Minggu, 25 Februari 2018

STUDI PENGELOLAAN PERIKANAN DI KALIMANTAN TIMUR : SUATU PELUANG DAN TANTANGAN




I.     Pendahuluan
Sumber daya ikan masih dianggap memiliki sifat terbuka (open access) dan milik bersama (common property), artinya setiap orang mempunyai hak untuk memanfaatkan sumber daya tersebut. Persoalan hak pemanfaatan tidak hanya melibatkan satu pihak, yakni masyarakat lokal atau nelayan, tetapi juga pihak- pihak lain seperti pengusaha dan pemerintah. Berbagai pihak yang memiliki kepentingan dalam pengelolaan sumber daya alam sering berbenturan sehingga menimbulkan konflik. Setiap pengguna sumber daya merasa memiliki hak yang sama dalam memanfaatkan sumber daya tersebut. Sifat pemanfaatan sumber daya yang demikian akan mengakibatkan konflik antar pengguna sumber daya, khususnya antar kelompok nelayan (Christy 1987).
Pembangunan perikanan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional pada hakekatnya dilaksanakan dalam rangka mendayagunakan sumber daya perikanan secara menyeluruh, terencana, rasional, optimal, bertanggung jawab dan sesuai dengan kemampuan daya dukungnya, sehingga diharapkan mampu memberikan kesejahteraan bagi masyarakat secara berkelanjutan. Kedudukan dan nilai sumber daya perikanan sangat strategis dalam menjaga kelangsungan hidup sebagian besar penduduk di sekitar pantai.
Nikijuluw (2002) menyebutkan dalam pemanfaatan sumber daya milik bersama dibatasi dan dilandasi beberapa hak yang memberikan jaminan bagi pemegangnya, yaitu: (1) Hak akses, adalah hak untuk masuk ke dalam sumber daya yang memiliki batas-batas fisik yang jelas; (2) Hak memanfaatkan, adalah hak untuk memanfaatkan sumber daya dengan cara-cara dan teknik produksi sesuai dengan ketetapan dan peraturan yang berlaku; (3) Hak mengatur, adalah hak untuk mengatur pemanfaatan sumber daya serta meningkatkan kualitas dan kuantitas sumber daya melalui upaya pengkayaan stok ikan serta pemeliharaan serta perbaikan lingkungan; (4) Hak ekslusif, adalah hak untuk menentukan siapa yang boleh memiliki hak akses dan apakah hak akses tersebut dapat dialihkan kepada orang lain; dan (5) Hak mengalihkan, adalah hak untuk menjual dan menyewakan ke empat hak tadi kepada orang lain.
Eksploitasi perikanan di perairan Kaltim dilakukan oleh nelayan dalam daerah maupun antar daerah (nelayan dari Sulsel, Sulbar, Jatim, Jateng, dan Kalbar). Perikanan tangkap di Kaltim merupakan kegiatan usaha perikanan yang mempunyai nilai ekonomis penting. Eksploitasi sumber daya ikan oleh armada perikanan tangkap laut di Kaltim terutama dilakukan di perairan Selat Makasar, Laut Jawa, Laut Sulawesi dan Teluk Bone.
Kalimantan Timur memiliki potensi sumber daya alam di bidang perikanan yang terkandung dalam wilayah perairan dan laut dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, sehingga menjadi modal dalam pembangunan wilayah provinsi Kalimantan Timur, sehingga diperlukan pengelolaan sumber daya perikanan yang berkelanjutan agar tetap bisa lestari.

II.  Kondisi Perikanan di Kalimantan Timur
2.1  Potensi Perikanan
Provinsi Kalimantan Timur terdiri dari 13 Kabupaten/Kota, 10 diantaranya memiliki wilayah perairan laut dengan letak geografis darat sampai ke laut. Potensi produksi sumberdaya ikan di Kalimantan Timur:
-          Perairan laut : 139.200 ton dimanfaatkan sekitar 40,94%
-          Perairan umum : 69.348 ton dimanfaatkan sekitar 20,40%
-          Budidaya tambak : 122.450 ton yang dimanfaatkan sekitar 36,02%
-          Budidaya air tawar : 9.000 ton yang dimanfaatkan sekitar2,64%
Potensi perikanan dan kelautan yang sangat prospektif terdiri atas Wilayah ZEEI (Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia) sepanjang Laut Sulawesi seluas 2.750.813 Ha. Wilayah penangkapan di pantai seluas 12 juta ha. Hutan mangrove yang dapat dikonversi untuk budidaya air payau seluas 91.380 ha, sementara perairan umum seluas 2,77 juta ha.
Secara umum komoditi prospektif yang menonjol untuk dikembangkan pada sektor perikanan adalah budidaya Udang Air Payau dan Ikan Kerapu, sedangkan untuk perairan ZEEI memiliki potensi ikan Tuna dan Perikanan Darmasal lainnya.
-          Potensi Perikanan Demersal terdapat jenis Kakap, Kerapu, Bawal, Sebelah, Lidah, Beronang, Cucut/Hiu, Pari, Kuro, Kakap Merah/ Bambangan, Udang Barong,Udang Windu, Udang Dogol.
-          Potensi Perikanan Pelagis terdapat jenis :Kembung, Layang, Selar, tenggiri, Alwalu, Kuwe, Tembang, Cumi Cumi, Sotong.
-          Potensi perikanan lainnya terdapat jenis Teripang, Ubur ubur, Rajungan.
Upaya meningkatkan produksi perikanan didukung oleh armada perikanan tangkap sebanyak berjumlah 28.732, armada perairan umum pada tahun berjumlah 26.080 unit. Luas usaha budidaya tambak mencapai 38.650 Ha, budidaya kolam seluas 1.511 Ha, dan budidaya laut/pantai seluas 67.564 Ha.
2.2  Kondisi Pengelolaan Perikanan
Tujuan Pengelolaan perikanan adalah pemanfaatan dalam jangka panjang atas sumberdaya perikanan secara berkesinambungan. Untuk mewujudkan tujuan ini diperlukan pendekatan proaktif dan berusaha secara aktif menemukan cara untuk mengoptimalkan keuntungan ekonomi dan sosial dari sumberdaya yang tersedia. (Johanes Widodo dan Suadi, 2008).
Perairan Kaltim meliputi WPP 713 dan WPP 716. WPP 713 yang meliputi perairan bagian utara yaitu perairan Laut Tarakan dan Nunukan sampai dengan bagian paling Selatan yang terletak di bagian perairan barat Sulawesi Selatan di Selat Makassar sampai dengan perairan Laut Flores. Akhir-akhir ini sumberdaya ikan di Selat Makassar telah mengalami tekanan penangkapan (BRKP, 2008). Ekploitasi ikan demersal dan udang cenderung meningkat dengan massifnya alat tangkap pukat tarik mini (mini trawl) dari kelas ukuran di bawah 30 GT. Jumlah armada dengan kapasitas < 30 GT ini mencapai 25.300 unit (2008) yang banyak berpangkalan di Kalimantan Timur. Penangkapan ikan demersal dengan alat tangkap ini banyak beredar di sepanjang perairan Timur kalimantan. Sedangkan penangkapan ikan pelagis kecil beredar di wilayah bagian selatan Selat Makassar. Penangkapan di wilayah ini sudah berlangsung lama yaitu sejak tahun 1980-an. Kondisi ini semakin diperparah dengan maraknya kapal-kapal asing yang merajalela di WPP ini. Untuk menghalau dan menandingi maraknya pemanfaatan sumberdaya ikan oleh nelayan asing, pemerintah memberlakukan kembali penggunaan trawl secara terbatas di wilayah perairan Timur Kalimantan setalah sebelumnya dilarang. Melalui Peraturan Menteri No.06/MEN/2008 tentang Penggunaan alat penangkapan ikan Pukat hela di perairan Kalimantan Timur Bagian Utara, sumberdaya ikan diharapkan dapat dimanfaatkan oleh nelayan-nelayan lokal/Indonesia. Pemberian ijin menimbulkan kontroversi karena memicu terjadinya pengoperasian trawl di tempat yang lain dengan alasan untuk menghalau/menandingi maraknya nelayan-nelayan asing.
Tekanan terhadap sumberdaya perikanan, selain karena adanya peningkatan kapasitas armada, juga ditandai dengan maraknya aktifitas pengeboman ikan di Laut Flores. Aktivitas ini mengancam kondisi terumbu karang dan menurunkan produksi perikanan. Hal ini ditandai dengan semakin menurunnya hasil tangkapan ikan nelayan di wilayah tersebut. Status perikanan demersal dan udang di wilayah ini sudah mencapai status over exploited. Selain pemanfaatan pukat ikan dan udang yang diduga memiliki selektifitas yang rendah, tingkat pengusahaannya juga semakin tinggi. Armada pukat harimau mini (mini trawl) semakin meningkat setiap tahunnya apalagi pasca pemberian ijin penggunaan pukat hela. Seangkan status perikanan pelagic kecil masih dalam tahap moderate kecuali ikan terbang yang status pengusahaannya telah mencapai tahapan fully exploited. Penangkapan perikanan terbang bergeser hingga mencapai laut Arafura (BRKP, 2008). Jenis-jenis ikan pelagic besar hasil tangkapannya sangat fluktuatif sehingga tingkat pengusahaannya masih belum dapat ditentukan.
WPP 716 meliputi Laut Sulawesi dan sebelah utara Pulau Halmahera yang tercakup dalam wilayah administrasi 5 provinsi. Kelima provinsi tersebut adalah Kalimantan Timur, Gorontalo, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara. Kondisi habitat di WPP 716 tergolong dalam kategori baik. Hampir semua indikator habitat menujukkan kondisi yang sedang sampai baik. Perairan Sulawesi Utara dan Gorontalo merupakan salah satu daerah penangkapan ikan tuna dan cakalang yang terpenting di kawasan Indonesia Timur (BRKP, 2008). Perkembangan perikanan tuna terlihat dari banyaknya perusahan-perusahaan perikanan tuna di wilayah ini dengan alat tangkap yang dominan digunakan adalah Huhate. Penggunaan Huhate sampai tahun 2008 mencapai 581 unit. Potensi perikanan tuna ini ditandai dengan maraknya penggunaan alat tangkap pancing seperti pancing ulur, pancing tonda dan pancing lainnya. Jumlah armada perikanan laut di perairan ini cukup berfluktiasi dari tahun ke tahun. Terjadi penurunan pada perikanan skala 100 GT ke bawah. Armada yang dominan adalah < 5 GT dengan jumlah pada tahun 2008 mencapai 6.490 unit. Kenaikan terjadi pada armada pada ukuran 100-200 GT dan > 300 GT. Bahkan armada dengan ukuran > 1000 GT meningkat dari 1 unit menjadi 2 unit. Status pengusahaan ikan demersal dan pelagic kecil masih belum bisa ditetapkan mengingat data dan informasi yang tersedia tidak memadai untuk dianalisis (BRKP, 2007) (http://eafm-indonesia.net).
Pengelolaan sumberdaya perikanan telah dilaksanakan secara intensif oleh pemerintah Provinsi Kalimantan Timur melalui Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalimantan Timur. Berbagai program pembangunan perikanan dalam rangka pengelolaan sumberdaya perikanan telah dilaksanakan. Usaha untuk mewujudkan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan terus diupayakan melalui pengelolaan sumberdaya perikanan. Namun hal tersebut bukanlah sesuatu yang mudah, daerah geografis yang luas dan juga letak daerah pemanfaatan sumberdaya perikanan yang tersebar di beberapa wilayah menyebabkan upaya tersebut dirasa belum optimal. Ditambah lagi konsentrasi pemanfaatan sumberdaya perikanan yang tertumpu di wilayah DAS dan pesisir menyebabkan hal tersebut rentan terhadap berbagai kepentingan yang tentunya sangat kompleks.
Juga sejauh ini pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan belum sepenuhnya mentaati semua kaedah dan ketentuan yang berlaku, sehingga menimbulkan kerusakan dan kerugian terhadap sumberdaya ikan maupun ekosistem laut. Berbagai perilaku illegal fishing dan destruktif yang dapat merugikan seperti IUU Fishing, penangkapan ikan dengan bom dan racun serta pengambilan terumbu karang, penambangan pasir di laut secara illegal. Perilaku lainnya adalah perusakan mangrove, pembuangan limbah B3 masih terus berlangsung, sehingga diperlukan pengawasan yang lebih intensif dan terintegrasi dengan instansi terkait agar tingkat kerusakan dan kerugian dapat diminimalisir.
Beberapa kendala yang diidentifikasi menjadi potensi hambatan dalam pengelolaan sumber daya Perikanan Kelautan yaitu:
a.       Permasalahan atas kondisi biofisik lingkungan perairan pesisir dan laut yang kurang mendapat perhatian sebagai faktor utama dalam pengembangan sektor Perikanan Kelautan;
b.      Permasalahan atas kondisi sosial ekonomi kemasyarakatan di wilayah pesisir dan laut yang masih kurang mendapat perhatian khususnya dari pemerintah daerah setempat;
c.       Bidang kelembagaan formal pemerintah yang masih bersifat sektoral serta sumber daya manusia bidang perikanan yang belum optimal melakukan fungsi dan tugasnya sebagai akibat keterbatasan skill dan sarana prasarana lapangan;
d.      Sumber daya fisik wilayah (infrastruktur) yang masih sangat kurang;
e.       Kurangnya dukungan Infrastruktur dalam menunjang peningkatan usaha melalui penerapan IPTEK produksi Perikanan;
f.       Belum terbangunnya sistem kemitraan antara pemilik modal dan lembaga keuangan dengan pihak pengelola sumber daya perikanan kelautan (masyarakat lokal).
Mengingat hal tersebut, dengan besarnya potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang dimiliki, sejak beberapa tahun lalu Pemerintah Prov Kalimantan Timur melalui Dinas Perikanan Provinsi dan Kab/Kota di Kalimantan Timur telah mengembangkan konsep pengawasan yang dikenal dengan system monitoring, control dan surveilance. Serta dibentuknya beberapa kelompok pengawas, atau sistem pengawasan berbasis masyarakat (Sismaswas), pengawasan dengan kapal patroli serta alat-alat pengawasan lainnya.

III.    Kesimpulan
1.      Pengelolaan perikanan di perairan Kalimantan timur sudah berjalan dengan baik, akan tetapi masih perlu banyak diperbaiki agar sumber daya ikan tetap berkelanjutan.
2.      Beberapa skenario pengelolaan yang dapat diusulkan dengan memperhatikan kondisi, permasalahan dan ketersediaan faktor pendukung agar sektor Perikanan Kelautan siap sebagai penunjang dalam pembangunan wilayah Kaltim yaitu:
a.       Pengelolaan yang didasarkan pada keterpaduan antar sektoral ;
b.      Pengelolaan berdasarkan kemitraan antara produsen (masyarakat local) dengan usaha menengah/besar dalam hal permodalan/pembiayaan, teknologi, manajemen usaha dan pemasaran yang difasilitasi oleh pemerintah, perbankan dan perguruan tinggi dengan hasil akhir tercapainya industrialisasi perikanan dengan prinsip grass root approach;
c.       Pengelolaan berdasarkan potensi spasial yang mengarah pada klasterisasi wilayah berdasarkan produk ekonomi yang dihasilkan;
d.      Pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan berbasiskan masyarakat local melalui peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dengan penekanan pada aspek kehidupan/mata pencaharian masyarakat.
3.      Perlu dipersiapkan dan dibangun faktor pendukung dalam implementasi rencana pengelolaan sumber daya perikanan dan kelautan, diantaranya :
a.       Dokumen rencana pengelolaan yang tersusun dengan prinsip bottom up dan grass root approach, dengan melibatkan seluruh stakeholder terikait yaitu pemerintah, swasta, lembaga keuangan (Bank), perguruan tinggi dan lembaga masyarakat (masyarakat lokal);
b.      Derivasi dokumen dalam bentuk detil program kerja yang menunjukkan tanggung jawab dari masing-masing pihak (stakeholder)
c.       Regulasi dan kebijakan pengelolaan sumber daya perikanan kelautan lintas sektoral dan spasial administratif (kabupaten/kota di Prov. Kaltim);
d.      Konsep pembiayaan dan pengembangan usaha yang menganut sistem kemitraan (usaha mikrokecil dengan usaha menengah-besar) dan proses pengelolaan sumber daya yang efisien dan efektif.


Tinjauan Pustaka
BRKP.2008. Katalog : Buku-buku Hasil Riset Kelautan Dan Perikanan BRKP Tahun 2003-2007, iii, 57 p.; iluss.: 18 cm
Christy F.T. 1987. Hak Penggunaan Wilayah Pada Perikanan Laut: Definisi dan Kondisi dalam FirialMarahudin dan Ian R. Smith (Peny). Ekonomi Perikanan: Dari Pengelolaan ke Permasalahan Praktis. Jakarta: Gramedia. Halaman 145- 147.
http://eafm-indonesia.net diakses pada tanggal 6 Januari 2014
Johanes Widodo dan Suadi. 2008. Seri Kebijakan Perikanan, Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut, Cetakan Kedua. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Nikijuluw V.P.H. 2002. Rezim Pengelolaan Sumber Daya Perikanan. Jakarta: Kerjasama P3R dengan PT Pustaka Cidesindo. 254 halaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar