1. PENDAHULUAN
Dari
berbagai artikel penelitian yang terdapat pada Penilaian Motivasi untuk Berkomunikasi : Kesediaan untuk Berkomunikasi dan Laporan Pribadi akan Kecemasan
Berkomunikasi (Assessing Motivation to Communicate:
Willingness to Communicate and Personal Report of Communication Apprehension) yang dibuat oleh National Communication Association (2007), terdapat beberapa
artikel yang membahas hubungan antara kecemasan komunikasi lintas budaya (intercultural communication apprehension) dan etnosentris (Ethnocentrism), yaitu :
1.
Rancer,
A., & Yang, L. (2003). Ethnocentrism,
intercultural communication apprehension, intercultural
willingness-to-communicate, and intentions to participate in an intercultural
dialogue program: Testing a proposed model. Communication Research
Reports, 20(2), 189-190.
Artikel
ini fokus pada model etnosentrisme dan hambatan komunikasi lintas budaya,
kesediaan berkomunikasi lintas budaya (intercultural willingness to communicate
/IWTC) dan niat untuk berpartisipasi dalam program dialog antarbudaya. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa yang diusulkan adalah model perbaikan (refinement). Data menunjukkan model modified refinement berpendapat bahwa
etnosentrisme dan hambatan komunikasi antarbudaya sangat terkait. Hal ini juga
berpendapat bahwa etnosentrisme dan hambatan komunikasi lintas budaya keduanya
terkait dengan IWTC. Etnosentrisme dan IWTC terkait dengan niat untuk
berpartisipasi dalam program pertukaran budaya. Jadi IWTC memberi pengaruh baik
pada etnosentrisme dan komunikasi hambatan lintas budaya. Baik etnosentrisme
dan IWTC memberi pengaruh langsung pada niat individu untuk berpartisipasi
dalam program dialog lintas budaya. Implikasi dari penemuan ini adalah bahwa
jika seseorang ingin mendapatkan perkiraan niat individu untuk berpartisipasi
dalam program tersebut atau pertemuan antar lain, maka akan lebih bijaksana
untuk mengukur etnosentrisme dan IWTC .
2.
Toale,
M. (2001). Ethnocentrism and trait
communication apprehension as predictors of interethnic communication
apprehension and use of relational maintenance strategies in interethnic
communication. Communication
Quarterly, 49(1), 70-83.
Bagian
pertama dari dua studi meneliti perbedaan antara melaporkan relasional
penggunaan strategi pemeliharaan dengan tinggi dan rendahnya kecemasan
komunikasi antaretnis (IECAs). Instrumen berdasarkan Canary dan Stafford (1992)
strategi taksonomi pemeliharaan hubungan dan Neuliep dan McCroskey ini (1997a)
Laporan Pribadi kecemasan Komunikasi Antaretnis (PRCA) dipekerjakan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa individu yang IECAs-nya rendah dilaporkan
signifikan lebih banyak menggunakan
tugas, jaringan, dan strategi positif.
Perbedaan
strategi keterbukaan dan jaminan diikuti pola yang sama tetapi tidak
signifikan. Peserta dilaporkan kegunaan dan skor IECA digunakan terbalik. Studi
kedua mereplikasi yang pertama dan menjelajahi dua penjelasan teoritis untuk
hasil. Penelitian ini menunjukkan perbedaan signifikan pada semua dimensi dan
signifikan korelasi negatif. Penelitian ini juga meneliti apakah hambatan sifat
komunikasi (mengabaikan etnis) dan/atau etnosentrisme dugaan komponen dasar
dari IECA dapat menjelaskan perbedaan dalam laporan hubungan perilaku
komunikasi. Hasil dari kedua studi menunjukkan bahwa kedua sifat CA dan
etnosentrisme berkontribusi terhadap prediksi IECA dan keseluruhan yang dilaporkan menggunakan
strategi, dan etnosentrisme itu adalah prediktor yang lebih baik.
Dari
dua artikel tersebut, penulis mencoba menguraikan mengenai komunikasi lintas
budaya dan model etnosentrisme, baik dari definisi, teori pendukung, serta
hubungan kecemasan komunikasi lintas budaya dengan etnosentrisme.
2.
KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA
2.1 Pengertian Komunikasi Lintas Budaya
Komunikasi lintas budaya
merupakan salah satu bidang kajian Ilmu Komunikasi yang lebih menekankan pada perbandingan
pola-pola komunikasi antar pribadi diantara peserta komunikasi yang berbeda
kebudayaan.
Pada awalnya, studi lintas
budaya berasal dari perspektif antropologi sosial dan budaya sehingga kajiannya
lebih bersifat depth description, yakni penggambaran yang mendalam tentang
perilaku komunikasi berdasarkan budaya tertentu.
Banyak pembahasan komunikasi lintas budaya yang berkisar pada perbandingan perilaku komunikasi antarbudaya dengan menunjukkan perbedaan dan persamaan sebagai berikut :
Banyak pembahasan komunikasi lintas budaya yang berkisar pada perbandingan perilaku komunikasi antarbudaya dengan menunjukkan perbedaan dan persamaan sebagai berikut :
1)
Persepsi,
yaitu sifat dasar persepsi dan pengalaman persepsi, peranan lingkungan sosial
dan fisik terhadap pembentukan persepsi,
2)
Kognisi,
yang terdiri dari unsur-unsur khusus kebudayaan, proses berpikir, bahasa dan cara
berpikir,
3)
Sosialisasi,
berhubungan dengan masalah sosialisasi universal dan relativitas, tujuan-tujuan
institusionalisasi, dan
4)
Kepribadian,
misalnya tipe-tipe budaya pribadi yang mempengaruhi etos, dan tipologi karakter
atau watak bangsa.
2.2 Ruang Lingkup Komunikasi Lintas Budaya
Budaya-budaya yang berbeda memiliki
sistem-sistem nilai yang berbeda dan karenanya ikut menentukan tujuan hidup
yang berbeda, juga menentukan cara berkomunikasi kita yang sangat dipengaruhi
oleh bahasa, aturan dan norma yang ada pada masing-masing budaya. Sehingga
sebenarnya dalam setiap kegiatan komunikasi kita dengan orang lain selalu
mengandung potensi komunikasi lintas budaya atau antar budaya, karena kita akan
selalu berada pada “budaya” yang berbeda dengan orang lain, seberapa pun
kecilnya perbedaan itu.
Perbedaan-perbedaan ekspektasi budaya
dapat menimbulkan resiko yang fatal, setidaknya akan menimbulkan komunikasi
yang tidak lancar, timbul perasaan tidak nyaman atau timbul kesalahpahaman.
Akibat dari kesalahpahaman-kesalahpahaman itu banyak kita temui dalam berbagai kejadian
yang mengandung etnosentrisme dewasa ini dalam wujud konflik-konflik yang
berujung pada kerusuhan atau pertentangan antar etnis.
Sebagai salah satu jalan keluar untuk
meminimalisir kesalahpahaman-kesalahpahaman akibat perbedaan budaya adalah
dengan mengerti atau paling tidak mengetahui bahasa dan perilaku budaya orang
lain, mengetahui prinsip-prinsip komunikasi lintas budaya dan mempraktekkannya
dalam berkomunikasi dengan orang lain.
Konflik antarbudaya tidak bisa
dianggap sepele. Bisa jadi berkata dan bertindak kasar merupakan hal biasa di
suatu budaya tapi merupakan hal yang luar biasa dan penghinaan di budaya yang
lain. Kegagalan komunikasi sehari-hari, kesalahpahaman karena faktor perbedaan
bahasa, perbedaan latar belakang budaya, sikap perilaku eksklusif karena merasa
ekspatriat dan sikap-sikap lain yang tidak sesuai dengan latar budaya lokal
dapat menimbulkan prasangka serta sangat mungkin diakhiri dengan konflik
terbuka yang berakibat fatal.
Persepsi dan sikap yang dapat
menghambat bahkan berpotensi menggagalkan komunikasi harus dihilangkan.
Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa sikap berikut ini potensial
menggagalkan komunikasi bahkan dapat menimbulkan konflik, yaitu: etnosentrisme,
ketidakpercayaan, kurangnya empati, penghindaran, apatis, stereotyping dan
prasangka (Pliopaite, 2010).
Kebutuhan untuk mempelajari komunikasi
lintas budaya ini semakin terasakan karena semakin terbukanya pergaulan kita
dengan orang-orang dari berbagai budaya yang berbeda, disamping kondisi bangsa
Indonesia yang sangat majemuk dengan berbagai ras, suku bangsa, agama, latar
belakang daerah (desa/kota),latar belakang pendidikan, dan sebagainya.
Untuk memerinci alasan dan tujuan
mempelajari komunikasi lintas budaya Litvin (1977) menyebutkan beberapa alasan
diantaranya sebagai berikut:
1 1) Dunia sedang menyusut dan kapasitas
untuk memahami keanekaragaman budaya sangat diperlukan.
2 2) Semua budaya berfungsi dan penting
bagi pengalaman anggota-anggota budaya tersebut meskipun nilai-nilainya
berbeda.
3 3) Nilai-nilai setiap masyarakat se”baik”
nilai-nilai masyarakat lainnya.
4 4) Setiap individu dan/atau budaya berhak
menggunakan nilai-nilainya sendiri.
5 5) Perbedaan-perbedaan individu itu
penting, namun ada asumsi-asumsi dan pola-pola budaya mendasar yang berlaku.
6 6) Pemahaman atas nilai-nilai budaya
sendiri merupakan prasyarat untuk mengidentifikasi dan memahami nilai-nilai
budaya lain.
7 7) Dengan mengatasi hambatan-hambatan
budaya untuk berhubungan dengan orang lain kita memperoleh pemahaman dan
penghargaan bagi kebutuhan, aspirasi, perasaan dan masalah manusia.
8 8) Pemahaman atas orang lain secara
lintas budaya dan antar pribadi adalah suatu usaha yang memerlukan keberanian
dan kepekaan. Semakin mengancam pandangan dunia orang itu bagi pandangan dunia
kita, semakin banyak yang harus kita pelajari dari dia, tetapi semakin
berbahaya untuk memahaminya.
9 9) Pengalaman-pengalaman antar budaya
dapat menyenangkan dan menumbuhkan kepribadian.
1 10) Keterampilan-keterampilan komunikasi
yang diperoleh memudahkan perpindahan seseorang dari pandangan yang monokultural
terhadap interaksi manusia ke pandangan multikultural.
1 11) Perbedaan-perbedaan budaya menandakan
kebutuhan akan penerimaan dalam komunikasi, namun perbedaan-perbedaan tersebut
secara arbitrer tidaklah menyusahkan atau memudahkan.
1 12) Situasi-situasi komunikasi antar
budaya tidaklah statik dan bukan pula stereotip. Karena itu seorang komunikator
tidak dapat dilatih untuk mengatasi situasi. Dalam konteks ini kepekaan,
pengetahuan dan keterampilannya bisa membuatnya siap untuk berperan serta dalam
menciptakan lingkungan komunikasi yang efektif dan saling memuaskan.
Sedangkan
mengenai tujuan mempelajari komunikasi lintas budaya, Litvin (1977) menguraikan
bahwa tujuan itu bersifat kognitif dan afektif, yaitu untuk:
1)
Menyadari
bias budaya sendiri
2)
Lebih
peka secara budaya
3)
Memperoleh
kapasitas untuk benar-benar terlibat dengan anggota dari budaya lain untuk
menciptakan hubungan yang langgeng dan memuaskan orang tersebut.
4)
Merangsang
pemahaman yang lebih besar atas budaya sendiri
5)
Memperluas
dan memperdalam pengalaman seseorang
6)
Mempelajari
keterampilan komunikasi yang membuat seseorang mampu menerima gaya dan isi
komunikasinya sendiri.
7)
Membantu
memahami budaya sebagai hal yang menghasilkan dan memelihara semesta wacana dan
makna bagi para anggotanya
8)
Membantu
memahami kontak antar budaya sebagai suatu cara memperoleh pandangan ke dalam
budaya sendiri:asumsi-asumsi, nilai-nilai, kebebasan-kebebasan dan
keterbatasan-keterbatasannya.
9)
Membantu
memahami model-model, konsep-konsep dan aplikasi-aplikasi bidang komunikasi
antar budaya.
10) Membantu menyadari bahwa sistem-sistem
nilai yang berbeda dapat dipelajari secara sistematis, dibandingkan, dan
dipahami.
2.3 Memahami Dan Mendefinisikan Komunikasi
Dan Budaya
Komunikasi lintas budaya
terjadi bila pengirim pesan adalah anggota dari suatu budaya dan penerima
pesannya adalah anggota dari suatu budaya yang lain. Oleh karena itu, sebelum
membicarakan Komunikasi Lintas Budaya lebih lanjut kita akan membahas konsep komunikasi
dan budaya dan hubungan diantara keduanya terlebih dahulu.
Pembicaraan tentang komunikasi akan diawali dengan asumsi bahwa komunikasi berhubungan dengan kebutuhan manusia dan terpenuhinya kebutuhan berinteraksi dengan manusia-manusia lainnya. Kebutuhan berhubungan sosial ini terpenuhi melalui pertukaran pesan yang berfungsi sebagai jembatan untuk mempersatukan manusia-manusia yang tanpa berkomunikasi akan terisolasi.
Pembicaraan tentang komunikasi akan diawali dengan asumsi bahwa komunikasi berhubungan dengan kebutuhan manusia dan terpenuhinya kebutuhan berinteraksi dengan manusia-manusia lainnya. Kebutuhan berhubungan sosial ini terpenuhi melalui pertukaran pesan yang berfungsi sebagai jembatan untuk mempersatukan manusia-manusia yang tanpa berkomunikasi akan terisolasi.
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa komunikasi merupakan proses penyampaian pesan dari seorang
komunikator kepada komunikan. Dan proses berkomunikasi itu merupakan sesuatu
yang tidak mungkin tidak dilakukan oleh seseorang karena setiap perilaku
seseorang memiliki potensi komunikasi.
Proses komunikasi melibatkan unsur-unsur sumber (komunikator), Pesan, media, penerima dan efek. Disamping itu proses komunikasi juga merupakan sebuah proses yang sifatnya dinamik, terus berlangsung dan selalu berubah, dan interaktif, yaitu terjadi antara sumber dan penerima.Proses komunikasi juga terjadi dalam konteks fisik dan konteks sosial, karena komunikasi bersifat interaktif sehingga tidak mungkin proses komunikasi terjadi dalam kondisi terisolasi. Konteks fisik dan konteks sosial inilah yang kemudian merefleksikan bagaimana seseorang hidup dan berinteraksi dengan orang lainnya sehingga terciptalah pola-pola interaksi dalam masyarakat yang kemudian berkembang menjadi suatu budaya.
Proses komunikasi melibatkan unsur-unsur sumber (komunikator), Pesan, media, penerima dan efek. Disamping itu proses komunikasi juga merupakan sebuah proses yang sifatnya dinamik, terus berlangsung dan selalu berubah, dan interaktif, yaitu terjadi antara sumber dan penerima.Proses komunikasi juga terjadi dalam konteks fisik dan konteks sosial, karena komunikasi bersifat interaktif sehingga tidak mungkin proses komunikasi terjadi dalam kondisi terisolasi. Konteks fisik dan konteks sosial inilah yang kemudian merefleksikan bagaimana seseorang hidup dan berinteraksi dengan orang lainnya sehingga terciptalah pola-pola interaksi dalam masyarakat yang kemudian berkembang menjadi suatu budaya.
Adapun budaya itu sendiri
berkenaan dengan cara hidup manusia. Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan,
praktek komunikasi, tindakan-tindakan sosial, kegiatan-kegiatan ekonomi dan
politik dan teknologi semuanya didasarkan pada pola-pola budaya yang ada di
masyarakat.
Budaya adalah suatu konsep
yang membangkitkan minat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan
pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama,
waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan
milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui
usaha individu dan kelompok.(Mulyana, 1996:18)
Budaya dan komunikasi tak
dapat dipisahkan satu sama lain, karena budaya tidak hanya menentukan siapa
bicara dengan siap, tentang apa dan bagaimana orang menyandi pesan, makna yang
ia miliki untuk pesan, dan kondisi-kondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan
menafsirkan pesan. Budaya merupakan landasan komunikasi sehingga bila budaya
beraneka ragam maka beraneka ragam pula praktek-praktek komunikasi yang
berkembang.
2.4 Memahami Perbedaan-Perbedaan Budaya
Budaya adalah gaya hidup
unik suatu kelompok manusia tertentu. Budaya bukanlah sesuatu yang dimiliki
oleh sebagian orang dan tidak dimiliki oleh sebagian orang yang lainnya –
budaya dimiliki oleh seluruh manusia dan dengan demikian seharusnya budaya
menjadi salah satu faktor pemersatu.
Pada dasarnya
manusia-manusia menciptakan budaya atau lingkungan sosial mereka sebagai suatu
adaptasi terhadap lingkungan fisik dan biologis mereka. Individu-individu
sangat cenderung menerima dan mempercayai apa yang dikatakan budaya mereka.
Mereka dipengaruhi oleh adat dan pengetahuan masyarakat dimana mereka tinggal
dan dibesarkan, terlepas dari bagaimana validitas objektif masukan dan
penanaman budaya ini pada dirinya. Individu-individu itu cenderung mengabaikan
atau menolak apa yang bertentangan dengan “kebenaran” kultural atau
bertentangan dengan kepercayaan-kepercayaannya. Inilah yang seringkali
merupakan landasan bagi prasangka yang tumbuh diantara anggota-anggota kelompok
lain, bagi penolakan untuk berubah ketika gagasan-gagasan yang sudah mapan
menghadapi tantangan.
Setiap budaya memberi
identitas kepada sekolompok orang tertentu sehingga jika kita ingin lebih mudah
memahami perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam msaing-masing budaya tersebut
paling tidak kita harus mampu untuk mengidentifikasi identitas dari
masing-masing budaya tersebut yang antara lain terlihat pada:
1)
Komunikasi
dan Bahasa
Sistem komunikasi, verbal
maupun nonverbal, membedakan suatu kelompok dari kelompok lainnya. Terdapat
banyak sekali bahasa verbal diseluruh dunia ini demikian pula bahasa nonverbal,
meskipun bahasa tubuh (nonverbal) sering dianggap bersifat universal namun
perwujudannya sering berbeda secara lokal.
2)
Pakaian
dan Penampilan
Pakaian dan penampilan ini
meliputi pakaian dan dandanan luar juga dekorasi tubuh yang cenderung berbeda
secara kultural.
3)
Makanan
dan Kebiasaan Makan
Cara memilih, menyiapkan,
menyajikan dan memakan makanan sering berbeda antara budaya yang satu dengan
budaya yang lainnya. Subkultur-subkultur juga dapat dianalisis dari perspektif
ini, seperti ruang makan eksekutif, asrama tentara, ruang minum teh wanita, dan
restoran vegetarian.
4)
Waktu
dan Kesadaran akan waktu
Kesadaran akan waktu
berbeda antara budaya yang satu dengan budaya lainnya. Sebagian orang tepat
waktu dan sebagian lainnya merelatifkan waktu.
5)
Penghargaan
dan Pengakuan
Suatu cara untuk mengamati
suatu budaya adalah dengan memperhatikan cara dan metode memberikan pujian bagi
perbuatan-perbuatan baik dan berani, lama pengabdian atau bentuk-bentuk lain
penyelesaian tugas.
6)
Hubungan-Hubungan
Budaya juga mengatur
hubungan-hubungan manusia dan hubungan-hubungan organisasi berdasarkan usia,
jenis kelamin, status, kekeluargaan, kekayaan, kekuasaan, dan kebijaksanaan.
7)
Nilai
dan Norma
Berdasarkan sistem nilai
yang dianutnya, suatu budaya menentukan norma-norma perilaku bagi masyarakat
yang bersangkutan. Aturan ini bisa berkenaan dengan berbagai hal, mulai dari
etika kerja atau kesenangan hingga kepatuhan mutlak atau kebolehan bagi
anak-anak; dari penyerahan istri secara kaku kepada suaminya hingga kebebasan
wanita secara total.
8)
Rasa
Diri dan Ruang
Kenyamanan yang dimiliki
seseorang atas dirinya bisa diekspresikan secara berbeda oleh masing-masing
budaya. Beberapa budaya sangat terstruktur dan formal, sementara budaya lainnya
lebih lentur dan informal. Beberapa budaya sangat tertutup dan menentukan
tempat seseorang secara persis, sementara budaya-budaya lain lebih terbuka dan
berubah.
9)
Proses
mental dan belajar
Beberapa budaya menekankan
aspek perkembangan otak ketimbang aspek lainnya sehingga orang dapat mengamati
perbedaan-perbedaan yang mencolok dalam cara orang-orang berpikir dan belajar.
10)Kepercayaan dan sikap
Semua budaya tampaknya
mempunyai perhatian terhadap hal-hal supernatural yang jelas dalam agama-agama
dan praktek keagamaan atau kepercayaan mereka.
2.5 Aspek Terapan, Prinsip, Strategi Dan
Komponen Komunikasi Lintas Budaya
Dalam kajian ilmu
komunikasi, yang dimaksudkan dengan aspek-aspek komunikasi adalah semua ihwal
yang menjadi objek material ilmu komunikasi. Yaitu: 1) Bentuk-bentuk
komunikasi; 2) Sifat-sifat; 3) metode; 4)teknik; 5)fungsi; 6) tujuan; 7) model;
8) bidang-bidang; 9) sistem komunikasi.
Dalam menyusun perencanaan
komunikasi lintas budaya ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan, yakni:
1.
Prinsip
keselarasan (compatible)
2.
Prinsip
kesesuaian dengan kebutuhan (need)
sasaran, terutama menjawab masalah need berdasarkan tahap-tahap kebutuhan dari
Maslow (kebutuhan biologis, sosiologis dan psikologis).
3.
Prinsip
pelaksanaan suatu proses belajar mengajar yang efektivitasnya dipengaruhi oleh
sifat atau ciri sasaran masyarakat di desa, tenaga pengajar, fasilitas, materi
dan kondisi lingkungan.
4.
Prinsip
pelaksanaan yang bertujuan mengembangkan sikap, pengetahuan, keteranpilan dan
sikap serta kemampuan masyarakat di desa sasaran.
Selanjutnya
perencanaan komunikasi tersebut dilakukan dengan strategi sebagai berikut:
1. Konsolidasi,
yaitu memantapkan dan mengembangkan ketenagaan dan kelembagaan yang tangguh dan
mendukung kerja “proses komunikasi”.
2.
Integrasi,
yaitu menggalang keterpaduan kerja dengan lembaga atau pihak lain yang
potensial untuk meningkatkan, daya guna dan hasil guna perencanaan proses
komunikasi.
3.
Implementasi,
yaitu menerapkan metode dan teknik perencanaan proses komunikasi termasuk
penyediaan sarana dan prasarana serta materi perencanaan.
Sesuai
dengan aspek-aspek yang terlibat dalam suatu proses komunikasi maka kita harus
menentukan:
1.
Sasaran/komunikan.
Seorang perencana komunikasi lintas budaya harus bisa mengidentifikasi masalah
sasaran dengan cermat. Untuk memudahkan pendekatan terhadap sasaran yang
jumlahnya banyak, beragam dan sukar dijangkau, maka perencana komunikasi harus
mensegmentasikan sasaran ke dalam kelompok-kelompok yang lebih homogen.
2.
Komunikator.
Komunikator yang handal adalah komunikator yang memiliki kredibilitas tertentu.
Ada tiga jenis kredibilitas yaitu ethos, pathos dan logos.
3.
Pesan.
Dalam konteks komunikasi lintas budaya, pesan merupakan tema-tema yang
dibicarakan bersama oleh peserta komunikasi. Dalam hal ini seorang komunikator
membutuhkan:
a.
Pengetahuan
tentang bentuk-bentuk pesan verbal masyarakat sasaran.
b.
Pengetahuan
terhadap isi pesan.
4.
Media.
Merupakan alat bantu demi tercapainya efektivitas komunikasi. Beberapa bentuk
media yang sifatnya hardware dan software, yaitu:
a.
Sarana
komunikasi, seperti radio komunikasi, radio kaset, slide, tv, dan lain-lain.
b.
Sarana
transportasi
c.
Alat
bantu komunikasi yang biasa dipakai dalam penyuluhan, misalnya media unit-unit
percontohan, produk hasil teknologi, dan lain-lain.
d.
Gedung,
balai pertemuan atau tempat terbuka untuk pertemuan.
5.
Metode
dan teknik. Ada beberapa metode yang bisa dipilih, yaitu:
a.
metode
penyampaian atau memperoleh pesan yang bersifat informatif
b.
membujuk
c.
instruktif.
Sementara
untuk teknik yang digunakan adalah teknik dialogis, yang dilakukan dengan dua
cara, yaitu:
a.
Sikap
mendengarkan
b.
Bertanya
kepada kelompok sasaran.
6.
Konteks.
Yaitu situasi dan kondisi yang bersifat lahir dan batin yang dialami para
peserta komunikasi sehingga diharapkan bisa mempengaruhi setiap proses
komunikasi.
Komunikasi
lintas budaya memfokuskan perhatian pada bagaimana budaya-budaya yang berbeda
berinteraksi dengan proses komunikasi; bagaimana komponen-komponen komunikasi
berinteraksi dengan komponen-komponen budaya, yaitu :
1.
Komponen
Pandangan Dunia.
Setiap budaya punya
caranya yang khas dalam memandang dunia-dalam memahami, menafsirkan dan menilai
dunia. Ketika komunikasi lintas budaya terjadi, pandangan dunia akan
mempengaruhi proses penyandian dan pengalihasandian. Pandangan dunia juga dapat
dipakai untuk memdiagnosis “noise” yang terjadi dan menunjukkan “terapi”-nya.
2.
Komponen
Kepercayaan (beliefs).
Salah satu unsur
kepercayaan yang sangat penting dalam komunikasi lintas kultural adalah citra
(image) kita dengan komunikasi dari budaya lain. Citra mempengaruhi perilaku
kita dalam hubungannya dengan orang yang citranya kita miliki. Citra menentukan
desain pesan komunikasi kita.
3.
Komponen
nilai.
Sistem nilai masyarakat
dalam budaya tertentu mempengaruhi cara berpikir anggota-anggotanya. Spranger
mengemukakan kategori nilai yang terkenal antara lain: nilai ilmiah, nilai
religius, nilai ekonomis, nilai estetis, nilai politis dan nilai sosial.
4.
Nilai
sejarah
Lewat sejarah yang mereka
ketahui, anggota masyarakat saling bertukar pesan dalam komunikasi lintas
budaya.
5.
Komponen
Mitologi.
Mitologi suatu kelompok budaya
memberikan pada kelompok pemahaman hubungan-hubungan, yakni, hubungan orang
dengan orang, orang dengan kelompok luar, dan orang dengan kekuatan alami.
6.
Komponen
otoritas status.
Setiap budaya mempunyai
caranya sendiri dalam mendiskusikan otoritas status. Bersamaan dengan otoritas
status ada permainan peran yang ditentukan secara normatif.
2.6 Kompetensi Komunikasi Lintas Budaya
Kompetensi
diterjemahkan sebagai kecakapan atau kemampuan. Berbagai literatur menempatkan
kompetensi komunikasi antarbudaya hampir sama dengan kompetensi komunikasi
secara umum. Orang yang kompeten dalam berkomunikasi artinya ia dapat
berkomunikasi dengan efektif, yakni pesan dimaknai sama oleh pengirim dan
penerima pesan. Jadi, kompetensi komunikasi lintasbudaya melihat keberhasilan
dan kelayakan komunikasi dan interaksi antara orang-orang dari budaya yang
berbeda yang mengidentifikasikan lingkungan simbolik dan fisik tertentu
(Mulyana, 2005).
Para
ilmuwan komunikasi antarbudaya mengidentifikasi empat komponen dasar dari
kompetensi komunikasi antarbudaya, yaitu: motivasi, pengetahuan, sikap dan
perilaku (Wiseman, 2002 dalam Martin dan Nakayama, 2007). Setiap ilmuwan
menjabarkan ke empat komponen tersebut ke penjelasan yang lebih mendetil.
Hofstede (2001) menyatakan, untuk dapat mahir berkomunikasi antarbudaya
harus melalui tahapan awareness, knowledge dan skills.
Martin
dan Nakayama (2007) menjabarkan kompetensi komunikasi antarbudaya menjadi 2
komponen, yaitu komponen individual dan komponen kontekstual.
Komponen
individual terdiri dari:
- Motivasi, yaitu keinginan untuk berkomitmen dalam hubungan, keinginan untuk belajar tentang diri pribadi dan orang lain dan berusaha untuk fleksibel. Motivasi adalah dimensi terpenting dalam komponen individual.
- Pengetahuan dan pengetahuan tentang diri sendiri, yaitu mengenal kelebihan dan kekurangan diri sebagai komunikator.
- Pengetahuan bahasa, yaitu pengetahuan tentang bahasa ibu, bahasa asing dan tahu kesulitan-kesulitannya.
- Sikap, termasuk toleran terhadap makna ambigu, empati dan tidak berprasangka buruk.
- Perilaku dan ketrampilan.
Komponen
kontekstual terdiri dari:
- Pemahaman atas konteks dan setting dimana komunikasi berlangsung. Seorang komunikator yang baik harus sensitif pada kondisi dan latar budaya sekelilingnya.
- Mengetahui posisi kita sebagai komunikator di dalam suatu percakapan / pertemuan / situasi.
Chen
dan Starosta (2008) menawarkan sebuah model kompetensi komunikasi lintasbudaya.
Model ini bertujuan untuk meningkat kemampuan interaktan dalam memahami,
menghargai, mentoleransi dan mengintegrasikan perbedaan budaya, sehingga mereka
siap menjadi menjadi anggota masyarakat dunia. Model ini menyajikan sebuah
proses transformasional dari saling ketergantungan simetris yang dijelaskan
melalui tiga perspektif : (a) affective, atau sensitivitas antar budaya
; (b) cognitive, atau kesadaran antar budaya ; dan (c) behavioral,
atau kecakapan antar budaya.
Ketiga
perspektif ini sama-sama penting, tidak dapat dipisahkan dan membentuk gambaran
yang holistik dari kompetensi komunikasi lintasbudaya.
- The Affective Process : Intercultural Sensitivy
a.
Self-concept
(konsep diri) : cara
seseorang memandang dirinya.
b.
Open-mindedness
(berpikiran terbuka)
c.
Non-judmental
attitudes : tidak
berprasangka buruk
d.
Social
relaxation :
kemampuan untuk mengungkap hanya sedikit kecemasan emosi ketika berkomunikasi
antarbudaya.
2. The Cognitive Process : Intercultural
Awareness
a.
Self-awareness
atau
self-monitoring : kesadaran diri
b.
Cultural
awareness : kesadaran
budaya
- The Behavioral Process : Intercultural Adroitness (Communication Skills)
a.
Message
skills : kemampuan
untuk menggunakan bahasa orang lain.
b.
Appropriate
self-disclosure :
pengungkapan diri yang layak
c.
Behavioral
flexibility :
kemampuan untuk memilih perilaku yang layak dalam konteks dan situasi yang
berbeda.
d.
Interaction
management :
kemampuan untuk berbicara dalam percakapan dan untuk memulai dan menghentikan
pembicaraan secara layak.
e.
Social
skills : empati
Kim
(dalam Gudykunts dan Kim, 2003) mengemukakan 3 dimensi kompetensi komunikasi
antarbudaya terutama untuk expatriate yang ditempatkan di suatu negara :
- Dimensi kognitif : memiliki pengetahuan tentang bahasa setempat, tanda-tanda non-verbal, nilai-nilai budaya, sistem komunikasi dan aturan berinteraksi.
- Dimensi afektif : memiliki motivasi dan orientasi sikap yang sesuai dengan budaya setempat, memiliki sensitifitas budaya, rasa humor, dan lain-lain.
- Dimensi perilaku : memiliki kemampuan berbicara, mendengarkan, membaca dan menulis bahasa setempat, mampu mengekspresikan dan memahami ekspresi non-verbal, dapat mengikuti aturan berinteraksi dan mampu mengelola hubungan.
2.7 Teori-Teori Berdasarkan Perspektif
Ilmu Komunikasi
Teori-teori
Komunikasi Lintas Budaya merupakan teori-teori yang secara khusus
menggeneralisasi konsep komunikasi diantara komunikator dengan komunikan yang
berbeda kebudayaan, dan yang membahas pengaruh kebudayaan terhadap kegiatan
komunikasi.
Liliweri
(2001) mengatakan bahwa paling tidak ada tiga sumber yang bisa digunakan untuk
menggeneralisasi teori komunikasi lintas budaya, yakni:
1.
Teori-teori
komunikasi antar budaya yang dibangun akibat perluasan teori komunikasi yang
secara khusus dirancang untuk menjelaskan komunikasi intra/antar budaya.
2.
Teori-teori
baru yang dibentuk dari hasil-hasil penelitian khusus dalam bidang komunikasi
antar budaya.
3.
Teori-teori
komunikasi antar budaya yang diperoleh dari hasil generalisasi teori ilmu lain,
termasuk proses sosial yang bersifat isomorfis.
Pada prinsipnya dalam penelitian yang
menggunakan perspektif ini maka peneliti “menjadikan dirinya” sebagai bagian dari
kebudayaan yang dia teliti, atau dengan kata lain, peneliti bertindak sebagai
partisipan penuh karena dia masuk dalam suatu struktur budaya
tertentu.(Liliweri, 2001:34).
Dalam penelitian berperspektif
subjektif ini biasanya peneliti akan menolak masukan variabel kebudayaan lain
ke dalam kebudayaan yang sedang diteliti. Oleh karena itu, para peneliti yang
menggunakan perspektif ini kerap kali mendapat kritik karena gambaran yang
diberikan tentang kebudayaan yang ditelitinya terlalu sedikit. Pendekatan subjektif
pun sering mengkritik peneliti yang menarik kesimpulan tentang suatu budaya
tertentu berdasarkan ukuran-ukuran yang berlaku pada kebudayaan lain.
Gundykunst (1983) mengemukakan bahwa
terdapat lima pendekatan dalam ilmu komunikasi yang diasumsikan dapat
menerangkan komunikasi lintas budaya. Kelima pendekatan tersebut adalah:
a a) Teori Komunikasi berdasarkan analisis
kebudayaan implisit.
b b) Kebudayaan implisit adalam kebudayaan
immmaterial, kebudayaan yang bentuknya tidak nampak sebagai benda namun dia
“tercantum” atau “tersirat” dalam nilai dan norma budaya suatu masyarakat,
misalnya bahasa.
Pendekatan kebudayaan implisit
mengandung beberapa asumsi yaitu:
1) Kebudayaan mempengaruhi skema kognitif
2) Kebudayaan mempengaruhi organisasi
tujuan dan strategi tindakan
3) Kebudayaan mempengaruhi
pengorganisasian skema interaksi; dan
4) Kebudayaan mempengaruhi proses
komunikasi.
c c) Teori Analisis Kaidah Peran.
Dari berbagai penelitian yang
dilakukan maka diketahui bahwa telah terjadi beragam variasi penerapan
prinsip-prinsip teori “kaidah peran”. Beberapa isu yang menonjol misalnya:
1)
Apa
saja sifat dasar yang dimiliki suatu masyarakat
2)
Apa
yang dimaksudkan dengan kaidah peran?
3)
Apa
hubungan antara aktor dan kaidah persan? Apakah setiap kaidah peran mampu
menerangkan atau mengakibatkan perilaku tertentu?
d d) Teori analisis Interaksi antar budaya
Ada beberapa pendekatan ilmu
komunikasi yang sering digunakan untuk menerangkan interaksi antar budaya,
yakni:
1)
Pendekatan
jaringan metateoritikal, yaitu studi tentang bagaimana derajat hubungan antar
pribadi
2)
Teori
Pertukaran. Inti teori ini mengatakan bahwa hubungan antarpribadi bisa
diteruskan dan dihentikan. Makin besar keuntungan yang diperoleh dari hubungan
antarpribadi maka makin besar peluang hubungan tersebut diteruskan. Sebaliknya
makin kecil keuntungan yang diperoleh, maka makin kecil peluang hubungan
tersebut diteruskan.
Wood (1982) dalam Liliweri (1994)
mengidentifikasi 12 karakteristik pendekatan pertukaran tersebut adalah 1)
Prinsip individual, 2) Komunikasi Coba-coba, 3) Komunikasi eksplorasi, 4)
Komunikasi euphoria, 5) Komunikasi yang memperbaiki, 6) komunikasi pertalian,
7) Komunikasi sebagai pengemudi, 8) komunikasi yang membedakan, 9) Komunikasi
yang disintegratif, 10) Komunikasi yang macet, 11) Pengakhiran komunikasi, dan 12)
Individualis.
e. Teori pengurangan tingkat kepastian
Berger (1982) menyatakan bahwa salah
satu dari fungsi utama komunikasi adalah fungsi informasi yaitu untuk
mengurangi tingkat ketidakpastian komunikator dan komunikan. Setiap individu
memiliki keinginan yang kuat untuk memperoleh informasi tertentu tentang pihak
lain. Berger merekomendasikan strategi pencarian informasi sebagai berikut:
1)
Mengamati
pihak lain secara pasif,
2)
Menyelidiki
atau menelusuri pihak lain,
3)
menanyakan
informasi melalui pihak ketiga,
4)
Penanganan
lingkungan kehidupan pihak lain,
5)
Interogasi,
6)
Membuka
diri.
2.8 Hambatan
Komunikasi Lintas Budaya
Hambatan
komunikasi atau yang juga dikenal sebagai communication
barrier adalah segala sesuatu yang menjadi penghalang untuk terjadinya komunikasi yang efektif (Chaney & Martin, 2004, p. 11).
Contoh dari hambatan komunikasi lintas budaya adalah kasus anggukan kepala,
dimana di Amerika Serikat anggukan kepala mempunyai arti bahwa orang tersebut
mengerti sedangkan di Jepang anggukan kepala tidak berarti seseorang setuju
melainkan hanya berarti bahwa orang tersebut mendengarkan. Dengan memahami
mengenai komunikasi antar budaya maka hambatan komunikasi (communication
barrier) semacam ini dapat kita lalui.
Hambatan
komunikasi (communication barrier)
dalam komunikasi antar budaya (intercultural
communication) mempunyai bentuk seperti sebuah gunung es yang terbenam di
dalam air. Dimana hambatan komunikasi yang ada terbagi dua menjadi yang diatas
air (above waterline) dan dibawah air
(below waterline).
Faktor-faktor
hambatan komunikasi antar budaya yang berada dibawah air (below waterline) adalah faktor-faktor yang membentuk perilaku atau
sikap seseorang, hambatan semacam ini cukup sulit untuk dilihat atau
diperhatikan. Jenis-jenis hambatan semacam ini adalah persepsi (perceptions), norma (norms), stereotip (stereotypes), filosofi bisnis (business
philosophy), aturan (rules), jaringan
(networks), nilai (values), dan grup cabang (subcultures group).
Sedangkan
terdapat 9 (sembilan) jenis hambatan komunikasi antar budaya yang berada diatas
air (above waterline). Hambatan
komunikasi semacam ini lebih mudah untuk dilihat karena hambatan-hambatan ini
banyak yang berbentuk fisik.
Hambatan-hambatan tersebut adalah (Chaney & Martin, 2004, p. 11 – 12):
Hambatan-hambatan tersebut adalah (Chaney & Martin, 2004, p. 11 – 12):
1)
Fisik
(Physical)
Hambatan
komunikasi semacam ini berasal dari hambatan waktu, lingkungan, kebutuhan diri,
dan juga media fisik.
2)
Budaya
(Cultural)
Hambatan
ini berasal dari etnik yang berbeda, agama, dan juga perbedaan sosial yang ada
antara budaya yang satu dengan yang lainnya.
3)
Persepsi
(Perceptual)
Jenis
hambatan ini muncul dikarenakan setiap orang memiliki persepsi yang
berbeda-beda mengenai suatu hal. Sehingga untuk mengartikan sesuatu setiap
budaya akan mempunyai pemikiran yang berbeda-beda.
4)
Motivasi
(Motivational)
Hambatan
semacam ini berkaitan dengan tingkat motivasi dari pendengar, maksudnya adalah
apakah pendengar yang menerima pesan ingin menerima pesan tersebut atau apakah
pendengar tersebut sedang malas dan tidak punya motivasi sehingga dapat menjadi
hambatan komunikasi.
5)
Pengalaman
(Experiantial)
Experiental adalah jenis hambatan yang terjadi
karena setiap individu tidak memiliki pengalaman hidup yang sama sehingga
setiap individu mempunyai persepsi dan juga konsep yang berbeda-beda dalam
melihat sesuatu.
6)
Emosi
(Emotional)
Hal
ini berkaitan dengan emosi atau perasaan pribadi dari pendengar. Apabila emosi
pendengar sedang buruk maka hambatan komunikasi yang terjadi akan semakin besar
dan sulit untuk dilalui.
7)
Bahasa
(Linguistic)
Hambatan
komunikasi yang berikut ini terjadi apabila pengirim pesan (sender)dan penerima
pesan (receiver) menggunakan bahasa yang berbeda atau penggunaan kata-kata yang
tidak dimengerti oleh penerima pesan.
8)
Nonverbal
Hambatan nonverbal adalah hambatan komunikasi yang tidak berbentuk kata-kata tetapi dapat menjadi hambatan komunikasi. Contohnya adalah wajah marah yang dibuat oleh penerima pesan (receiver) ketika pengirim pesan (sender) melakukan komunikasi. Wajah marah yang dibuat tersebut dapat menjadi penghambat komunikasi karena mungkin saja pengirim pesan akan merasa tidak maksimal atau takut untuk mengirimkan pesan kepada penerima pesan. Secara psikologis, perilaku-perilaku nonverbal ditafsirkan sebagai ekspresi keadaan individu, seperti emosi individu (Budyatna dan Leila, 2011).
Hambatan nonverbal adalah hambatan komunikasi yang tidak berbentuk kata-kata tetapi dapat menjadi hambatan komunikasi. Contohnya adalah wajah marah yang dibuat oleh penerima pesan (receiver) ketika pengirim pesan (sender) melakukan komunikasi. Wajah marah yang dibuat tersebut dapat menjadi penghambat komunikasi karena mungkin saja pengirim pesan akan merasa tidak maksimal atau takut untuk mengirimkan pesan kepada penerima pesan. Secara psikologis, perilaku-perilaku nonverbal ditafsirkan sebagai ekspresi keadaan individu, seperti emosi individu (Budyatna dan Leila, 2011).
9)
Kompetisi
(Competition)
Hambatan
semacam ini muncul apabila penerima pesan sedang melakukan kegiatan lain sambil
mendengarkan. Contohnya adalah menerima telepon selular sambil menyetir, karena
melakukan 2 (dua) kegiatan sekaligus maka penerima pesan tidak akan
mendengarkan pesan yang disampaikan melalui telepon selularnya secara maksimal.
Philipsen (dalam Griffin, 2003)
mendeskripsikan budaya sebagai suatu konstruksi sosial dan pola simbol,
makna-makna, pendapat, dan aturan-aturan yang dipancarkan secara mensejarah.
Pada dasarnya, budaya adalah suatu kode. Terdapat empat dimensi krusial yang
dapat untuk memperbandingkan budaya-budaya, yaitu:
1) Jarak kekuasaan (power distance)
2) Maskulinitas.
3) Penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance).
4) Individualisme.
Berkenaan dengan pembahasan komunikasi
antarbudaya, Griffin (2003) menyadur teori Anxiety/Uncertainty
Management; Face-Negotiation; dan Speech Codes.
1)
Anxiety/Uncertainty
Management Theory
(Teori Pengelolaan Kecemasan/ Ketidakpastian)
Teori
yang di publikasikan William Gudykunst ini
memfokuskan pada perbedaan budaya pada kelompok dan orang asing. Ia berniat
bahwa teorinya dapat digunakan pada segala situasi dimana terdapat perbedaan
diantara keraguan dan ketakutan.
Ia
menggunakan istilah komunikasi efektif kepada proses-proses meminimalisir
ketidakmengertian. Penulis lain menggunakan istilah accuracy, fidelity, understanding untuk hal
yang sama.
Gudykunst
menyakini bahwa kecemasan dan ketidakpastian adalah dasar penyebab dari
kegagalan komunikasi pada situasi antar kelompok. Terdapat dua penyebab dari
mis-interpretasi yang berhubungan erat, kemudian melihat itu sebagai perbedaan
pada ketidakpastian yang bersifat kognitif dan kecemasan yang bersifat afeksi-
suatu emosi.
Konsep-konsep
dasar Anxiety/Uncertainty
Management Theory:
a)
Konsep
diri dan diri.
Meningkatnya
harga diri ketika berinteraksi dengan orang asing akan menghasilkan peningkatan
kemampuan mengelola kecemasan.
b)
Motivasi
untuk berinteraksi dengan orang asing.
Meningkatnya
kebutuhan diri untuk masuk di dalam kelompok ketika kita berinteraksi dengan
orang asing akan menghasilkan sebuah peningkatan kecemasan.
c)
Reaksi
terhadap orang asing.
Sebuah
peningkatan dalam kemampuan kita untuk memproses informasi yang kompleks
tentang orang asing akan menghasilkan sebuah peningkatan kemampuan kita untuk
memprediksi secara tepat perilaku mereka.
Sebuah
peningkatan untuk mentoleransi ketika kita berinteraksi dengan orang asing
menghasilkan sebuah peningkatan mengelola kecemasan kita dan menghasilkan
sebuah peningkatan kemampuan memprediksi secara akurat perilaku orang asing. Sebuah
peningkatan berempati dengan orang asing akan menghasilkan suatu peningkatan
kemampuan memprediksi perilaku orang asing secara akurat.
d)
Kategori
sosial dari orang asing.
Sebuah
peningkatan kesamaan personal yang kita persepsi antara diri kita dan orang
asing akan menghasilkan peningkatan kemampuan mengelola kecemasan kita dan
kemampuan memprediksi perilaku mereka secara akurat. Pembatas kondisi:
pemahaman perbedaan-perbedaan kelompok kritis hanya ketika orang orang asing
mengidentifikasikan secara kuat dengan kelompok.
Sebuah
peningkatan kesadaran terhadap pelanggaran orang asing dari harapan positif
kita dan atau harapan negatif akan menghasilkan peningkatan kecemasan kita dan
akan menghasilkan penurunan di dalam rasa percaya diri dalam memperkrakan
perilaku mereka.
e)
Proses
situasional.
Sebuah
peningkatan di dalam situasi informal di mana kita sedang berkomunikasi dengan
orang asing akan menghasilkan sebuah penurunan kecemasan kita dan sebuah
peningkatan rasa percaya diri kita terhadap perilaku mereka.
f)
Koneksi
dengan orang asing.
Sebuah
peningkatan di dalam rasa ketertarikan kita pada orang asing akan menghasilkan
penurunan kecemasan kita dan peningkatan rasa percaya diri dalam memperkirakan
perilaku mereka.
Sebuah
peningkatan dalam jaringan kerja yang kita berbagi dengan orang asing akan
menghasilkan penurunan kecemasan kita dan menghasilkan peningkatan rasa percaya
diri kita untuk memprediksi perilaku orang lain.
2). Face-Negotiation Theory
Teori yang dipublikasikan Stella
Ting-Toomey ini membantu menjelaskan perbedaan -perbedaan budaya dalam merespon
konflik. Ting-Toomey berasumsi bahwa orang-orang dalam setiap budaya akan
selalu negotiating face.
Istilah itu adalah metaphor
citra diri publik kita, cara kita menginginkan orang lain melihat dan
memperlakukan diri kita. Face
work merujuk pada pesan verbal dan non verbal yang membantu menjaga
dan menyimpan rasa malu (face
loss), dan menegakkan muka terhormat. Identitas kita dapat selalu
dipertanyakan, dan kecemasan dan ketidakpastian yang digerakkan oleh konflik
yang membuat kita tidak berdaya/harus terima. Postulat teori ini adalah face work orang-orang dari
budaya individu akan berbeda dengan budaya kolektivis. Ketika face work adalah berbeda,
gaya penangan konflik juga beragam.
Terdapat tiga perbedaan penting
diantara budaya individulis dan budaya kolektivis. Perbedaan-perbedaan itu
adalah dalam cara mendefinisikan: diri; tujuan-tujuan; dan kewajiban.
Konsep
|
Budaya
individualis
|
Budaya
kolektivis
|
Diri
|
Sebagai dirinya sendiri
|
Sebagai bagian kelompok
|
Tujuan
|
Tujuan diperuntukan
kepada pencapaian kebutuhan diri.
|
Tujuan diperuntukan
kepada pencapaian kebutuhan kelompok
|
Kewajiban
|
Melayani diri sendiri
|
Melayani kelompok/orang
lain.
|
Teori
ini menawarkan model pengelolaan konflik sebagai berikut:
a.
Avoiding (penghindaran) – saya akan
menghindari diskusi perbedaan-perbedaan saya dengan anggota kelompok.
b.
Obliging (keharusan) – saya akan menyerahkan
pada ke kebijakan anggota kelompok.
c.
Compromising – saya akan menggunakan memberi dan
menerima sedemikian sehingga suatu kompromi bisa dibuat.
d.
Dominating – saya akan memastikan penanganan isu
sesuai kehendak-ku.
e.
Integrating – saya akan menukar informasi akurat
dengan anggota kelompok untuk memecahkan masalah bersama-sama.
Face-negotiation teory menyatakan
bahwa avoiding, obliging, compromising, dominating, dan integrating bertukar-tukar
menurut campuran perhatian mereka untuk self-face
dan other -face.
3. Speech Codes Theory
Teori yang dipublikaskan Gerry
Philipsen ini berusaha menjawab tentang keberadaan speech code dalam suatu budaya, bagaimana
substansi dan kekuatannya dalam sebuah budaya. Ia menyampaikan
proposisi-proposisi sebagai berikut:
a.
Dimanapun
ada sebuah budaya, disitu diketemukan speech
code yang khas.
b.
Sebuah
speech code
mencakup retorikal, psikologi, dan sosiologi budaya.
c.
Pembicaraan
yang signifikan bergantung speech
code yang digunakan pembicara dan pendengar untuk memkreasi dan
menginterpretasi komunikasi mereka.
d.
Istilah,
aturan, dan premis terkait ke dalam pembicaraan itu sendiri.
e.
Kegunaan
suatu speech code
bersama adalah menciptakan kondisi memadai untuk memprediksi, menjelaskan, dan
mengontrol formula wacana tentang intelijenitas, prudens (bijaksana, hati-hati)
dan moralitas dari perilaku komunikasi.
3.
ETNOSENTRISME
3.1 Pengertian
Etnosentrisme
Etnosentrisme
didefinisikan sebagai kepercayaan pada superioritas inheren kelompok atau
budayanya sendiri; etnosentrisme mungkin disertai rasa jijik pada orang-orang
lain yang tidak sekelompok; etnosentrisme cenderung memandang rendah
orang-orang lain yang tidak sekelompok dan dianggap asing; etnosentrisme
memandang dan mengukur budaya-budaya asing dengan budayanya sendiri.
(Mulyana:2000;70)
Etnosentrisme terjadi jika
masing-masing budaya bersikukuh dengan identitasnya, menolak bercampur dengan
kebudayaan lain. Porter dan Samovar mendefinisikan
etnosentrisme seraya menuturkan, “Sumber utama perbedaan budaya dalam sikap
adalah etnosentrisme, yaitu kecenderungan memandang orang lain secara tidak sadar
dengan menggunakan kelompok kita sendiri dan kebiasaan kita sendiri sebagai
kriteria untuk penilaian. Makin besar kesamaan kita dengan mereka, makin dekat
mereka dengan kita; makin besar ketidaksamaan, makin jauh mereka dari kita.
Kita cenderung melihat kelompok kita, negeri kita, budaya kita sendiri, sebagai
yang paling baik, sebagai yang paling bermoral.”
Etnosentrisme membuat kebudayaan kita
sebagai patokan untuk mengukur baik-buruknya kebudayaan lain dalam proporsi
kemiripannya dengan budaya kita. Ini dinyatakaan
dalam ungkapan : “orang-orang terpilih”, “progresif”, “ras
yang unggul”, dan sebagainya. Biasanya kita cepat mengenali sifat etnosentris
pada orang lain dan lambat mengenalinya pada diri sendiri.
3.2 Reaksi
Etnosentrisme
Sebagian besar, meskipun tidak
semuanya, kelompok dalam suatu masyarakat bersifat etnosentrisme. Semua
kelompok merangsang pertumbuhan etnosentrisme, tetapi tidak semua anggota
kelompok sama etnosentris. Sebagian dari kita adalah sangat etnosentris untuk
mengimbangi kekurangan-kekurangan kita sendiri. Kadang-kadang dipercaya bahwa
ilmu sosial telah membentuk kaitan erat antara pola
kepribadian dan etnosentrisme.
Kecenderungan etnosentrisme berkaitan erat dengan kemampuan belajar dan berprestasi. Dalam buku The Authoritarian Personality, Adorno (1950) menemukan bahwa orang-orang etnosentris cenderung kurang terpelajar, kurang bergaul, dan pemeluk agama yang fanatik. Dalam pendekatan ini, etnosentrisme didefinisikan terutama sebagai kesetiaan yang kuat dan tanpa kritik pada kelompok etnis atau bangsa sendiri disertai prasangka terhadap kelompok etnis dan bangsa lain. Yang artinya orang yang etnosentris susah berasimilasi dengan bangsa lain, bahkan dalam proses belajar-mengajar.
Etnosentrisme akan terus marak apabila pemiliknya tidak mampu melihat human encounter sebagai peluang untuk saling belajar dan meningkatkan kecerdasan, yang selanjutnya bermuara pada prestasi. Sebaliknya, kelompok etnis yang mampu menggunakan perjumpaan mereka dengan kelompok-kelompok lain dengan sebaik-baiknya, di mana pun tempat terjadinya, justru akan makin meninggalkan etnosentrisme. Kelompok semacam itu mampu berprestasi dan menatap masa depan dengan cerah.
Etnosentrisme mungkin memiliki daya tarik karena faham tersebut mengukuhkan kembali “keanggotaan” seseorang dalam kelompok sambil memberikan penjelasan sederhana yang cukup menyenangkan tentang gejala sosial yang pelik. Kalangan kolot, yang terasing dari masyarakat, yang kurang berpendidikan, dan yang secara politis konservatif bisa saja bersikap etnosentris, tetapi juga kaum muda, kaum yang berpendidikan baik, yang bepergian jauh, yang berhaluan politik “kiri” dan yang kaya. Masih dapat diperdebatkan apakah ada suatu variasi yang signifikan, berdasarkan latar belakang sosial atau jenis kepribadian, dalam kadar etnosentris seseorang.
Kecenderungan etnosentrisme berkaitan erat dengan kemampuan belajar dan berprestasi. Dalam buku The Authoritarian Personality, Adorno (1950) menemukan bahwa orang-orang etnosentris cenderung kurang terpelajar, kurang bergaul, dan pemeluk agama yang fanatik. Dalam pendekatan ini, etnosentrisme didefinisikan terutama sebagai kesetiaan yang kuat dan tanpa kritik pada kelompok etnis atau bangsa sendiri disertai prasangka terhadap kelompok etnis dan bangsa lain. Yang artinya orang yang etnosentris susah berasimilasi dengan bangsa lain, bahkan dalam proses belajar-mengajar.
Etnosentrisme akan terus marak apabila pemiliknya tidak mampu melihat human encounter sebagai peluang untuk saling belajar dan meningkatkan kecerdasan, yang selanjutnya bermuara pada prestasi. Sebaliknya, kelompok etnis yang mampu menggunakan perjumpaan mereka dengan kelompok-kelompok lain dengan sebaik-baiknya, di mana pun tempat terjadinya, justru akan makin meninggalkan etnosentrisme. Kelompok semacam itu mampu berprestasi dan menatap masa depan dengan cerah.
Etnosentrisme mungkin memiliki daya tarik karena faham tersebut mengukuhkan kembali “keanggotaan” seseorang dalam kelompok sambil memberikan penjelasan sederhana yang cukup menyenangkan tentang gejala sosial yang pelik. Kalangan kolot, yang terasing dari masyarakat, yang kurang berpendidikan, dan yang secara politis konservatif bisa saja bersikap etnosentris, tetapi juga kaum muda, kaum yang berpendidikan baik, yang bepergian jauh, yang berhaluan politik “kiri” dan yang kaya. Masih dapat diperdebatkan apakah ada suatu variasi yang signifikan, berdasarkan latar belakang sosial atau jenis kepribadian, dalam kadar etnosentris seseorang.
Jelas
sekali bahwa dengan kita bersikap etnosentrisme kita tidak dapat memandang
perbedaan budaya itu sebagai keunikan dari masing-masing budaya yang patut kita
hargai. Dengan memandang budaya kita sendiri lebih unggul dan budaya lainnya
yang asing sebagai budaya ’yang salah’, maka komunikasi lintas budaya yang
efektif hanyalah angan-angan karena kita akan cenderung lebih membatasi komunikasi
yang kita lakukan dan sebisa mungkin tidak terlibat dengan budaya asing yang
berbeda atau bertentangan dengan budaya kita. Masing-masing budaya akan saling merendahkan yang lain dan membenarkan budaya diri
sendiri, saling menolak, sehingga sangat potensial muncul konflik di antaranya.
Contoh konflik yang sudah terjadi misalnya suku dayak dan suku madura yang
sejak dulu terus terjadi. Kedua suku pedalaman itu masing-masing tidak mau
saling menerima dan menghormati kebudayaan satu sama lain. Adanya anggapan
bahwa budaya sendiri lah yang paling benar sementra yang lainnya salah dan
tidak bermutu tidak hanya berwujud konfik namun sudah berbentuk pertikaian yang
mengganas, keduanya sudah saling mmbunuh atar anggota budaya yang lain. Contoh
lainnya, orang Indonesia cenderung menilai budaya
barat sebagai budaya yang ’vulgar’ dan tidak tahu sopan santun. Budaya
asli-budaya timur dinilai sebagai budaya yang paling unggul dan paling baik
sehingga masyrakat kita cenderung membatasi pergaulan dengan orang barat. Orang
takut jika terlalu banyak komunikasinya maka budaya asli akan tercemar budaya barat
sebagai polusi pencemar.
Etnosentrisme dalam hal tertentu juga
merupakan sesuatu yang positif. Tidak seperti anggapan umum yang mengatakan
bahwa etnosentrisme merupakan sesuatu yang semata-mata buruk, etnosentrisme
juga merupakan sesuatu yang fungsional karena mendorong kelompok dalam
perjuangan mencari kekuasaan dan kekayaan. Pada saat konflik, etnosentrisme
benar-benar bermanfaat. Dengan adanya etnosentrisme, kelompok yang terlibat
konflik dengan kelompok lain akan saling dukung satu
sama lain.
Etnosentrisme memiliki dua tipe yang
satu sama lain saling berlawanan. Tipe pertama adalah etnosentrisme fleksibel.
Seseorang yang memiliki etnosentrisme ini dapat
belajar cara-cara meletakkan etnosentrisme dan persepsi mereka secara tepat dan
bereaksi terhadap suatu realitas didasarkan pada cara pandang budaya mereka
serta menafsirkan perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya.
Tipe kedua adalah etnosentrisme infleksibel. Etnosentrisme ini dicirikan dengan
ketidakmampuan untuk keluar dari perspektif yang dimiliki atau hanya bisa
memahami sesuatu berdasarkan perspektif yang dimiliki dan tidak mampu memahami
perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya.
Indikator terbaik menentukan tipe
etnosentrisme seseorang dapat ditemukan pada respon orang tersebut dalam
menginterpretasi perilaku orang lain. Misalnya seorang etnis Minang makan
sambil jalan di gang rumah kita di Jogja, jika kita semata-mata memandang dari
perspektif sendiri dan mengatakan “dia memang
buruk”, “dia tidak sopan”, atau “itulah mengapa dia tidak disukai” berarti kita
memiliki etnosentrisme yang kaku. Tapi jika mengatakan “itulah cara yang dia
pelajari untuk melakukannya,” berarti mungkin kita memiliki etnosentrisme yang
fleksibel.
Sikap etnosentrik dipengaruhi oleh
banyak hal, diantaranya tipe kepribadian, derajat identifikasi etnik, dan
ketergantungan. Semakin tinggi derajat identifikasi
etnik umumnya semakin tinggi pula derajat etnosentrisme yang dimiliki, meski
tidak selalu demikian. Helmi (1991) misalnya menemukan bahwa generasi muda
etnik Cina memiliki sikap etnosentrik lebih rendah daripada yang tua. Temuan
ini membuktikan bahwa semakin terikat seseorang terhadap etniknya maka semakin
tinggi pula etnosentrisme yang dimiliki, sebab generasi tua etnik Cina umumnya
memang masih cukup kuat terikat dengan negeri
leluhurnya dibandingkan generasi mudanya yang telah melebur dengan masyarakat
mayoritas lainnya.
Ketergantungan merupakan faktor penting yang menentukan etnosentrisme. Wanita yang
notabene lebih tergantung terhadap keluarga dan kelompok memiliki sikap
etnosentrik yang lebih tinggi. Sebuah penelitian mengenai etnosentrisme pada
etnis Cina membuktikan bahwa wanita etnis Cina memiliki sikap etnosentrik lebih
tinggi daripada laki-laki etnis Cina (Helmi, 1991). Hal ini nampaknya juga
berlaku untuk etnik-etnik lainnya, karena praktis saat ini wanita masih lebih
tergantung daripada laki-laki. Meskipun tentu saja sejalan dengan berkembangnya
kesadaran gender dimana saat ini wanita menjadi semakin tidak tergantung lagi
pada laki-laki dan kelompok, wanita akan menjadi tidak lebih etnosentrik
daripada laki-laki.
Mungkin kita menduga bahwa keterikatan
yang kuat dengan budaya etniknya akan menyebabkan rendahnya rasa kebangsaan.
Sebuah penelitian yang dilakukan Panggabean (1996) membantah hal tersebut. Ia
menemukan bahwa meningkatnya keterikatan seseorang dengan nilai budayanya akan
diikuti dengan sikap kebangsaan yang positif. Sebaliknya, menurunnya
keterikatan seseorang dengan nilai budayanya akan diikuti dengan sikap
kebangsaan yang negatif. Jadi tidak berarti seseorang yang sangat terikat
dengan budaya etniknya lantas melunturkan keindonesiaannya. Seseorang yang
sangat etnosentrik belum tentu kurang Indonesianis ketimbang mereka yang kurang
etnosentrik.
Terdapat beberapa cara
untuk menghindari reaksi dari etnosentris, yaitu:
1. Menerapkan asas kesamaan
Pelaku harus menghargai budaya orang lain dan
perbedaannya, dan menerima perbedaan tersebut dengan besar hati, serta
menerapkan budaya sendiri didalam kelompok sendiri. Berfikir bahwa tidak ada
budaya yang superior dan inferior, yang salah dan yang benar, serta yang tua
dan yang muda.
2. Menerapkan kaedah emas
Kaedah emas ialah memperlakukan orang lain sebagaimana
kita ingin diperlakukan oleh orang lain. Cara ini sangat mudah dan efektif
karena tidak perlu mempelajari budaya, dan nilai-nilai yang pantas pada lawan
bicara kita.
3. Menerapkan kaedah timah
Kaedah ini merupakan awan dari kaedah emas. Kaedah
timah ialah memperlakukan orang lain sebagaimana mereka ingin diperlakukan.
Cara ini terbilang sulit karena harus mempelajari norma-norma yang berlaku
didalam budaya sang komunikan.
4. KAITAN ETNOSENTRISME
DAN KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA
Berbicara persoalan cara komunikasi
antar etnis, dapat pula dianalisa bahwa sebagian besar orang suatu daerah
cenderung menggunakan bahasa daerah ketika berkomunikasi dengan sesame etnis,
tapi jika berhadapan dengan luar etnis. Hal ini acap kita kenal sebagai
Etnosentrisme. Menurut Matsumoto (1996) etnosentrisme adalah kecenderungan
untuk melihat dunia hanya melalui sudut pandang budaya sendiri. Berdasarkan
definisi ini etnosentrisme tidak selalu negatif sebagimana umumnya dipahami.
Etnosentrisme dalam hal tertentu juga merupakan sesuatu yang positif.
Etnosentrisme jelas bukan sesuatu yang
harus dihilangkan sama sekali. Ia patut dipelihara karena etnosentrisme memang
fungsional.
Etnosentrisme memiliki dua tipe yang
satu sama lain saling berlawanan. Tipe pertama adalah etnosentrisme fleksibel.
Seseorang yang memiliki etnosentrisme ini dapat belajar cara-cara meletakkan
etnosentrisme dan persepsi mereka secara tepat dan bereaksi terhadap suatu
realitas didasarkan pada cara pandang budaya mereka serta menafsirkan perilaku
orang lain berdasarkan latar belakang budayanya.
Tipe kedua adalah etnosentrisme
infleksibel. Etnosentrisme ini dicirikan dengan ketidakmampuan untuk keluar
dari perspektif yang dimiliki atau hanya bisa memahami sesuatu berdasarkan
perspektif yang dimiliki dan tidak mampu memahami perilaku orang lain
berdasarkan latar belakang budayanya.
Dalam hal ini etnosentrisme fleksibellah
yang harus dikembangkan. Dengan etnosentrisme fleksibel, kehidupan multikultur
yang damai bisa berlangsung sementara masing-masing kultur tidak kehilangan
identitasnya. Mengingat pentingnya memiliki etnosentrisme yang fleksibel dalam
masyarakat multikultur seperti Indonesia maka diperlukan upaya-upaya untuk
memperkuatnya. Tiga cara yang bisa kita lakukan untuk memperkuat etnosentrisme
fleksibel menurut Matsumoto (1996), adalah:
a.
Mengetahui
bagaimana cara kita memahami realitas sebagaimana yang biasa kita lakukan dalam
cara tertentu. Misalnya saja kita mengerti bagaimana kita melakukan penilaian
tentang ketidaksopanan. Sebab apa yang sopan menurut budaya kita mungkin saja
bukan merupakan kesopanan dalam budaya yang lain.
b.
Mengakui
dan menghargai kenyataan bahwa orang-orang yang berasal dari latar belakang
budaya yang berbeda memiliki perbedaan cara dalam memahami realitas, dan bahwa
versi mereka tentang sebuah realitas adalah sah dan benar bagi mereka
sebagaimana versi kita sah dan benar untuk kita.
c.
Mengetahui
mengenai budaya sendiri dan budaya orang lain serta pengaruhnya terhadap
cara-cara memahami realitas dalam keadaan tertentu tidak cukup untuk
menumbuhkan etnosentrisme fleksibel. Kita juga harus belajar untuk membedakan
antara emosi, penilaian terhadap moralitas, dan penilaian terhadap kepribadian
yang sering disamakan dengan etnosentrisme dan cara pandang budaya.
Apa yang dikemukakan Matsumoto diatas,
jelas merupakan upaya-upaya pribadi yang bisa dilakukan agar seseorang bisa
memiliki etnosentrisme yang fleksibel.
Komunikasi efektif akan terjadi ketika
pesan yang disampaikan sampai kepada penerima pesan sesuai yang diinginkan,
dalam hal ini proses encoding atau penyusunan symbol sangat berpengaruh.
Seperti dalam pemilihan suatu bahasa, jika salah menggunakan tata bahasa yang
tidak difahami oleh komunikan maka komunikasi tidak akan berjalan dengan baik.
Maka penekanan pada dimensi hubungan suatu pola komunikasi timbale balik sangat
di utamakan daripada penekanan pada dimensi isi suatu pola komunikasi. Karena
dimensi isi hanya berkutat pada content tanpa adanya keterikatan dengan
konteks. Lain halnya apabila dimensi hubungan suatu pesan di utamakan maka kita
akan menempatkan konteks, gaya bahasa, gesture,
mimic, dalam proporsi yang lebih banyak
guna mencegah adanya missunderstanding
dalam komunikasi lintas budaya.
Komunikasi lintas budaya akan berjalan dengan efektif
diantaranya bila:
1.
Pihak –
pihak yang berkomunikasi tersebut mampu meletakkan dan memfungsikan komunikasi
didalam suatu konteks kebudayaan lawan bicaranya.
2.
Pihak –
pihak yang berkomunikasi mampu meminimalkan kesalahpahaman atas pesan – pesan
yang dipertukarkan.
3.
Pihak pihak
yang berkomunikasi memiliki keterampilan komunikasi, kemampuan untuk
menyesuaikan diri dengan tekanan antar budaya serta memiliki kemampuan untuk
membangun relasi – relasi antar budaya.
Selain upaya
yang dapat dilakukan secara individu maupun kelompok. Disini juga terdapat
upaya lain dalam mengatasi masalah tersebut. Ada beberapa contoh upaya yang
telah dilaksanakan, di antaranya:
1. The Salad Bowl (Amerika)
Yaitu menerima keanekaragaman yang ada, tetap
memelihara dan membanggakan identitas etnik, namun tetap konsisten menjunjung
tinggi identitas nasional sebagai bangsa Amerika.
2. Relativitas
Budaya dan Pandangan Etnik
Menurut faham ini, suatu kebudayaan tidak ada yang
lebih baik ataupun yang lebih lebih buruk. Hal ini berarti bahwa kita harus
memberikan penghargaan yang sama kepada semua adat-istiadat yang beranekaragam
yang terdapat dalam masyarakat kita.
Memahami suatu kebudayaan adalah suatu hal yang tidak
mudah, karena kita harus mampu memahami semua yang terkait dalam unsur-unsur
kebudayan. Menurut pandangan Emik (Emic View), untuk mengerti dan
menginterpretasikan setiap simbol budaya dalam hubungannya dengan praktek kehidupan
suatu suku bangsa, seseorang harus dibekali dengan suatu sifat keterbukaan dan
toleransi yang tinggi. Hal ini penting karena tiap-tiap simbol dari unsur
kebudayaan memiliki makna dan nilai yang unik, sehingga seseorang tidak boleh
semaunya sendiri memberikan makna pada simbol budaya yang berada diluar
kebudayaan yang dimilikinya.
3. Pendidikan
Multikulutral (The Study of Cultural
Diversity)
Ideologi Multikulturalisme adalah suatu kebijakan dan
pendekatan budaya yang berorientasi pada prinsip-prinsip pelestarian budaya dan
saling menghormati antar-kelompok. Masyarakat multikultural adalah suatu
masyarakat yang ideal dimana kelompok-kelompok masyarakat dapat hidup secara
harmonis, bebas untuk melestarikan kebiasaan-kebiasaan agama, linguistik atau
sosial, persamaan dalam hal akses sumber daya dan pelayanan, dan lain-lain
(Dufty, 1986). Secara sederhana multikulturalisme tidak hanya berarti
keberagaman budaya, tetapi adanya pengakuan bahwa sebuah negara dan masyarakat
adalah beragam.
Dalam
tataran komunitas atau masyarakat, pendidikan multikultural merupakan jalan
yang bisa dilakukan dalam mengembangkan etnosentrisme fleksibel. Pendidikan
multikultural berarti pendidikan akan nilai-nilai keberagaman yang mengajarkan
bagaimana toleran terhadap perbedaan. Adapun pendidikan itu bisa melalui
pendidikan formal ataupun nonformal, seperti melalui keluarga,
perkumpulan-perkumpulan, maupun media massa.
5. KESIMPULAN
1)
Komunikasi
lintas budaya merupakan salah satu bidang kajian Ilmu Komunikasi yang lebih menekankan
pada perbandingan pola-pola komunikasi antar pribadi diantara peserta
komunikasi yang berbeda kebudayaan.
2)
Beberapa
prinsip yang harus diperhatikan dalam komunikasi lintas budaya antar lain (a) Prinsip
keselarasan (compatible), (b) Prinsip
kesesuaian dengan kebutuhan (need)
sasaran, (c) Prinsip pelaksanaan suatu proses belajar mengajar yang
efektivitasnya dipengaruhi oleh sifat atau ciri sasaran masyarakat di desa,
tenaga pengajar, fasilitas, materi dan kondisi lingkungan dan (d) Prinsip
pelaksanaan yang bertujuan mengembangkan sikap, pengetahuan, keteranpilan dan
sikap serta kemampuan masyarakat di desa sasaran.
3)
Hambatan
komunikasi yang ada terbagi dua menjadi yang diatas air (above waterline) dan dibawah air (below waterline).
4)
Etnosentrisme merupakan
sebuah kepercayaan pada superioritas inheren kelompok atau budayanya sendiri, cenderung
memandang rendah orang-orang lain yang tidak sekelompok dan dianggap asing, dan memandang dan
mengukur budaya-budaya asing dengan budayanya sendiri.
5)
Etnosentrisme
memiliki dua tipe yang satu sama lain saling berlawanan, yaitu etnosentrisme
fleksibel dan infleksibel.
6) Dalam kaitan dengan komunikasi lintas budaya pihak -
pihak yang berkomunikasi harus mampu
meletakkan dan memfungsikan komunikasi didalam suatu konteks kebudayaan lawan
bicaranya, meminimalkan kesalahpahaman atas pesan – pesan yang dipertukarkan,
dan memiliki keterampilan komunikasi, kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan
tekanan antar budaya serta memiliki kemampuan untuk membangun relasi – relasi lintas.
DAFTAR PUSTAKA
Adorno, T.W. 1950. The
Authoritarian Personality. New York: W.W. Norton
Budyatna
Muhammad dan Leila Mona Ganiem, 2011, Teori Komunikasi Antar Pribadi, Jakarta:Kencana
Prenada Media Grup.
Chaney,
Lilian,Martin, Jeanette & Martin. 2004. Intercultural
Business Communication. New Jersey: Pearson Education, Inc, Upper Saddle
River.
Gundykunst,
1983, intercultural communicatin theory, paper on International dan Intercultural Communication Annual.
Gudykunts, W.
B., & Kim, Y. Y. (2003). Communicating with Strangers: An Approach to
Intercultural Communication. New York: McGraw-Hill.
Griffin,
Em.(ed) 2003. A First Look
at Communication Theory, 5 th edition, : New York McGraw Hill.
Hofstede, G.
H. (2001). Culture’s Consequence. Comparing Values, Behaviours,
Institutions, and Organizations Across Nations (2nd Edition ed.).
California, USA: Sage Publications.
Liliweri, Alo. 1994 . Perspektif Teoritis Komunikasi Antar
Pribadi (Suatu Pendekatan Ke Arah Psikologi Sosial Komunikasi. Bandung
: PT. Citra Aditya Bakti
___________,2001. Gatra-Gatra Komunikasi Antar Budaya.
Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Litvin
Joel, 1977. The Importance of Developing
Intercultural Communication Curricula in Australia. Paper presented at the Conference on
Interpersonal and Mass Communication (Sydney,
Australia, December 1976). 36 p.Australia
Martin, J. N., & Nakayama, T. K.
(2007). Intercultural Communication in Contexts (4th Edition ed.).
Boston, USA: McGraw-Hill.
Mulyana, Deddy, Jalaluddin Rakhmat.
1996. (Editor) Komunikasi antar Budaya. Panduan
berkomunikasi dengan orang-orang berbeda budaya. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Mulyana, D. (2005). Komunikasi
Efektif. Suatu Pendekatan Lintasbudaya (2nd Edition ed.). Bandung: Remaja
Rosdakarya
Pliopaitė, I., & Radzevičienė, A.
(2010). Intercultural Competence
Development in EU Banking Sector. Journal Business in XXI Century ,
75-82.
Samovar, Larry.A., Richard E.Porter
& Edwin R. McDaniel, 2006, Intercultural
Communication (A Reader), 11th (ed), Thomson and Wadsworth Publishing
Company, Belmont California.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar