu etnosentrisme fleksibel dan infleksibel.
6)   Dalam kaitan dengan komunikasi lintas budaya pihak - pihak yang berkomunikasi  harus mampu meletakkan dan memfungsikan komunikasi didalam suatu konteks kebudayaan lawan bicaranya, meminimalkan kesalahpahaman atas pesan – pesan yang dipertukarkan, dan memiliki keterampilan komunikasi, kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan tekanan antar budaya serta memiliki kemampuan untuk membangun relasi – relasi lintas.

DAFTAR PUSTAKA

Adorno, T.W. 1950. The Authoritarian Personality. New York: W.W. Norton
Budyatna Muhammad dan Leila Mona Ganiem, 2011, Teori Komunikasi Antar Pribadi, Jakarta:Kencana Prenada Media Grup.
Chaney, Lilian,Martin, Jeanette & Martin. 2004. Intercultural Business Communication. New Jersey: Pearson Education, Inc, Upper Saddle River.
Gundykunst, 1983, intercultural communicatin theory, paper on International dan Intercultural Communication Annual.
Gudykunts, W. B., & Kim, Y. Y. (2003). Communicating with Strangers: An Approach to Intercultural Communication. New York: McGraw-Hill.
Griffin, Em.(ed) 2003. A First Look at Communication Theory, 5 th edition, : New York McGraw Hill.
Hofstede, G. H. (2001). Culture’s Consequence. Comparing Values, Behaviours, Institutions, and Organizations Across Nations (2nd Edition ed.). California, USA: Sage Publications.
Liliweri, Alo. 1994 . Perspektif Teoritis Komunikasi Antar  Pribadi (Suatu Pendekatan Ke Arah Psikologi Sosial Komunikasi. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti
___________,2001. Gatra-Gatra Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Litvin Joel, 1977. The Importance of Developing Intercultural Communication Curricula in Australia. Paper presented at the Conference on Interpersonal and Mass Communication (Sydney, Australia, December 1976). 36 p.Australia
Martin, J. N., & Nakayama, T. K. (2007). Intercultural Communication in Contexts (4th Edition ed.). Boston, USA: McGraw-Hill.
Mulyana, Deddy, Jalaluddin Rakhmat. 1996. (Editor) Komunikasi antar Budaya. Panduan berkomunikasi dengan orang-orang berbeda budaya. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Mulyana, D. (2005). Komunikasi Efektif. Suatu Pendekatan Lintasbudaya (2nd Edition ed.). Bandung: Remaja Rosdakarya
Pliopaitė, I., & Radzevičienė, A. (2010). Intercultural Competence Development in EU Banking Sector. Journal Business in XXI Century , 75-82.
Samovar, Larry.A., Richard E.Porter & Edwin R. McDaniel, 2006, Intercultural Communication (A Reader), 11th (ed), Thomson and Wadsworth Publishing Company, Belmont California.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar